Musibah bagi Kewarasan Berdemokrasi
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 28 November 2015
DENGAN gagah, Wakil Ketua DPR Fadli Zon
mengatakan dalam orasinya bahwa parlemen sangat berperan strategis dan vital
dalam upaya menyukseskan pemberantasan korupsi, sebagai bagian dari upaya
mewujudkan good governance dan
demokrasi di Indonesia. Hal itu disampaikannya pada Kamis (8/10), di
Yogyakarta, saat terpilih sebagai Presiden Global Organization of Parliamentarians Against Corruption
(GOPAC) periode 2015– 2018, menggantikan Ricardo Garcia Cervantes dari
Meksiko.
Namun, seiring berjalannya waktu, pidato
tersebut tinggal pepesan kosong. Pertama, karena dalam waktu nyaris bersamaan,
pada 6 Oktober, DPR justru mengajukan rancangan revisi UU Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terdiri atas 73 pasal dan 12 bab. Publik pun
geram terhadap rencana tersebut karena dengan sengaja berikhtiar mengamputasi
kewenangan KPK. Kedua, santernya kabar pencatutan nama presiden dan wakil
presiden oleh Ketua DPR Setya Novanto yang merupakan penyalahgunaan kekuasaan
(korupsi) tidak menjadi ancaman korektif bagi DPR, tapi justru menuai reaksi
‘politis’ dari pimpinan DPR seperti Fadli yang blakblakan menganggap tak ada
masalah dengan permintaan saham oleh Setya Novanto di dalam rekaman
pembicaraan tersebut, karena saham itu untuk negara.
Nampaknya, ia tersesat oleh kekaburan peta
kognisi (cognitive maps)-nya, yang
mestinya menjadi panduan prinsipil politisi untuk mengarahkan sikap dan
perilakunya pada basis norma, etik, dan moral. Jika memang buat negara,
Novanto jelas tidak dalam kapasitasnya melobi ‘saham haram’ itu. Juga
menganggap Novanto ‘dijebak’ lewat rekam an berdurasi 17 menit-18 menit tersebut,
sesuatu yang aneh, seolah-olah nalar publik mau digiring untuk menggeser
substansi skandal pencatutan, dari wilayah otonom moral pribadi ke hal yang
bersifat eksternal.
Tidak serius
Kalau memang merasa bersih, lebih elegan jika
Novanto membiarkan saja proses persidangan etik berjalan untuk menemukan
kebenaran sesungguhnya dengan kontestasi argumen yang meyakinkan.Bukan
buru-buru introver, membiarkan pimpinan DPR bersama Koalisi Merah Putih (KMP)
`pasang badan' membelanya. Padahal, `pakta integritas' KMP di dalam
berpemerintahan sepanjang lima tahun bukanlah untuk membela kepentingan
individu, melainkan membela urusan vital rakyat banyak.
Logika dan sikap di atas semakin melestarikan
tesis; DPR memang tak pernah serius mengawal eliminasi korupsi di bangsa ini.
Di internal, mereka sebaliknya ngotot
`memblokade' petak umpet kejahatan koruptif, termasuk perdagangan pengaruh
dari penetrasi penegakan etika dan yudisial.
Sebagai Presiden GOPAC dan wakil yang dipilih
langsung rakyat, publik negara luar juga pasti bertanya di mana konsistensi
moral dan ucapan Fadli Zon? Bukankah aksi pencatutan telah menggulingkan
etika publik dan prinsip hukum? Modus
vivendi melebarkan sayap kepentingan pribadi di balik `roh' transkrip
rekaman yang dimaksud, tak mungkin terbantahkan. Belakangan, giliran legal standing pengaduan oleh Menteri
ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dipersoalkan.
Padahal, di dalam suasana politik turbulentif,
motif, dan intensi luhur menguak kejahatan, jauh lebih penting dari sekadar
prosedural. Isu
soal ada oknum DPR yang ‘dibanting’ suap Rp20 miliar terkait dengan proses
persidangan etik Novanto, kian mengentalkan kecurigaan bahwa ada jejaring sistemik yang
diskenariokan untuk menyedot energi perlawanan terhadap kepentingan koruptif
di Senayan, misalnya menuduh Sudirman Said mencemarkan nama baik Novanto
padahal persidangan etik saja masih berlangsung.
Alih-alih menunjukkan sportivitas politik
kepada publik, cara tersebut sejatinya tak lebih dari sebuah infantilisme
politik tak mendidik. Kalaupun kelak Novanto ‘terbukti tak bersalah’, dengan
melihat dinamika kerja MKD selama ini saja, publik tentu tak akan semudah itu
mau menggeser sikap dan vonis moralnya. Kenapa? Karena preseden selalu
memperlihatkan bahwa institusi yang berisi kelompok politik akan selalu
berkecenderungan abadi mempertahankan kepentingan parsial dan pribadi (Bdk
David Humme, 1963).
Bukan merit system
MKD sudah diprediksi sejak awal bakal tidak
efektif fungsinya sebagai pengadilan etik wakil rakyat karena dosis dan
representasi politiknya sangat kuat, tidak saja terkait keanggotaan, tapi
juga kadar profesionalismenya (Haris, 2012). MKD lebih layak disebut sebagai
`pengadilan politis' peng genap institusi DPR.
Namun, kelemahan itu tak membuat rakyat menoleransi
begitu saja kinerja MKD. Skandal pencatutan jelas telah mereduksi muruah
pemerintah dan negara. MKD tidak boleh terjebak ‘politik petasan’ yang hanya
menggegerkan rakyat karena ledakan komit men sesaat, tapi setelah itu hilang
tak berbekas. MKD wajib membuktikan bahwa kebenaran dan moralitas berpolitik
DPR harus menjadi vital interest
(kepentingan utama) yang dijunjung luhur, bukan soal kepentingan ‘papa dapat
saham atau tidak’.
Skandal pencatutan ini sebenarnya merupakan
implikasi patologis dari pola rekrutmen dan penempatan politisi pada
kursi/jabatan yang tak berbasis merit
system sehingga potensi untuk melahirkan politisi medioker, tak
berintegritas, lemah cognitive maps,
dan selalu menganga. Di negara lain, jenjang karier politik akan menentukan
layak atau tidaknya seseorang duduk sebagai wakil rakyat. Di negara demokrasi
maju seperti Amerika Serikat, Ketua House
of Representative-nya tak bisa langsung diangkat atau dipilih jika jam
terbang karier kepemimpinannya lemah.
Paling tidak, dia harus pernah memimpin
komisi, fraksi, atau pernah menjadi wakil ketua DPR, baru orang tersebut
dipilih menjadi ketua DPR agar jejak integritas dan kecakapan intelektualnya
teruji. Di kita, unsur patron dan barter kepentinganlah yang mengalahkan
absolutisme merit system dalam
politik. Akibatnya, nasib dan perjalanan demokrasi dikorbankan. Sudah begitu,
kekuatan suara rakyat selalu mati kutu dalam mengimbangi sentralisasi jabatan
pada ‘ orang kuat’.
Andai saja sensitif, desakan Forum Komunikasi
Masyarakat Flores, Sumba Timur dan Alor (FKM Flobamora) yang notabene wilayah
konstituen Novanto untuk mendorongnya mundur, sudah seharusnya dibaca secara
jernih sebagai ‘legitimasi’ awal runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap
(pemimpin) DPR saat ini. Itu berarti pimpinan DPR, khususnya Novanto sudah
kehilangan posisi moral-politiknya; dari dan untuk siapa ia merepresentasikan
diri dan bekerja. Sayangnya, kewarasan berpikir ini diabaikan.
Kalau dulu, runtuhnya tembok Berlin dan
bubarnya negara komunisme di Uni Soviet merupakan bagian dari ‘evolusi’
sejarah untuk mengawali sebuah titik peradaban baru, yakni demokrasi, tetapi
–yang dikhawatirkan-di kita, runtuhnya tembok (moral) DPR menjadi musibah
bagi kewarasan berdemokrasi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar