Senin, 21 Desember 2015

Pendidikan, Kebudayaan, dan Kesadaran Kolektif Bangsa

Pendidikan, Kebudayaan, dan

Kesadaran Kolektif Bangsa

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 02 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENDIDIKAN dan kebudayaan merupakan medium efektif untuk menumbuhkan sekaligus menubuhkan kesadaran kolektif bangsa.Dengan interpretasi pendidikan dan kebudayaan yang luas dan benar, kita seharusnya telah memanen keberhasilan jika ukurannya ialah 70 tahun kemerdekaan. Namun, apa boleh buat, kondisi bangsa masih belum sepenuhnya sempurna dan kondusif karena ternyata bangsa yang besar ini tak bisa fokus untuk menanam kebaikan masa depan melalui skenario kebijakan pendidikan yang berkesinambungan atas dasar saling memercayai satu sama lain.

Ibarat menanam, kebun pendidikan dan kebudayaan kita terlalu banyak ditebar benih yang selalu berganti tergantung siapa yang menguasai kebun. Biji benih selalu urung untuk tumbuh dan menghasilkan daun yang hijau serta akar yang kuat karena lahan kebun tak dirawat dengan baik. Mungkin kita perlu berefleksi tentang fungsi benih yang digambarkan Peter Senge dalam Presence: Exploring Profound Change in People, Organizations, and Society (2005) sebagai potensi terbaik untuk tumbuh asalkan kebun dan air selalu dijaga dan dirawat dengan baik dan sungguhsungguh. “It's common to say that trees come from seeds. But how could a tiny seed create a huge tree? Seeds do not contain the resources needed to grow a tree. These must come from the medium or environment within which the tree grows. But the seed does provide something that is crucial: a place where the whole of the tree starts to form.As resources such as water and nutrients are drawn in, the seed organizes the process that generates growth. In a sense, the seed is a gateway through which the future possibility of the living tree emerges.“

Kebudayaan dalam pendidikan

Tantangan terbesar pengembangan terma kebudayaan ke dalam proses belajar mengajar tentu saja tidaklah mudah. Sangat umum diketahui bahwa para guru di ruang kelas kerap memaknai budaya sebagai sesuatu yang given dan das sein sehingga bentuk implementasinya hanya sebatas mengenalkan keragaman budaya sebagai sesuatu yang harus dihargai dan dikonservasi, sesuatu yang sakral dan tidak dapat diubah. Pada akhirnya, tafsir soal budaya jatuh ke dalam dan hanya sebuah bentuk penghargaan seni dan budaya, apakah itu tari, lagu, dan pernak-pernik peninggalan bersejarah lainnya.

Kurikulum kita perlu lebih siap secara konsepsional menerjemahkan budaya sebagai sesuatu yang progresif, yakni seluruh bangunan kebudayaan Nusantara merupakan pendorong untuk meraih sekaligus mengubah masa depan Indonesia yang lebih baik (culture as achievement). Menghargai budaya sebagai sesuatu yang das sollen harus diperkenalkan dan diajarkan sehingga pemahaman siswa tentang budaya tidak diredusir oleh semata produk dan komoditas yang harus dijual dan dipertontonkan. Jika kebudayaan diajarkan secara progresif dalam makna yang luas, artinya kita sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi pemikir yang peduli dengan masyarakatnya.

Mungkin ada baiknya jika seluruh buku teks untuk semua mata ajar yang akan diajarkan dan digunakan sekolah memasukkan skema pengenalan budaya dalam spektrum yang lebih luas. Van Peursen dalam uraiannya tentang `Strategi Kebudayaan', dengan elegan memberikan penahapan budaya yang sangat baik jika dipahami dalam konteks kekinian karena ingin membeberkan sebuah gambar atau bentuk skematis sederhana mengenai perkembangan kebudayaan.

Dalam skema Van Peursen, penahapan kebudayaan itu terdiri dari mitis, ontologis, dan fungsional. Di tahap mitis, manusia dipandang masih terbenam dalam dunia sekitarnya. Tahap ontologis, bilamana manusia telah mengambil jarak terhadap alam raya dan terhadap dirinya sendiri. Tahap fungsional, bila manusia mulai menyadari relasi-relasi kemudian mendekati tema-tema tradisional, yang oleh Van Peursen disebutkan alam, Tuhan, sesama, dan identitas diri sendiri, dengan cara yang baru. Tahapan ini tidak menunjukkan kualitas tingkatan, tetapi setiap tahapan memiliki kekhasan positif dan negatifnya sendiri-sendiri. Jika kebudayaan dikenalkan kepada para siswa di sekolah dalam sebuah rangkaian yang berjalin berkelindan seperti ini, dapat dipastikan para siswa akan memahami dan memaknai budaya dalam spektrum yang luas dan berkesinambungan karena relevan dengan semua mata ajar yang mereka peroleh di sekolah.

Pertanyaannya kemudian, mengapa masih ada saja salah kaprah terhadap gagasan kebudayaan dalam pendidikan seakan-akan kebudayaan merupakan hal terpisah dari proses pendidikan? Saya melihat kebijakan kurikulum yang sering berganti tanpa ada pendulum yang kuat dari sisi praksis merupakan sumber kekacauan dunia pendidikan kita. Alih-alih akan terjadi perubahan besar dalam kebun pendidikan kita, yang terjadi malah kematian benih yang sangat cepat karena kurikulum dipahami sebagai cangkul yang harus terus digunakan untuk mencangkuli benihbenih yang telah ditanam sebelumnya.

Kebijakan prorakyat?

Dalam setahun pemerintahan Jokowi-JK, memang belum terlihat perubahan gradual di bidang pendidikan. Apalagi, jika dilihat dari sisi manajerial, penanganan pendidikan belum terfokus pada kebutuhan jangka panjang karena begitu banyak lembaga dan kementerian yang mengurusinya. Hingga hari ini, saya termasuk yang tidak setuju pemisahan Kementerian Pendidikan Dasar dan Pendidikan Tinggi. Alasannya sederhana, setiap level dan jenjang pendidikan sesungguhnya me rupakan satu tarikan napas kebijakan yang tidak bisa dipisahkan. Ambil contoh tentang bagaimana kurikulum diubah atau diganti, misalnya, peran perguruan tinggi seharusnya besar dan terus-menerus karena perguruan tinggi merupakan destinasi akhir dari para siswa tingkat menengah. Finlandia merupakan contoh yang baik mengenai hal ini, yakni setiap perguruan tinggi memiliki hak untuk mengusulkan sekaligus mengubah kurikulum pendidikan dasar dan menengah setiap tiga tahun sekali melalui sebuah riset yang komprehensif.

Jika pasangan Jokowi-JK serius dengan kata `revolusi mental', setiap kebijakan hendaknya ditelaah dengan saksama dan sungguh-sungguh dalam rangka mengubah cara pandang dan perilaku masya rakat. Kebijakan semacam kartu Indonesia pintar (KIP) tak cukup signifikan untuk mengubah mentalitas masyarakat yang terus merasa tidak berdaya dan harus selalu dibantu. Kebijakan ini sebenarnya setali tiga uang dengan kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sedari awal telah salah dalam skema perencanaan pembiayaannya. Saya meyakini, jika tidak ada perubahan dalam rancangan pembiayaan BOS dari kepala siswa sebagai unit cost analysis-nya menjadi school based unit cost analysis, revolusi mental yang diinginkan Jokowi-JK di bidang pendidikan tak akan terjadi sama sekali.

Efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan ialah hanya salah satu bukti yang menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang kita inginkan tak pernah berjalan. Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur masyarakat ketika sebuah kebijakan hendak diakuisisi ke dalam bentuk program. Padahal, sejatinya kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka peluangnya.

Peran serta masyarakat Konsensus dan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan di-monitoring secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para politisi serta birokrat untuk menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).

Dengan kelebihan dan keberbakatan Anies Baswedan sebagai Mendikbud dalam melakukan komunikasi politik dan budaya terhadap seluruh lapisan masyarakat, potensi untuk menggalang dukungan secara luas sesungguhnya amat memungkinkan untuk dilakukan. Dalam setahun terakhir, dialektika birokrasi kependidikan kita dengan masyarakat sudah mulai terbina, tetapi fokusnya tentu saja bukan untuk tujuan pencitraan semata. Dalam konteks kebi jakan publik, Kemendikbud harus memiliki keberanian untuk mengatakan secara langsung bahwa keterlibatan masyarakat dalam mengelola sekolah ialah kewajiban untuk dan dalam rangka menghilangkan kesan jargon pendidikan gratis yang selalu didengungkan para politikus, dan mengabaikan kemampuan masyarakat.

Banyak elemen masyarakat tidak mengetahui secara persis bahwa dari total 20% RAPBN untuk bidang pendidikan, sesungguhnya 67% hanya dihabiskan untuk biaya rutin seperti membayar gaji dan tunjangan guru. Karena itu, bentuk peran serta masyarakat dalam proses pendidikan harus diaktifkan kembali dengan cara meminta masyarakat untuk mendukung operasional sekolah secara gotong royong. Kemitraan antara pemerintah dan dunia usaha juga harus masuk skenario kerja Kemendikbud karena ada ribuan program CSR korporasi yang tidak termanfaatkan dengan baik demi menunjang peningkatan kualitas pendidikan.

Selain itu, ada banyak jenis institusi pemerintahan dan LSM yang harus diajak berkontribusi secara kreatif dalam bidang pendidikan. Misalnya, jika Kemendikbud bisa membuat MoU dengan Kejaksaan dan Kepolisian tentang program jaksa dan polisi masuk sekolah, pasti akan ada banyak manfaat yang muncul seperti terbentuknya transparansi pengelolaan dana BOS dan sebagainya. Bentuk-bentuk kerja sama ini jelas merupakan sebuah cara untuk mengukur tingkat efektivitas sebuah kebijakan dalam menangani dan mendiskusikan sekaligus menganalisis proses penetapan kebijakan pendidikan dan menempatkannya di dalam wilayah publik (public space) yang sangat terbuka untuk didebat dan dipersoalkan.

Sepanjang 2015, dunia pendidikan Tanah Air masih ditandai dengan fenomena kekerasan yang menerpa sebagian besar siswa. Diskursus tentang kekerasan di dunia pendidikan sangat boleh jadi merupakan efek dari begitu derasnya arus teknologi informasi yang mengalahkan tingkat kelekatan orangtua dan guru terhadap anak dan siswa mereka. Belum lagi persoalan kurikulum yang diubah penahapan implementasinya oleh menteri yang baru. Padahal, jika sedari awal K-13 diimplementasikan secara gradual melalui sekolahsekolah terpilih, efek negatif sebuah perubahan kebijakan pastilah tidak separah saat ini yang mengesankan dipenuhi unsur politis ketimbang alasan operasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar