Kesepakatan Perubahan Iklim
Doddy S Sukadri ;
Co-Coordinator Pokja MRV; Dewan
Pengarah Perubahan Iklim; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
UN CC-Learn Climate Change
Ambassador
|
KOMPAS,
05 Desember 2015
Konferensi Para Pihak tentang
Perubahan Iklim yang dikenal sebagai COP 21 sedang berlangsung pekan ini di
Paris, Perancis. Sepanjang 30 November-11 Desember, pertemuan diharapkan
dapat menghasilkan kesepakatan global yang adil antara negara maju dan negara
berkembang dalam mengatasi masalah pemanasan global dan perubahan iklim.
Pertemuan itu dihadiri
sekitar 40.000 peserta—termasuk para pemimpin negara—yang mewakili 195
negara. Dalam menyelesaikan isu yang sudah muncul sejak 20 tahun lalu,
penerapan prinsip Common but Differentiated
Reponsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC) menjadi salah satu
tujuan.
Prinsip lain adalah
”aplicable to all”, artinya kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)
akan berlaku mulai tahun 2020 untuk setiap negara, baik negara maju maupun
negara berkembang. Karena itu, sebelum November 2015, setiap negara diminta
menyampaikan kontribusi penurunan GRK Nasional yang disebut: Intended Nationally Determined
Contribution (INDC). Indonesia telah menyampaikan INDC ke Sekretariat United Nations Framework-Convention on
Climate Change (UNFCCC) pada 24 September 2015.
Kesepakatan Paris pada
dasarnya akan menggantikan kesepakatan global sebelumnya, yaitu Protokol
Kyoto, yang lebih menuntut kewajiban penurunan emisi GRK negara-negara maju.
Begitu revolusi industri, mereka banyak menggunakan bahan bakar fosil dan
memicu pemanasan global. Bagi negara berkembang, penurunan emisi GRK bersifat
sukarela, dan kerja sama penurunan emisi dengan negara-negara maju dilakukan
dalam bentuk Clean Development Mechanism
(CDM).
Dari segi waktu,
Protokol Kyoto terbagi dalam dua bagian. Periode pertama tahun 2008-2012 dan
periode kedua 2013-2020. Tidak seperti KP-1, KP-2 ditandai dengan kurangnya
dukungan negara anggota dan keluarnya Jepang, Kanada, dan Rusia. Ini gara-gara
dua negara kontributor terbesar emisi GRK global, Amerika Serikat dan
Tiongkok, tidak mau berkomitmen dalam menyikapi isu perubahan iklim global.
Menuju rendah emisi
Kesepakatan Paris akan
memberikan dampak yang luar biasa terhadap mekanisme dan cara-cara
pembangunan ekonomi dunia yang rendah emisi. Masyarakat dunia modern yang
selama ini dininabobokan penggunaan bahan bakar fosil harus mengubah
kebiasaan dengan penggunaan energi baru dan terbarukan. Penggunaan bahan
bakar fosil tidak dapat dihilangkan sama sekali, tetapi mungkin hanya
dikurangi saja. Tugas COP 21 adalah berusaha memperoleh komitmen semua negara
mengikis emisi GRK.
Sejak tahun 2011, para
negosiator perubahan iklim telah bekerja keras menyusun draf kesepakatan
mengikat (legally binding) tentang
hak dan kewajiban setiap negara dalam pertemuan Paris. Sampai saat ini,
kesepakatan dimaksud hanyalah Protokol Kyoto, yang sudah diratifikasi
Indonesia sejak 2004.
Namun, kecepatan
pertumbuhan ekonomi di beberapa negara berkembang beberapa tahun terakhir
cukup merisaukan dari sudut pandang perubahan iklim. Pertumbuhan produk
domestik bruto (PDB) merupakan salah satu variabel emisi GRK. Semakin tinggi
PDB suatu negara, semakin tinggi pula emisi GRK-nya dengan tahun 2013
tercatat sebagai tahun emisi GRK tertinggi. Konsentrasi emisi gas karbon
dioksida di atmosfer telah melewati ambang batas psikologis 400 parts per
million (ppm) sejak dimulainya pengukuran di Mauna Loa Observatory Hawaii
tahun 1958.
Tahun 2014 tercatat
sebagai tahun terpanas di dunia, tetapi rata-rata temperatur tahun 2015
diduga lebih panas lagi. Kenaikan temperatur yang terus terjadi akan
berdampak buruk terhadap sektor-sektor pertanian, kesehatan, perikanan, dan
kelautan. Kenaikan temperatur global akan mempercepat melelehnya lapisan es
di wilayah kutub sehingga menyebabkan kenaikan permukaan air laut. Kenaikan
permukaan air laut berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Menurut para ahli,
kenaikan permukaan air laut akan mencapai 1 meter tahun 2100. Bagi Indonesia,
ini merupakan ancaman serius mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia. Di sektor pertanian, produk-produk pertanian akan menurun
akibat musim panas yang ekstrem. Selain itu, musim hujan yang singkat dengan
intensitas curah hujan yang tinggi berpotensi memicu banjir dan erosi.
Belajar dari COP 15
tahun 2009 di Kopenhagen, Denmark, yang kurang memperoleh dukungan
negara-negara berkembang, COP 21 di Paris diharapkan dapat menyatukan harapan
negara maju dan negara berkembang. Apabila ini terwujud, kesepakatan
perubahan iklim global yang berlaku mulai 2020 akan mengubah platform
pertumbuhan ekonomi, politik, sosial komunitas global.
Struktur ekonomi
Ekonomi hijau akan
berubah dari sekadar konsep dan hipotesis menjadi implementasi. Penggunaan
”energi hijau” akan menyediakan beragam alternatif pemanfaatan energi baru
dan terbarukan yang rendah emisi dengan biaya murah.
Awal tahun ini, mantan
Menteri Perubahan Iklim Inggris, Greg Barker, menyampaikan keyakinannya bahwa
hal ini segera menjadi kenyataan. Sebagai contoh, biaya pembangkit energi
dari sinar matahari telah turun 80 persen sepuluh tahun terakhir. Jika pada
tahun 2009 energi solar hanya menyumbang 23 gigawatts of capacity (GW), maka
saat ini telah jauh melejit menjadi 177 GW, dengan tambahan 40 GW dalam tahun
2014.
Selanjutnya, investasi
dalam energi terbarukan dan biofuels naik 270 miliar dollar AS, atau 17
persen tahun 2014 dibandingkan tahun 2013. Yang cukup mengagetkan, Tiongkok
yang selama ini dianggap sebagai penyumbang emisi GRK terbesar telah
menyisihkan investasi untuk pembangunan energi terbarukan 31 persen tahun
2014, seiring penurunan energi yang berasal dari batubara.
Kecenderungan
pergeseran global dalam peningkatan penggunaan energi terbarukan ini
dituangkan dalam laporan studi oleh International
Energy Agency tahun 2014 yang menyampaikan sembilan kata kunci sebagai
simpulan apa yang terjadi saat ini: ”Fossil
fuels still dominate, but alternatives are now emerging”.
Struktur politik
Dua negara raksasa
penyumbang emisi GRK terbesar, Amerika Serikat dan Tiongkok, sejak November
2014, telah bertemu dan menunjukkan niat baik untuk menyelesaikan isu
perubahan iklim. Tiongkok menyampaikan akan menurunkan emisi puncaknya (peak
emission rate) pada tahun 2030; sementara AS menetapkan target reduksi emisi
26-28 persen dibandingkan tingkat emisi tahun 2005.
Walaupun masih jauh
dari harapan, kedua negara tersebut sudah menunjukkan niat baik memberikan
perhatian terhadap masalah perubahan iklim global. Selanjutnya, Juni 2015, UE
dan Tiongkok telah bersepakat mencapai target penurunan emisi bersama melalui
mekanisme perdagangan karbon dan teknologi hijau. Kemudian, melalui pertemuan
G7, Kanada dan Jepang sepakat tidak menggunakan bahan bakar fosil paling
lambat 2100.
Pertemuan G20 diharapkan
akan menyinggung risiko finansial berkenaan dengan pengurangan penggunaan
bahan bakar fosil. Diharapkan Arab Saudi, AS, Rusia, India, Australia, dan
Tiongkok mengambil bagian dalam kesepakatan ini. Dari sisi keagamaan, Paus
Paulus telah menyampaikan bahwa perubahan iklim adalah masalah moral dan
etika. Kegagalan dalam melindungi bumi dan alam semesta sama dengan
membiarkan generasi mendatang hidup dalam kotoran.
Tampaknya COP 21 Paris
akan berakhir dengan kesepakatan baru tentang arsitektur penanganan perubahan
iklim pasca 2020. Namun, pertanyaan besarnya adalah bagaimana ambisi untuk
mereduksi emisi akan dicapai?
Jangan terlalu
berharap bahwa kesepakatan Paris menjadi satu-satunya solusi perubahan iklim.
Upaya ini akan memakan waktu lama untuk mencapai harapan kita semua. Yang
terpenting adalah bagaimana membuat semua pihak terus bergerak maju pada arah
yang sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar