Lobi Pemerintah Asing di AS
Shohib Masykur ;
Kandidat Master di School of Foreign
Service
Georgetown University, Amerika
Serikat
|
KOMPAS,
02 Desember 2015
Kunjungan Presiden
Joko Widodo ke Amerika Serikat menyisakan polemik dengan adanya tudingan
bahwa Pemerintah RI menggelontorkan dana 80.000 dollar AS untuk menyewa jasa
pelobi guna memuluskan pertemuan Jokowi dengan Obama. Menteri Luar Negeri
Retno LP Marsudi membantah isu tersebut dan menegaskan bahwa pemerintah tidak
menggunakan jasa pelobi. Terlepas dari polemik yang berkembang, penggunaan
jasa pelobi oleh pemerintah asing di AS merupakan hal yang lazim dilakukan.
Industri besar
Jasa lobi adalah
industri besar di AS. Hampir semua kelompok kepentingan menggunakan jasa
pelobi untuk memperjuangkan kepentingan mereka, mulai dari pramuka hingga
perusahaan kelas kakap, seperti Apple. Tahun 2015, diperkirakan jumlah
kelompok lobi di AS mencapai 14.000 kelompok. Jasa lobi merupakan sektor
industri terbesar ketiga di Washington DC setelah pemerintahan dan pariwisata
dengan nilai 9 miliar dollar AS per tahun dan melibatkan 100.000 pekerja.
Sasaran lobi paling
umum adalah anggota Kongres karena mereka mampu memengaruhi kebijakan secara
efektif. Selain itu, banyak anggota Kongres yang beralih profesi jadi pelobi
setelah masa jabatan mereka berakhir dengan memanfaatkan akses dan jaringan
yang mereka miliki. Lembaga eksekutif juga tak lepas dari pengaruh lobi,
tetapi kadarnya di bawah Kongres karena mereka lebih dibatasi oleh aturan.
Sasaran lobi yang lain adalah jurnalis dan penulis yang mampu memengaruhi
opini publik.
Perkembangan industri
lobi di AS sudah sedemikian rupa sehingga melibatkan penggunaan berbagai ilmu
dan keterampilan, yang paling penting antara lain statistik. Pelobi melakukan
analisis rumit atas para anggota Kongres, seperti catatan voting dan
pernyataan publik, dan dari situ merumuskan strategi lobi yang paling efektif
untuk mereka.
Meski bisnisnya
terkait kasak-kusuk, industri lobi di AS bersifat terbuka. Foreign Agents Registration Act (FARA)
yang dibuat tahun 1938 mengatur bahwa perusahaan pelobi yang bekerja untuk
klien asing harus terbuka kepada publik dengan melaporkan operasinya ke
Departemen Kehakiman.
Dalam sejarahnya, FARA
didesain untuk mencegah propaganda Nazi di era Perang Dunia II yang banyak
dilakukan lewat pelobi dan karena itu aturan untuk klien asing dibuat jauh
lebih ketat ketimbang klien domestik. Tahun 1995 dibuat aturan lain, yaitu Lobbying Disclosure Act, yang mengatur
hal-hal apa saja yang harus dibuka kepada publik. Karena adanya aturan itu,
perusahaan lobi secara terbuka menyampaikan kepada publik informasi mengenai
siapa klien mereka, siapa yang mereka lobi, dan apa tujuan lobinya.
Tak mudah ditembus
Penggunaan jasa pelobi
di AS tidak hanya dilakukan oleh kelompok kepentingan dalam negeri, tetapi
juga oleh pemerintah asing. Sunlight Foundation mencatat bahwa pada 2013 tak
kurang dari 80 negara menggelontorkan jutaan dollar AS untuk menyewa jasa
pelobi di AS. Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara penggelontor dana terbesar
dengan 14,2 juta dollar AS, dilanjutkan Jerman dengan 12 juta dollar AS dan
Kanada dengan 11,2 juta dollar AS. India dan Tiongkok, dua negara berkembang
yang sedang naik daun, berada di posisi ke-17 dan ke-20 dengan gelontoran
dana 1,5 juta dollar AS dan 1,4 juta dollar AS. Negara-negara yang tidak
tergolong kaya, seperti Ekuador, pun menghabiskan lebih dari 1 juta dollar AS
untuk melobi AS.
Negara asing tetap
menggunakan jasa pelobi meski mereka telah memiliki kedutaan besar di AS dan
mempekerjakan para diplomat di sana. Hal ini lantaran Kongres AS tak mudah
ditembus oleh diplomat.
Pertama, ada begitu
banyak isu dan kelompok kepentingan yang berebut untuk mendapatkan perhatian
Kongres sehingga hampir mustahil menjangkau mereka tanpa bantuan pelobi.
Kedua, keberadaan diplomat asing di AS bersifat sementara karena penugasan
mereka dirotasi secara periodik ke sejumlah negara sehingga pengenalan mereka
terhadap medan politik AS tidak akan secanggih pelobi yang memang
berpengalaman.
Karena kesulitan itu,
banyak negara tak segan-segan menggelontorkan dana besar agar dapat
memperoleh akses kepada para penentu kebijakan AS dan memengaruhi
kebijakannya demi kepentingan nasional mereka. Hal itu, misalnya, dilakukan
UEA pada 2013 dengan menyewa dua perusahaan lobi besar, Akin Gump dan
Camstoll Group, untuk melakukan lobi terkait ”isu dana terlarang”. Sementara
Kanada di tahun yang sama melobi Kongres AS untuk mengegolkan pembangunan
jalur pipa Keystone XL yang menghubungkan jalur minyak Kanada dan AS.
Mengingat lazimnya
penggunaan jasa pelobi untuk memperjuangkan kepentingan negara asing di AS,
isu penggunaan jasa pelobi oleh Pemerintah RI sebenarnya tidak perlu
dipersoalkan. Seandainya isu itu benar, Indonesia hanya melakukan praktik
yang sudah biasa terjadi di Washington DC. Seperti kata pepatah, di mana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung. Versi Barat- nya, ketika di Roma,
berperilakulah seperti orang Roma. Demi kepentingan nasional, hal itu sah-sah
saja dilakukan. Bahkan, angka 80.000 dolar AS amatlah kecil dibandingkan dana
yang digelontorkan negara-negara lain yang tidak sekaya Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar