Dari Petral ke Freeport
Fahmy Radhi
; Dosen UGM; Mantan Anggota Tim Anti-Mafia
Migas
|
KORAN
SINDO, 29 Desember 2015
Nama Muhammad Reza Chalid (MRC) kembali mencuat di balik
terbongkarnya skandal persekongkolan perpanjangan kontrak karya (KK)
Freeport, yang diduga melibatkan MRC, mantan ketua DPR, dan Presiden Direktur
PT Freeport Indonesia.
Setelah malang-melintang di bisnis minyak dan gas (migas),
utamanya bisnis trading dengan Pertamina
Energy Trading Limited (Petral), MRC rupanya mencoba keberuntungan
bisnisnya dengan melakukan migrasi dari Petral ke Freeport. Debut bisnisnya
diawali saat MRC menjalin usaha bisnis migas dengan beberapa kroni Orde Baru.
Kendati rezim Orde Baru telah runtuh, bisnis migas MRC tetap
saja berkibar hingga kini, bahkan bisnisnya semakin melambung. Untuk
melancarkan bisnis trading migas, MRC mendirikan perusahaan Global Energy Resource (GER) yang
berkedudukan di Singapura. Sesuai hasil kajian Tim Anti-Mafia Migas, yang
dikonfirmasi oleh hasil Audit Investigasi Petral, GER merupakan pihak ketiga
diantara national oil company (NOC)
yang menjadi pemasok utama impor BBM Indonesia melalui Petral.
Mafia Migas
Petral
Pada 1969 Pertamina mendirikan Petral dengan tujuan untuk
memasarkan minyak mentah dan produk minyak Indonesia ke pasar Amerika
Serikat. Petra Group berkedudukan di Hong Kong, mempunyai anak perusahaan
bernama Pertamina Energy Services
Limited (PES), yang berkedudukan di Singapura. Pembentukan Petra Group
tidak terlepas dari kepentingan elite penguasa Orde Baru untuk mendapatkan
rente dari ekspor minyak.
Awalnya saham Petra Group dimiliki oleh Pertamina dan beberapa
kroni Orde Baru. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Rezim Orde baru,
Pertamina mengambil alih seluruh saham Petra Group. Saat Indonesia masih
mengekspor minyak, kegiatan Petra Group hanya berperan sebagai ”agen
penjualan” minyak. Setelah Indonesia menjadi net importer, kegiatan utama
Petral adalah impor bahan bakar minyak (BBM).
Pertamina menunjuk
Petral sebagai satu-satu perusahaan untuk melakukan pengadaan seluruh
kebutuhan impor BBM. Pengadaan impor BBM inilah yang menjadi lumbung bagi
mafia migas dalam pemburuan rente. Semakin tinggi volume impor BBM semakin
tinggi pula rente yang diperoleh mafia migas. Tidak dibangunnya kilang minyak
baru menyebabkan volume impor BBM semakin meningkat hingga kini 590.000 barel
per hari.
Indikasi menunjukkan ada upaya mafia migas untuk mencegah
pembangunan kilang minyak selama 20 tahun terakhir ini. Tujuannya agar impor
BBM semakin meningkat sehingga menguntungkan mafia migas yang bermain di
Petral. Sesungguhnya, bukan tidak ada investor yang akan melakukan investasi
membangun kilang minyak di Indonesia, tetapi usulan beberapa investor selalu
kandas saat diputuskan, baik di Kementerian Keuangan maupun di Menko
Perekonomian.
Mirip dengan upaya pencegahan pembangunan kilang minyak, jejak
permainan mafia migas di Petral juga sulit dikenali, bahkan hampir tidak
meninggalkan jejak sama sekali. Meskipun nyaris tanpa jejak, permainan mafia
migas di Petral memunculkan indikasi penyimpangan dengan ada anomali alias
kejanggalan dalam proses tender di Petral. Direksi Petral selalu mengatakan
bahwa tender pengadaan impor BBM dilakukan secara terbuka dan transparan
secara online. Namun, data menunjukkan bahwa tender seringkali dimenangi oleh
NOC yang tidak memiliki minyak di negaranya antara lain NOC Vietnam,
Thailand, Italia, dan Maldives.
Indikasi penyimpangan lainnya dalam impor BBM adalah ada proses blending RON88 alias premium. Lantaran
RON88 tidak lagi dijual di pasar internasional, pengadaan RON88 dilakukan
dengan membeli RON92, lalu dilakukan blending
di Malaysia dan Singapura dengan mark-up
biaya blending. Penyimpangan itu
menyebabkan harga impor BBM menjadi lebih mahal dari harga sebenarnya.
Impor premium dengan harga yang mahal itu dijual di dalam negeri
dengan harga subsidi. Pemberian subsidi BBM menimbulkan disparitas antara
harga BBM di dalam negeri dengan di luar negeri, yang kemudian dimanfaatkan
oleh mafia migas untuk menyelundupkan BBM bersubsidi. Subsidi BBM ternyata tidak
hanya dinikmati orang kaya pemilik mobil mewah, tetapi dinikmati juga oleh
penyelundup BBM.
Pembubaran
Petral
Lantaran sarat indikasi penyimpangan, Tim Anti-Mafia Migas
merekomendasikan agar kewenangan Petral dalam melakukan impor BBM dialihkan
dari Petral ke integrated supply chain
(ISC), yang berkedudukan di Jakarta. Sejak dialihkan kewenangan impor BBM,
Petral tidak ada lagi melakukan kegiatan operasional yang berarti sehingga
mendorong Pertamina untuk membubarkannya. Sebelum pembubaran, Tim Anti-Mafia
Migas juga merekomendasikan untuk dilakukan audit investigasi terhadap
Petral. Tujuannya untuk memastikan ada permainan mafia migas di Petral yang
merugikan negara.
Hasil audit investigasi ternyata mengonfirmasi temuan kajian
Tim Anti-Mafia Migas yang menemukan bahwa beberapa NOC yang menang tender
ternyata hanya digunakan sebagai bendera, pemasok BBM yang sebenarnya adalah
GRE. Selama tiga tahun, GRE telah memasok BBM ke Petral senilai
USD18 miliar atau setara Rp250 triliun. Akibatnya, negara harus membayar BBM
dengan harga lebih mahal dari harga sebenarnya.
Pembubaran Petral
menyebabkan MRC kehilangan lumbung rente sehingga mendorong MRC mengalihkan
pemburuan rente dari Petral ke Freeport. Untuk itu, MRC ikut mengatur upaya
persekongkolan perpanjangan KK Freeport yang mencuat baru-baru ini.
Kali ini tampaknya
lagi apes, MRC belum sempat menikmati rente dari Freeport, upaya
persekongkolan perpanjangan KK Freeport sudah terbongkar. Sayangnya, sebelum
sempat diperiksa oleh Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dan Kejaksaan
Agung, MRC sudah keburu kabur ke luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar