Layanan Angkutan Berbasis IT dan
Pemihakan kepada Masyarakat
Danang Parikesit ; Ketua Umum MTI
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Desember 2015
POLEMIK penggunaan platform IT (information technology) untuk layanan
transportasi umum perkotaan seolah berhenti dengan terbitnya surat dari
menteri perhubungan tanggal 9 November 2015 kepada Kapolri yang berisi
permintaan untuk melakukan penindakan terhadap pelanggar UU LLAJ. Bahkan
dalam surat tersebut telah disebut berbagai nama penyedia layanan, yang menurut
saya kurang elok sebagai sebuah surat dari pejabat negara karena bisa
menimbulkan syak wasangka dan melanggar asas praduga tak bersalah. Pasal mana
yang didugakan juga masih belum cukup tegas disebutkan.
Belum genap 10 hari surat tersebut
diterbitkan, menteri membuat pernyataan pers bahwa apa yang disampaikan
tersebut direvisi karena pelayanan angkutan umum perkotaan yang ada hingga
saat ini belum memadai. Lepas dari peringatan yang diberikan Presiden
mengenai hal ini, ada beberapa catatan penting yang perlu kita perhatikan.
Pertama, pemerintah perlu memenuhi
amanat UU LLAJ untuk bertanggung jawab terhadap pelayanan angkutan umum
perkotaan. Meskipun dalam PP 38/2007 dinyatakan bahwa penyelenggaraan
angkutan umum perkotaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, pemerintah
pusat haruslah menjadi pendorong munculnya sistem angkutan umum yang baik. Bukan
dengan pembagian bus ke berbagai kota yang rawan penyelewengan anggaran APBN,
melainkan memberikan pendampingan dan contoh yang baik untuk penataan trayek,
pembangunan fasilitas terminal, dan ‘transit
oriented development’, fasilitasi hibah daerah, serta pedoman pembuatan
kontrak kinerja antara pemerintah daerah dan operator angkutan umum. Apakah
pemerintah bisa dipersoalkan apabila kewajiban UU ini tidak terpenuhi? Saya
kira ini pertanyaan yang lebih valid untuk ditanyakan.
Kedua, masyarakat yang mencari
solusi sendiri termasuk pelaku usaha harus diapresiasi. Masyarakat mencari
solusi terhadap masalah mobilitas mereka sendiri karena angkutan umum yang
ada belum layak dan infrastruktur pendukung terbatas. Masyarakat sudah
memahami bahwa penambahan kendaraan pribadi tidak akan membawa kelancaran
jalan dan biaya yang lebih murah. Karena itulah mereka menggunakan ojek dan
kendaraan yang memiliki layanan IT. Kendaraan tersebut memiliki okupasi
tinggi dan utilisasi yang demikian besar sehingga efektif berada dalam jaringan
jalan perkotaan yang telah padat dengan perbandingan volume dan kapasitas
yang rendah.
Perbandingannya bukanlah
penggunaan angkutan umum dengan sistem layanan angkutan berbasis IT,
melainkan antara penggunaan sepeda motor dan mobil pribadi dengan sistem
layanan berbasis IT tersebut. Kondisi lalu lintas perkotaan tidak
terbayangkan dengan jumlah kecelakaan, tingkat kemacetan, dan kadar polusinya
apabila sistem tersebut dilarang dan semua orang menggunakan kendaraan
pribadi.
Ketiga, pernyataan bahwa sistem
layanan berbasis IT akan dihilangkan apabila sistem angkutan umum perkotaan
telah semakin baik juga bukan merupakan kebijakan yang tepat. Seharusnya
pemerintah melihat antara layanan berbasis IT dan sistem angkutan umum
terdaftar bukanlah kompetisi, melainkan komplementer. Seharusnya integrasi
bukan kompetisi. Kalau kita bisa mendorong pemanfaatan layanan tersebut
menjadi `feeder' atau `first/last mile' dari jaringan angkutan umum, berbagai
tujuan kebijakan transportasi akan tercapai. Pengguna layanan berbasis IT
tidak perlu menggunakan sistem tersebut terlalu jauh jaraknya dan difungsikan
dari rumah menuju halte atau stasiun, atau dari halte/stasiun menuju kantor
atau sekolah. Saat ini layanan berbasis IT tersebut digunakan sebagai alat
angkut ‘door-to-door’ yang meningkatkan risiko kecelakaan dan menimbulkan
kemacetan, sedangkan angkutan umumnya mengalami kekurangan penumpang. Apabila
penumpang angkutan sedikit, keberlanjutan finansialnya akan terganggu dan
hanya akan mengandalkan subsidi pemerintah.
Keempat, pemerintah memang perlu
mendukung kesehatan usaha dari perusahaan angkutan, seperti taksi. Tidak bisa
dimungkiri bahwa kemunculan layanan berbasis IT yang menjalankan usaha serupa
taksi telah dan akan menggerus keuntungan perusahaan taksi. Ini bukan
persoalan legalitas, melainkan pengakuan bahwa layanan berbasis IT tersebut
tercatat atau tidak sebagai angkutan umum.
Di Filipina, negara yang pertama
kali mampu menyusun regulasi mengenai layanan berbasis IT ini, mereka
mengenali karakteristik khusus dari layanan tersebut, yaitu menggabungkan
antara layanan angkutan dan layanan IT dalam satu sistem aplikasi.
Mereka kemudian mengenalkan
kategori baru yang dinamakan ‘network services’. Kategori baru itu
memungkinkan berbagai inovasi IT muncul dalam pelayanan transportasi.
Dengan menjadikan penyedia layanan
yang ‘unregulated’ menjadi ‘regulated’, pemerintah bisa menyusun kebijakan
kompetisi yang setara, termasuk penetapan harga dan bentuk layanan yang
diinginkan. Di beberapa negara, layanan berbasis IT tidak selalu lebih murah
karena menyediakan produk layanan yang bernilai tambah. Go-Jek, misalnya,
menyediakan layanan antar barang, pembersihan ruangan, dan bahkan layanan
pijat.
Pemerintah perlu membangun
perspektif baru layanan transportasi berbasis IT di masa depan. Kemampuan
untuk melihat inovasi memang belum sejalan dengan praktik regulasi saat ini
yang berorientasi pada keadaan yang telah terjadi, bukan yang mungkin akan
terjadi di masa depan. Persoalannya ialah ‘apakah kita mau membuka diri dan
beradaptasi terhadap kemajuan teknologi?’ Kalau jawabannya ‘iya’, beberapa
saran di atas dapat menjadi rujukan bagi penyempurnaan sistem angkutan umum
perkotaan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar