Optimisme di Tengah Dinamika Politik 2016
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Desember 2015
SUATU hal yang menakjubkan bahwa hasil poling peserta pada
DBS Asian Insight Conference 2015
yang diselenggarakan di Hotel Ritz Carlton, Pacifi c Place, Jakarta, 24
November 2016, menjelaskan sekitar 80% dari lebih dari 900 orang yang hadir
menyatakan optimistis bahwa pada 2016 situasi ekonomi dan politik Indonesia
akan jauh lebih baik ketimbang 2015. Hal yang juga menarik ialah sebagian
peserta juga menyatakan bahwa berbagai pungutan liar masih menjadi kendala
utama dalam menjalankan bisnis di Indonesia. Mereka juga berharap bahwa
dinamika politik pada 2016 jangan sampai mengganggu kinerja ekonomi
pemerintah dan swasta.
Apa yang diungkapkan di atas merupakan harapan yang
didambakan seluruh bangsa Indonesia. Kita memang sudah memasuki tahap
konsolidasi demokrasi. Kita bangsa Indonesia tentunya memiliki harapan besar
dan bahkan optimisme yang sangat kuat bahwa tahun esok akan lebih baik
daripada tahun ini. Dalam kaitan itu, kedewasaan para politikus dalam
melakukan manuver-manuver politik, baik di gedung MPR/ DPR/DPD RI di bilangan
Senayan, Jakarta, atau di luar gedung itu, harus lebih mengedepankan kepentingan
bangsa dan negara dan mengesampingkan kepentingan individu atau kelompok,
sesuatu yang hingga kini masih merupakan utopia dalam politik Indonesia.
Bila kita kembali menoleh ke belakang ke paruh kedua 2014
dan keseluruhan 2015, kita menyaksikan betapa partai-partai politik, baik
sendiri-sendiri atau di dalam koali sinya masing Bila kita kembali menoleh ke
belakang ke paruh kedua 2014 dan keseluruhan 2015, kita menyaksikan betapa
partai-partai politik, baik sendiri-sendiri atau di dalam koali sinya masing
masing, lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan kelompok ketimbang
kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dalam setiap sepak terjang dan
manuver politik para politikus, kalimat yang terucap selalu demi kepentingan
rakyat, bangsa, dan negara, tapi kenyataannya mereka hanya mengedepankan
kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Dua contoh paling konkret untuk menunjang betapa
menipisnya sikap kenegarawanan politisi tampak pada proses legislasi UU MD3
(MPR, DPR, DPD, dan DPRD) serta UU Pilkada. DPR RI hasil pemilu legislatif
2009-2014 yang kebetulan dikuasai partai mayoritas pendukung capres
PrabowoHatta berupaya membuat UU demi kepentingan mereka. Lihat saja pasal
mengenai proses penentuan jajaran pimpinan DPR, komisi, dan alat-alat
kelengkapan dewan lainnya. Mereka ingin sapu bersih agar koalisi lawannya
tidak mendapatkan satu kursi pimpinan dewan, komisi, dan alat kelengkapan
dewan lainnya. Ini yang kemudian dipraktikkan para politikus Koalisi Merah
Putih (KMP) hasil Pileg 2014 yang pada sidang-sidang pertama pada 2015
berupaya menyapu bersih semua jabatan di DPR dan MPR. Hanya melalui lobi-lobi
yang alot barulah KMP mau memasukkan hanya segelintir politisi pendukung
pemerintahan Jokowi-JK untuk duduk di alat-alat kelengkapan dewan.
Begitu pun dengan UU Pilkada. Dengan dalih bahwa pilkada
langsung lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya, para politikus KMP
yang saat itu masih utuh terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar,
mudaratnya ketimbang man faatnya, para politikus KMP yang saat itu masih utuh
terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
sempalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanah Nasional (PAN)
mengubah pilkada menjadi tidak langsung, yaitu ke cara lama di DPRD setiap
tingkatan. Kita bersyukur bahwa saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
masih memiliki nalar yang sehat dengan mengeluarkan peraturan pemerintah
pengganti UU (perppu) yang mengubah pemilihan kepala daerah secara langsung
seperti yang sudah berlangsung sejak 2005. Jika tidak, kita akan kembali ke
masa Orde Baru, yaitu para kepala daerah ditentukan dari atas melalui proses
di DPRD.
Konsolidasi politik dan
pemerintahan
Tahun 2015 ialah tahun konsolidasi politik dan
pemerintahan bagi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada
tataran politik, Jokowi berupaya membangun hubungan dengan para ketua partai
yang tergabung dalam KMP dan KIH. Itu bertujuan mencairkan suasana politik
yang sangat panas pada saat Pilpres 2014. Kepada kelompok KMP, pencairan
hubungan dilakukan bukan saja melalui pertemuan-pertemuan formal dan
informal, melainkan juga dengan memberikan konsesi-konsesi ekonomi, khususnya
kepada para pentolan politik utama di KMP, seperti kepada Aburizal Bakrie dan
Prabowo Subianto.
Di sisi lain, karena Jokowi bukanlah pimpinan partai atau
bagian dari oligarki kekuasaan politik yang ada di KIH, mau tidak mau ia juga
harus memberikan konsesi-konsesi politik pada KIH, seperti menyetujui desakan
agar dilakukan reshuffle kabinet pasca-Idul Fitri. Namun, Presiden Jokowi juga
tetap ingin menunjukkan bahwa dialah Presiden Republik Indonesia dan tidak
bisa ditekan oligarki partai agar melakukan perubahan sesuai dengan
kepentingan politik para penguasa partaipartai tersebut. Karena itu, reshuffle dilakukan amat terbatas.
Konsolidasi pemerintahan dilakukan melalui konsolidasi di
kabinet yang sebagian besar telah berjalan baik. Namun, masih ada
kegaduhankegaduhan politik yang diakibatkan adanya menteri yang menggunakan
‘politik megafon’, yaitu cuap-cuap melalui media massa dan mengkritik sesama
teman di kabinetnya atau merasa bahwa perubahan ke arah yang lebih baik sejak
Agustus 2015 disebabkan berbagai manuver politiknya.
Presiden Jokowi tidak cukup hanya membuat pernyataan
kepada pers agar para menteri mengemukakan pikiran dan pandangan di sidang
kabinet bahwa semua harus selesai di kabinet dan tidak boleh ada yang
menyatakan ketidaksetujuannya atas hasil sidang kabinet melalui media massa,
tapi juga harus memberikan peringatan keras. Kalau sampai tiga kali
peringatan presiden tidak digubris, menteri-menteri yang membandel patut
dicopot!
Akhir tahun yang memalukan
Paruh kedua 2015 awalnya menunjukkan tanda-tanda positif
di bidang politik. PAN secara lambat tapi pasti akhirnya menyatakan diri
menjadi partai pendukung pemerintah walaupun ada juga pernyataan Ketua Umum
PAN Zulkifli Hasan pascapertemuan para pemimpin KMP bahwa PAN tidak keluar
dari KMP. Anehnya pula, Ketua Dewan Pertimbangan PAN Amien Rais masih juga
hadir saat pertemuan KMP untuk menentukan dukungan terhadap Setya Novanto
yang terkena kasus Freeportgate atau ‘papa minta saham.’ Sempalan PPP
pimpinan Jan Faridz juga sudah menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-JK
walau ada embel-embel agar pemerintah memformalkan kepengurusan PPP kubu Jan
Faridz melalui SK Menkum dan HAM.
Tahun ini ditandai dengan skandal yang memalukan, yakni
kasus Freeportgate atau ‘apa minta
saham.’ Peristiwa sesungguhnya sudah ter jadi pada Mei dan Juni 2015, tapi
baru diungkapkan pada November 2015. Pencatutan nama Presiden Jokowi dan
Wapres Jusuf Kalla oleh Setya Novanto untuk mendapatkan 20% saham di PT
Freeport dan 49% saham perusahaan listrik yang akan dibangun PT Freeport
merupakan skandal yang amat memalukan karena dilakukan Ketua DPR RI. Kasus
ini jangan sampai berhenti pada tingkatan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)
saja, melainkan harus masuk ke ranah hukum. Meskipun nantinya keputusan
hukumnya hanyalah pelanggaran ringan usaha melakukan penipuan atau korupsi,
itu harus dibongkar, siapa saja di balik skandal itu, baik di anggota
parlemen, menteri, staf ahli, maupun pengusaha. Tanpa itu, negeri ini akan
terus dipandang sebagai negeri para koruptor!
Optimisme pada 2016
Dengan berkaca pada 2015, kita semua memiliki optimisme
yang kuat bahwa 2016 akan lebih baik daripada 2015. Presiden Jokowi sudah
memiliki pengalaman politik yang amat kaya dan baik selama setahun ini sehingga
ia dapat menjalankan tugas-tugasnya secara lebih tenang. Tekanan-tekanan atau
sikutan-sikutan dari berbagai penjuru mata angin masih akan datang, kegaduhan
politik juga masih akan terjadi, tapi itu hanyalah riak-riak gelombang
politik yang tidak akan menghempaskan posisi Presiden dan Wakil Presiden.
Kejujuran Presiden Jokowi ditambah dengan ketegasan seorang Wakil Presiden
yang juga memiliki budaya siri (budaya malu di Makassar untuk menjaga
kehormatan diri dan keluarga) menjadi bekal utama kedua dwitunggal itu untuk
menjalankan pemerintahan secara jujur demi kemajuan bangsa dan negara kita
serta demi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sikap tegas Presiden dan Wakil Presiden bukan saja tertuju
kepada para politikus di Indonesia, melainkan juga pimpinan dan politisi
negara asing yang ingin menekan pemerintah Indonesia demi kepentingan
nasional mereka. Kita berharap, dalam kasus Freeport, pemerintah Indonesia
dapat berpikir dan bertindak secara rasional demi kepentingan nasional jangka
pendek dan jangka panjang kita. Kita juga berharap, pemerintah dapat meninjau
kembali apakah kerja sama B to B, Indonesia-Tiongkok, untuk membangun kereta
cepat Jakarta-Bandung sudah tepat atau tidak. Jika itu business to business, tentunya kata kuncinya ialah profit. Apakah
mungkin jalur pendek itu menguntungkan di tengah banyaknya moda angkutan
antarkedua kota itu?
Kita akan menyaksikan bahwa satu demi satu partai di dalam
KMP mulai lompat pagar, diawali PAN, dilanjutkan PPP, dan bukan mustahil diakhiri
Partai Golkar. Namun, semakin bengkaknya Koalisi Partai Pendukung Pemerintah
(pengganti kata KIH) tidak menjamin parlemen akan begitu mudah mendukung
pemerintah. Pengalaman 10 pemerintahan SBY bisa menjadi pelajaran yang
berharga bagi pemerintahan Jokowi-JK. Ini bukan saja terkait dengan akan
semakin riuhnya suasana di kabinet karena adanya pertarungan kepentingan
antarpartai di kabinet dan antarindividu menteri, melainkan juga adanya
perbedaan kepentingan untuk mendapatkan dukungan konstituen dalam setiap isu
politik yang dibahas di DPR.
Terlepas dari berbagai situasi yang akan terjadi, kita
harus tetap optimistis bahwa negeri ini akan lebih pada 2016.
Hanya dengan optimisme dan semangat yang tinggi kita dapat bahu-membahu
menjadikan Indonesia semakin hebat dan berjaya, bukan Indonesia yang selalu
ricuh dan tetap menjadi bangsa koeli! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar