Pendidikan, Kebudayaan, dan
Kesadaran Kolektif Bangsa
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Desember 2015
PENDIDIKAN dan kebudayaan merupakan medium efektif untuk
menumbuhkan sekaligus menubuhkan kesadaran kolektif bangsa.Dengan
interpretasi pendidikan dan kebudayaan yang luas dan benar, kita seharusnya
telah memanen keberhasilan jika ukurannya ialah 70 tahun kemerdekaan. Namun,
apa boleh buat, kondisi bangsa masih belum sepenuhnya sempurna dan kondusif
karena ternyata bangsa yang besar ini tak bisa fokus untuk menanam kebaikan
masa depan melalui skenario kebijakan pendidikan yang berkesinambungan atas
dasar saling memercayai satu sama lain.
Ibarat menanam, kebun pendidikan dan kebudayaan kita terlalu
banyak ditebar benih yang selalu berganti tergantung siapa yang menguasai
kebun. Biji benih selalu urung untuk tumbuh dan menghasilkan daun yang hijau
serta akar yang kuat karena lahan kebun tak dirawat dengan baik. Mungkin kita
perlu berefleksi tentang fungsi benih yang digambarkan Peter Senge dalam Presence: Exploring Profound Change in
People, Organizations, and Society (2005) sebagai potensi terbaik untuk
tumbuh asalkan kebun dan air selalu dijaga dan dirawat dengan baik dan
sungguhsungguh. “It's common to say
that trees come from seeds. But how could a tiny seed create a huge tree?
Seeds do not contain the resources needed to grow a tree. These must come
from the medium or environment within which the tree grows. But the seed does
provide something that is crucial: a place where the whole of the tree starts
to form.As resources such as water and nutrients are drawn in, the seed
organizes the process that generates growth. In a sense, the seed is a
gateway through which the future possibility of the living tree emerges.“
Kebudayaan dalam pendidikan
Tantangan terbesar pengembangan terma kebudayaan ke dalam
proses belajar mengajar tentu saja tidaklah mudah. Sangat umum diketahui
bahwa para guru di ruang kelas kerap memaknai budaya sebagai sesuatu yang given
dan das sein sehingga bentuk implementasinya hanya sebatas mengenalkan
keragaman budaya sebagai sesuatu yang harus dihargai dan dikonservasi,
sesuatu yang sakral dan tidak dapat diubah. Pada akhirnya, tafsir soal budaya
jatuh ke dalam dan hanya sebuah bentuk penghargaan seni dan budaya, apakah
itu tari, lagu, dan pernak-pernik peninggalan bersejarah lainnya.
Kurikulum kita perlu lebih siap secara konsepsional
menerjemahkan budaya sebagai sesuatu yang progresif, yakni seluruh bangunan
kebudayaan Nusantara merupakan pendorong untuk meraih sekaligus mengubah masa
depan Indonesia yang lebih baik (culture
as achievement). Menghargai budaya sebagai sesuatu yang das sollen harus diperkenalkan dan
diajarkan sehingga pemahaman siswa tentang budaya tidak diredusir oleh semata
produk dan komoditas yang harus dijual dan dipertontonkan. Jika kebudayaan
diajarkan secara progresif dalam makna yang luas, artinya kita sedang
mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi pemikir yang peduli dengan
masyarakatnya.
Mungkin ada baiknya jika seluruh buku teks untuk semua
mata ajar yang akan diajarkan dan digunakan sekolah memasukkan skema
pengenalan budaya dalam spektrum yang lebih luas. Van Peursen dalam uraiannya
tentang `Strategi Kebudayaan', dengan elegan memberikan penahapan budaya yang
sangat baik jika dipahami dalam konteks kekinian karena ingin membeberkan
sebuah gambar atau bentuk skematis sederhana mengenai perkembangan
kebudayaan.
Dalam skema Van Peursen, penahapan kebudayaan itu terdiri
dari mitis, ontologis, dan fungsional. Di tahap mitis, manusia dipandang
masih terbenam dalam dunia sekitarnya. Tahap ontologis, bilamana manusia
telah mengambil jarak terhadap alam raya dan terhadap dirinya sendiri. Tahap
fungsional, bila manusia mulai menyadari relasi-relasi kemudian mendekati
tema-tema tradisional, yang oleh Van Peursen disebutkan alam, Tuhan, sesama,
dan identitas diri sendiri, dengan cara yang baru. Tahapan ini tidak
menunjukkan kualitas tingkatan, tetapi setiap tahapan memiliki kekhasan
positif dan negatifnya sendiri-sendiri. Jika kebudayaan dikenalkan kepada
para siswa di sekolah dalam sebuah rangkaian yang berjalin berkelindan
seperti ini, dapat dipastikan para siswa akan memahami dan memaknai budaya
dalam spektrum yang luas dan berkesinambungan karena relevan dengan semua
mata ajar yang mereka peroleh di sekolah.
Pertanyaannya kemudian, mengapa masih ada saja salah
kaprah terhadap gagasan kebudayaan dalam pendidikan seakan-akan kebudayaan
merupakan hal terpisah dari proses pendidikan? Saya melihat kebijakan
kurikulum yang sering berganti tanpa ada pendulum yang kuat dari sisi praksis
merupakan sumber kekacauan dunia pendidikan kita. Alih-alih akan terjadi
perubahan besar dalam kebun pendidikan kita, yang terjadi malah kematian
benih yang sangat cepat karena kurikulum dipahami sebagai cangkul yang harus
terus digunakan untuk mencangkuli benihbenih yang telah ditanam sebelumnya.
Kebijakan prorakyat?
Dalam setahun pemerintahan Jokowi-JK, memang belum
terlihat perubahan gradual di bidang pendidikan. Apalagi, jika dilihat dari
sisi manajerial, penanganan pendidikan belum terfokus pada kebutuhan jangka
panjang karena begitu banyak lembaga dan kementerian yang mengurusinya.
Hingga hari ini, saya termasuk yang tidak setuju pemisahan Kementerian
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Tinggi. Alasannya sederhana, setiap level dan
jenjang pendidikan sesungguhnya me rupakan satu tarikan napas kebijakan yang
tidak bisa dipisahkan. Ambil contoh tentang bagaimana kurikulum diubah atau
diganti, misalnya, peran perguruan tinggi seharusnya besar dan terus-menerus
karena perguruan tinggi merupakan destinasi akhir dari para siswa tingkat
menengah. Finlandia merupakan contoh yang baik mengenai hal ini, yakni setiap
perguruan tinggi memiliki hak untuk mengusulkan sekaligus mengubah kurikulum
pendidikan dasar dan menengah setiap tiga tahun sekali melalui sebuah riset
yang komprehensif.
Jika pasangan Jokowi-JK serius dengan kata `revolusi
mental', setiap kebijakan hendaknya ditelaah dengan saksama dan
sungguh-sungguh dalam rangka mengubah cara pandang dan perilaku masya rakat.
Kebijakan semacam kartu Indonesia pintar (KIP) tak cukup signifikan untuk
mengubah mentalitas masyarakat yang terus merasa tidak berdaya dan harus
selalu dibantu. Kebijakan ini sebenarnya setali tiga uang dengan kebijakan
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sedari awal telah salah dalam skema
perencanaan pembiayaannya. Saya meyakini, jika tidak ada perubahan dalam
rancangan pembiayaan BOS dari kepala siswa sebagai unit cost analysis-nya menjadi school
based unit cost analysis, revolusi mental yang diinginkan Jokowi-JK di
bidang pendidikan tak akan terjadi sama sekali.
Efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berlangsung
tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol perilaku
birokrasi pengelola kebijakan pendidikan ialah hanya salah satu bukti yang
menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang kita inginkan tak pernah berjalan.
Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur masyarakat ketika sebuah kebijakan
hendak diakuisisi ke dalam bentuk program. Padahal, sejatinya kesempatan
masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan
haruslah dibuka peluangnya.
Peran serta masyarakat Konsensus dan peran serta
masyarakat dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui
harapan (expectations) masyarakat
terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus)
bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan
masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji birokrat dalam menangani isu
tersebut dapat dievaluasi dan di-monitoring secara bersama. Tinggal lagi
tugas dan peran para politisi serta birokrat untuk menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah
isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).
Dengan kelebihan dan keberbakatan Anies Baswedan sebagai
Mendikbud dalam melakukan komunikasi politik dan budaya terhadap seluruh
lapisan masyarakat, potensi untuk menggalang dukungan secara luas
sesungguhnya amat memungkinkan untuk dilakukan. Dalam setahun terakhir,
dialektika birokrasi kependidikan kita dengan masyarakat sudah mulai terbina,
tetapi fokusnya tentu saja bukan untuk tujuan pencitraan semata. Dalam
konteks kebi jakan publik, Kemendikbud harus memiliki keberanian untuk
mengatakan secara langsung bahwa keterlibatan masyarakat dalam mengelola
sekolah ialah kewajiban untuk dan dalam rangka menghilangkan kesan jargon
pendidikan gratis yang selalu didengungkan para politikus, dan mengabaikan
kemampuan masyarakat.
Banyak elemen masyarakat tidak mengetahui secara persis
bahwa dari total 20% RAPBN untuk bidang pendidikan, sesungguhnya 67% hanya
dihabiskan untuk biaya rutin seperti membayar gaji dan tunjangan guru. Karena
itu, bentuk peran serta masyarakat dalam proses pendidikan harus diaktifkan
kembali dengan cara meminta masyarakat untuk mendukung operasional sekolah
secara gotong royong. Kemitraan antara pemerintah dan dunia usaha juga harus
masuk skenario kerja Kemendikbud karena ada ribuan program CSR korporasi yang
tidak termanfaatkan dengan baik demi menunjang peningkatan kualitas
pendidikan.
Selain itu, ada banyak jenis institusi pemerintahan dan
LSM yang harus diajak berkontribusi secara kreatif dalam bidang pendidikan.
Misalnya, jika Kemendikbud bisa membuat MoU dengan Kejaksaan dan Kepolisian
tentang program jaksa dan polisi masuk sekolah, pasti akan ada banyak manfaat
yang muncul seperti terbentuknya transparansi pengelolaan dana BOS dan
sebagainya. Bentuk-bentuk kerja sama ini jelas merupakan sebuah cara untuk
mengukur tingkat efektivitas sebuah kebijakan dalam menangani dan
mendiskusikan sekaligus menganalisis proses penetapan kebijakan pendidikan
dan menempatkannya di dalam wilayah publik (public space) yang sangat terbuka untuk didebat dan dipersoalkan.
Sepanjang 2015, dunia pendidikan Tanah Air masih ditandai
dengan fenomena kekerasan yang menerpa sebagian besar siswa. Diskursus
tentang kekerasan di dunia pendidikan sangat boleh jadi merupakan efek dari
begitu derasnya arus teknologi informasi yang mengalahkan tingkat kelekatan
orangtua dan guru terhadap anak dan siswa mereka. Belum lagi persoalan
kurikulum yang diubah penahapan implementasinya oleh menteri yang baru.
Padahal, jika sedari awal K-13 diimplementasikan secara gradual melalui
sekolahsekolah terpilih, efek negatif sebuah perubahan kebijakan pastilah
tidak separah saat ini yang mengesankan dipenuhi unsur politis ketimbang
alasan operasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar