Kocok Ulang Pimpinan DPR, Mungkinkah?
Rico Marbun ; Staf Pengajar Universitas Paramadina
|
DETIKNEWS,
21 Desember 2015
Dalam bahasa
Mandarin, kata 'krisis' tidak sepenuhnya bermakna negatif. Kata wei-ji atau
krisis, terdiri atas dua bagian yang bertolak belakang. Wei bermakna bahaya.
Ji bermakna peluang. Jadi, selain mendatangkan bahaya, secara filosofis,
krisis juga membuka peluang.
Menurut saya,
gaya pemaknaan ini menemukan relevansi-nya dalam tragedi yang menimpa Setya
Novanto. Di satu sisi, sejarah DPR tercoreng karena semenjak republik ini
berdiri, baru Novanto-lah, ketua DPR pertama yang terpaksa lengser sebelum
waktunya. Namun, pada saat yang bersamaan, lembar kisah kelam itu juga
mendatangkan peluang.
Peluang yang
saya maksud, dan saya yakin pasti berkembang di dalam benak sebagian politisi
Senayan, ialah peluang untuk mengganti seluruh pimpinan atau kocok ulang pimpinan
DPR berbarengan dengan mundurnya Novanto. Bagaimana bisa? Bukankah Golkar
sudah santer menggadang-gadang calon pengganti? Bahkan kabarnya pelantikan
akan dilakukan 11 Januari tahun depan, saat masa reses usai.
Kalkulus Politik
Langkah
politik sebesar kocok ulang hanya mungkin berhasil bila tiga elemen bertemu
secara sempurna. Ruang Legal, Aktor dan Probabilitas Sukses. Tata Tertib DPR
memang tidak menyediakan penjelasan atau mekanisme detil pergantian seluruh
pimpinan DPR di pertengahan jalan, namun Peraturan DPR no 1 tahun 2014 juga
tidak pernah melarang ada pergantian paket kepemimpinan secara total di
pertengahan jalan.
Langkah
Novanto mengajukan pengunduran diri tertulis dan disampaikan secara terbuka
untuk kemudian partai politik yang bersangkutan diberi waktu mencari nama
pengganti memang sudah sesuai dengan pasal 39 Tatib DPR. Namun pasal 37 b
juga membuka peluang, bila kemudian –satu dan lain hal- Majelis Kehormatan
Dewan melanjutkan kembali proses dan memutuskan bahwa politisi golkar itu
terbukti melanggar kode etik dan disetujui oleh paripurna DPR, maka manuver
Novanto akan runtuh dengan sendirinya.
Sebab
pengganti dari partai politik yang sama secara otomatis, hanya berlaku bila
yang bersangkutan mengundurkan diri tanpa ada embel-embel yang lain. Bila
anggota DPR yang bersangkutan diputus bersalah oleh MKD, lalu dia
diberhentikan jabatannya sebagai ketua DPR dan harus dibawa ke paripurna
untuk dimintai persetujuannya, penggantian secara otomatis dari partai yang
sama bisa tidak berlaku.
Selanjutnya,
meski Pasal 46 ayat 2 Tatib menyebutkan "Dalam
hal pergantian pimpinan DPR tidak dilakukan secara keseluruhan, salah seorang
pimpinan DPR akan meminta nama pengganti kepada partai politik melalui
fraksi". Garis bawahi kata-kata "tidak dilakukan secara
keseluruhan". Artinya, bila paripurna yang merupakan forum tertinggi
DPR memutuskan untuk melakukan pergantian secara keseluruhan maka pemilihan
ulang pimpinan wajib dilakukan Apalagi mereka yang mendorong kocok ulang juga
menemukan justifikasi legalnya pada pasal 84 ayat 2 UU MD3 yang menyatakan
bahwa pimpinan DPR merupakan 1 paket yang bersifat tetap.
Kedua, tanpa
memaksa untuk merombak UU MD3 tahun 2014 kembali ke UU MD3 tahun 2009,
sebenarnya tokoh kuat pengganti ketua DPR masih bisa diisi oleh figur yang
berasal dari partai politik pemenang pemilu 2014. Secara de jure sampai saat
ini Puan Maharani masih memiliki status sebagai anggota DPR. Pewaris tahta
Megawati dan penerus trah Soekarno itu jelas memiliki kompetensi dan
legitimasi untuk menggantikan Novanto.
Lalu
bagaimana dengan peluang sukses? Konfigurasi DPR saat ini sudah berubah jauh
semenjak setahun yang lalu. Bila setahun lalu, minus partai Demokrat, KIH
versus KMP keok dengan jumlah 208 kursi lawan 291 kursi. Saat ini, dengan PAN
telah memutuskan mendukung pemerintah, dan konfigurasi putusan MKD yang
memasukkan PAN dan Demokrat dalam irama KIH, jelas kalkulus politik KIH vs
KMP berubah total.
Saat ini
tanpa Demokrat saja, 256 kursi Koalisi partai pendukung pemerintah (Nasdem,
PKB, PDIP, Hanura, PAN) akan unggul versus 243 kursi KMP (Golkar, Gerindra,
PKS, PPP). Kemenangan Koalisi pendukung pemerintah (KIH baru) menjadi jelas
dalam voting, sebab walaupun Demokrat memutuskan tetap di KMP, suara Golkar
dan PPP yang terbelah akan lebih dari cukup bagi KIH baru untuk memenangkan
setiap voting.
Dan meski
akhirnya Demokrat memutuskan untuk bergabung dalam KIH, ada 5 posisi pimpinan
dan 16 posisi pimpinan alat kelengkapan DPR yang bisa didistribusikan kepada
6 partai KIH baru. Jumlah posisi yang lebih dari cukup untuk semua.
Kegaduhan yang Perlu?
Aturan legal
tersedia. Tokoh politik ada. Peluang sukses terbuka lebar. Pertanyaan
selanjutnya adalah apakah kocok ulang pimpinan DPR pasca mundurnya Setya
Novanto mendatangkan kebaikan?
Kegaduhan
jelas akan terjadi. Namun bagi yang mendukung ide kocok ulang, setahun
terakhir saat oposisi memegang seluruh posisi penting parlemen jelas tidak
kurang gaduh. Bila pimpinan DPR berganti konfigurasi dengan tokoh dan partai
yang sejalan dengan pemerintah, kepastian dan jaminan ketenangan selama empat
tahun ke depan bukan mustahil.
Bisa jadi
kegaduhan kocok ulang pimpinan DPR adalah kegaduhan yang perlu. Dan bukan
mustahil ini bisa juga berlaku untuk pimpinan MPR suatu saat kelak. Siapa
yang tahu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar