Makelarisasi Gas Bumi Nan Dahsyat
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen
|
DETIKNEWS,
28 Desember 2015
Rencana Pemerintah untuk mengkonversi bahan bakar minyak (BBM)
dengan gas bumi dan energi baru terbarukan (EBT), sampai hari ini masih
terkendala. Hasil investigasi saya menunjukkan, bahwa penyebabnya sangat
sederhana, yaitu makelarisasi. Namun kali ini saya hanya akan membahas
kendala yang terkait dengan gas bumi, sedangkan untuk EBT segera menyusul.
Kegagalan Pemerintah mengkonversi BBM ke gas bumi patut diduga
memang dihambat oleh sekelompok elite bangsa ini yang bertindak sebagai
makelar (trader). Mereka kencang
membantai Kementerian ESDM dan BUMN Migas (PT Pertamina dan PT PGN),
seolah-olah mereka orang paling paham dan paling jujur di republik ini.
Dengan cadangan gas
bumi yang cukup besar (terhitung 1 Januari 2015 sebesar 151,33 TCF atau meningkat
1,36% dibandingkan cadangan gas bumi 1 Januari 2014 sebesar 149,3 TSCF,
sumber: Indonesia Infrastruture News, Nopember 2015), Indonesia menjadi
sasaran makelar gas paling menjanjikan. Menjamurnya makelar gas atau yang
sering kita kenal dengan sebutan trader
gas bermula ketika pada tanggal 14 Oktober 2004, Presiden Megawati
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan
Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Sejak itulah model
usaha gas bumi Indonesia dikuasai oleh trader
yang mengakar di oknum politis dan pejabat negara beserta keluarganya. Makelar gas tidak kalah dahsyat sepak terjangnya dengan makelar
minyak.
Tulisan kali ini
hanya akan menunjukkan kedahsyatan makelar gas mendulang 'fulus' dengan
sangat mudah dan tanpa modal di tengah kesulitan masyarakat mendapatkan
energi murah dari bumi Indonesia. Analisa saya kali ini berdasarkan dokumen
resmi milik Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) tentang Pengaturan Harga
Gas Bumi, Oktober 2015.
Strategi
Makelar Menguasai Gas Bumi Indonesia
Untuk mengatur gas bumi, antara lain Pemerintah telah
mengeluarkan berbagai aturan, antara lain PP No, 30 Tahun 2009 tentang
Kegiatan Usaha Hilir Migas, Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 19 Tahun 2009
Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa.
Kedua aturan tersebut dalam pelaksanaannya saling bertabrakan. Pasal
72 PP No. 30 Tahun 2009 menyatakan bahwa harga BBM dan gas bumi diatur
dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 21 ayat (4) dan (5) Permen No. 19
Tahun 2009 menyatakan bahwa harga gas bumi melalui pipa untuk pengguna umum
ditetapkan oleh Badan Usaha dan wajib dilaporkan ke Menteri, dalam hal ini
Menteri ESDM.
Dengan tidak
diaturnya harga gas bumi oleh Pemerintah tetapi oleh badan usaha, mendorong
munculnya banyak trader bertingkat.
Akibatnya muncul perbedaan harga yang sangat besar dan tidak terkontrol
antara harga gas di pasokan (hulu) dengan harga gas di konsumen (hilir).
Kondisi saat ini, gas bumi yang berasal dari sumber gas milik
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), misalnya Petrochina di Tuban yang seharusnya
dialirkan langsung ke beberapa pabrik (konsumen) di Sidoarjo yang berjarak
sekitar 90 km, ternyata tidak dapat dilakukan langsung oleh Petrochina karena
gasnya harus melalui segerombolan trader. Tidak percaya? Mari kita cermati ilustrasi berikut ini.
Misalnya gas dari salah satu KKKS (Petrochina Tuban)
dijual/disalurkan ke konsumen melalui jaringan pipa transmisi (open access) milik PT Pertagas Niaga
dan/atau PT PGN. Kemudian gas disalurkan melalui pipa distribusi yang masih dedicated hulu (umumnya milik PT PGN)
ke konsumen. Konsumen akan membayar harga gas ditambah toll fee, misalnya
sekitar USD 0.25/mmbtu. Harga gas Petrochina
Tuban, misalnya USD 7/mmbtu, maka industri di Sidoarjo seharusnya hanya akan
membayar untuk gas yang mereka butuhkan sebesar USD 7/mmbtu + USD 0.25/mmbtu
= USD 7,25/mmbtu. Murah kan ?
Sayang konsumen harus membayar jauh lebih mahal, karena adanya
sistem makelarisasi gas bumi. Mari kita lihat kisah perjalanan gasnya.
Pertama, gas
Petrochina Tuban dialirkan melalui pipa transmisi, misalnya milik PT Pertagas
Niaga dan/atau PT PGN ke PT Belian Energi (BE) seharga USD 9/mmbtu.
Keuntungan PT BE adalah Rp 1,75/mmbtu. Lalu oleh PT BE, gas tersebut dijual
lagi ke trader lain, misalnya PT
Gembel Energi (GE), yang memiliki jaringan pipa 12 inchi sepanjang 'hanya'
850 meter, dengan harga USD 11,25/mmbtu. Selisih harga jual atau keuntungan
PT GE adalah USD 2,25/mmbtu.
Kemudian PT GE
menjual jatah gasnya ke trader
berikutnya, yaitu PT Rakus Energi Utama (REU), yang sudah membangun pipa 6
inchi sepanjang 'hanya' 936 meter, dengan harga USD 12,75/mmbtu. Selisih
harga atau keuntungan PT REU sebesar USD 1,50/mmbtu. Lalu pada akhirnya PT
REU menjual gasnya ke konsumen (industri di Sidoarjo) sebesar USD 14/mmbtu. Keuntungan PT REU sebesar Rp 1,25/mmbtu. Semua keuntungan trader sudah termasuk toll fee pipa
transmisi dan distribusi.
Semua pipa transmisi dan distribusi yang digunakan oleh trader,
adalah milik PT Pertagas Niaga dan/atau PT PGN. Saat ini Pertagas mempunyai
pipa transmisi di seluruh Indonesia sepanjang kira-kira 1.900 km dan PT PGN
kira-kira sepanjang 2.200 km dan keduanya open
access. Di luar pipa transmisi, PT PGN masih mempunyai jaringan pipa
distribusi yang dedicated hilir sepanjang
kira-kira 4.270 km.
Melihat situasi yang demikian, Pemerintahan JKW-JK kemudian
mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 37 Tahun 2015 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi. Namun berhubung para trader tidak berkenan, mereka berupaya
keras supaya Menteri ESDM merevisi Permen ini sebelum tanggal 31 Desember
2015. Sebab kalau tidak direvisi, sebagian besar trader habis izinnya pada tanggal 31 Desember 2015.
Langkah
Pemerintah Mengatur Harga Keekonomian Gas Bumi di Hilir
Pertama, Pemerintah cq Kementerian ESDM harus tegas untuk tidak
memperpanjang izin para trader gas, kecuali mereka sudah membangun jaringan
pipa. Pembersihan trader gas oleh Pemerintah harus cepat dilakukan supaya
konversi BBM ke gas bumi bisa cepat terlaksana.
Kedua, jika Pemerintah cq Kementerian ESDM kesulitan karena
adanya tekanan lobi politik dari para trader
gas terkait dengan revisi Permen ESDM No. 37/2015; pastikan hanya trader yang
sudah membangun jaringan pipa transmisi dan/atau distribusi gas ke konsumen
yang diberikan izin beroperasi kembali. Bukan yang abal-abal. Misalnya jarak
ke konsumen 20 km, pipa transmisi dan/atau distribusi gas yang dibangun hanya
sepanjang 900 m bukan 20 km.
Ketiga, awasi dengan ketat pelaksanaan peraturan perundang
undangan yang ada, supaya tidak muncul lagi trader gas abal-abal.
Habisi makelarisasi gas bumi demi kelangsungan hidup energi
bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar