Parenting Education, Prinsip dan Tujuan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Desember 2015
SALAH satu arah kebijakan
pendidikan di Indonesia menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional “Mengembangkan kualitas sumber
daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui
berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar
generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hal dukungan
dan lindungan sesuai dengan potensinya.” Kalimat seluruh komponen bangsa
di atas jelas mengindikasikan bahwa pendidikan bukan hanya milik dan tugas
pemerintah, melainkan juga menjadi bagian dari tanggung jawab masyarakat.
Sebagai tindak lanjut dari arah
kebijakan tersebut, melalui UU No 32/2004 tentang Desentralisasi,
sesungguhnya pemerintah menginginkan terjadinya peningkatan dukungan
masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur
urusannya sendiri dalam kegiatan pembangunan. Ini artinya, bahwa peran serta
dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan
pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka
selebar-lebarnya. Kemampuan berpartisipasi ini juga perlu didorong dengan
sebuah kebijakan yang relevan seperti peningkatan pendidikan kepengasuhan
orangtua (parenting education) agar
peran serta dan partisipasi mereka menjadi lebih baik dan berkualitas. Karena
itu, menjadikan sekolah sebagai unit analisis kebutuhan dan kemampuan
masyarakat dalam berpartisipasi ialah afirmatif.
Empat
tujuan
Jika sekolah dipercayai sebagai
tempat untuk menempa sese orang dalam mengembangkan kapasitas intelektual,
tempat ribuan teks dan buku diajarkan dan dibaca secara reguler dan
inspiratif melalui serangkaian proses belajar mengajar yang baik, tak
mengherankan jika sampai saat ini masih banyak orang menaruh harapan terhadap
eksistensi sekolah. Meskipun sekolah kerap dikritik sebagai tempat atau
karantina yang mungkin saja membelenggu kebebasan manusia dalam berekspresi (deschooling society), tetapi hingga
saat ini hanya lembaga itulah (sekolah) yang di luar keluarga (famili) masih
memiliki kekuatan melakukan perubahan, baik terhadap perorangan maupun
kelompok.
Pentingnya mengembalikan peran
masyarakat agar bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan di tingkat
sekolah/lokal melalui sebuah program pemberdayaan yang terstruktur dan
sistematis ialah tuntutan yang harus dipenuhi pemerintah. Jika masyarakat
paham penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan sekolah,
mengerti meski sedikit tentang performance
indicators, baik yang berkaitan dengan siswa maupun guru, serta paham
arah pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan memperoleh dukungan yang baik
(Boyd and Claycomb, 1994).
Bentuk pemberdayaan terhadap
masyarakat paling tidak mencakup program pemberdayaan orangtua (parenting education) dan kemitraan
masyarakat dan sekolah (partnership/communal
parents and teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian
peran serta masyarakat dalam pendidikan dan bagaimana proses edukasi terhadap
masyarakat dilakukan, kedua bentuk proses pemberdayaan ini merupakan strategi
yang paling efektif dan memberi pengaruh besar terhadap hasil belajar siswa (Bauch & Goldring, 1998).
Membangun sekolah sebagai basis
pengembangan dan pendidikan masyarakat nampaknya perlu lebih diperhatikan
negara. Gaung tentang sekolah sebagai sebuah agen perubahan sosial (school as an agent of social change)
perlu diperlihatkan secara sungguhsungguh oleh negara melalui program
pemberdayaan masyarakat, yang berimplikasi langsung kepada dukungan
penyelenggaraan pendidikan di lingkungan mereka masing-masing. Karena itu,
setidaknya ada empat tujuan yang hendak dicapai dalam proses parenting education yang meletakkan
masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari komunitas sekolah.
Pertama, parenting education harus menjadi basis berlangsungnya proses
berbagi informasi tentang anak-anak mereka dalam hubungannya dengan guru,
teman sekelas, dan beragam aktivitasnya (information
sharing). Kedua, harus menjadi sarana dalam membangun dan mengembangkan
keterampilan orangtua dalam membangun relasi yang baik dengan anak-anak
mereka (skill building).
Keterampilan kepengasuhan harus terus dikembangkan berdasarkan kasus-kasus
spesifik yang terjadi di sekitar anak-anak mereka, baik ketika di sekolah
maupun di rumah.
Tujuan ketiga dari parenting
education juga mencakup peningkatan kapasitas emosi orangtua dalam konteks
mengelola hubungan dengan anak, guru, dan komunitas sekolah lainnya (self-awareness). Pentingnya mengelola
emosi bagi orangtua sangat berkaitan dengan pola kepengasuhan yang akan
diterima anak-anak mereka, sedangkan yang keempat, tujuan parenting education juga berkaitan
dengan kemampuan memecahkan masalah (problem
solving) yang terjadi di sekitar mereka, terutama masalah-masalah yang
terjadi pada anak-anak mereka. Beragam program bisa dilakukan secara bersama
antara sekolah dan masyarakat dalam konteks keempat tujuan tersebut. (Marvin J Fine: The Second Handbook on
Parent Education: Contemporary Perspectives, 1998).
Sekolah akan berkualitas jika
peran sentral guru dan orangtua lebih ditingkatkan dalam sebuah interaksi
yang positif di ruang kelas. Kondisi itu dapat meminimalisasi sekaligus
mematahkan tekanan kapitalisme di bidang pendidikan.
Komunikasi ialah kata kunci yang
harus terus-menerus ditingkatkan antara orangtua dan guru sebagai sebuah
kesatuan. Dalam bentuk yang lebih konkret dan aplikatif, hubungan antara guru
dan orangtua dapat dilakukan melalui buku penghubung mingguan, semacam weekly folder yang berisi rangkaian
aktivitas belajar-mengajar di sekolah yang harus diketahui para orangtua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar