Dua Tantangan Ekonomi Indonesia di 2016
Arfanda Siregar ; Dosen manajemen industri Politeknik Negeri
Medan; Sedang menyelesaikan pendidikan Doktor Ilmu Manajemen USU Czech
University in Prague
|
JAWA
POS, 28 Desember 2015
VARIABEL utama
mendongkrak ekonomi nasional di tengah krisis ekonomi adalah optimisme. Kalau
kita pesimistis, ragu-ragu, dan tidak percaya diri, bagaimana mungkin ekonomi
nasional mencapai masa kejayaan.
Seluruh elemen
bangsa, baik pemerintah, pelaku ekonomi, maupun rakyat Indonesia, harus
optimistis karena tanda-tanda kebangkitan ekonomi nasional mulai tampak di
depan mata. Bagaimanakah prospek ekonomi 2016?
Optimisme
tersebut ditandai peningkatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga, yaitu
mencapai 4,73 persen, yang diprediksi akan terus membaik sehingga keseluruhan
tahun ini bisa tumbuh 4,8 persen. Rupiah juga kembali bergerak di bawah level
Rp 14.000 per dolar AS setelah sebelumnya hampir liar mendekati Rp 15.000 per
dolar AS.
Prediksi
tersebut juga didukung beberapa fakta, misalnya kenaikan belanja modal
pemerintah pada kuartal III dan IV yang mulai mengundang investor swasta
membangun usaha di Indonesia. Begitu juga, kebijakan pengalihan subsidi BBM
kepada pembangunan infrastruktur pada 2015 telah menyerap tenaga kerja yang
akan memacu akselerasi pertumbuhan ekonomi 2016.
Demikian juga,
kebijakan kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) secara perlahan
akan mendongkrak kemampuan beli masyarakat. Apalagi, sebelumnya pemerintah
pun menghapus pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sebagai daya ungkit
pertumbuhan ekonomi nasional yang menurut Bank Indonesia bisa mencapai 5,0
persen hingga 5,4 persen.
Pertumbuhan
kredit perbankan 2016 diramalkan menembus 12–13 persen, membaik dari tahun
ini yang diperkirakan hanya 11 persen. Hal itu bisa membantu pertumbuhan
ekonomi hingga 5,6 persen tahun depan, di atas target yang dipasang
pemerintah dalam APBN sebesar 5,3 persen. Bahkan, pada 2017, pertumbuhan
diperkirakan 6 persen dan menembus 6,5 persen pada 2019 dengan selesainya
banyak proyek infrastruktur penting.
Yang tidak
kalah menambah optimisme ekonomi 2016 adalah tren penurunan tingkat inflasi.
Inflasi di pengujung 2015 menurun sekitar 4 persen, jauh di bawah 2014 yang
8,3 persen. Selain itu, capital inflow diproyeksikan mulai pulih semester II
2016 sehingga neraca pembayaran Indonesia (NPI) bakal kembali surplus.
Stimulus
moneter yang dikeluarkan Bank Indonesia dan stimulus keuangan oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) memungkinkan ekspansi kredit meski belum ada penurunan BI
rate. Itu, misalnya, lewat penurunan giro wajib minimum (GWM) dan pelonggaran
kebijakan loan-tovalue (LTV) kredit properti maupun kendaraan bermotor. OJK
juga akan mempermudah dan mempermurah penerbitan obligasi.
Jika
dibandingkan dengan negaranegara yang bergabung kelompok BRICS (Brasil,
Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) maupun negaranegara di kawasan
Asia Tenggara, kondisi perekonomian Indonesia relatif berada di tengah-tengah.
Penilaian itu
didasarkan kepada sejumlah indikator ekonomi, misalnya pertumbuhan PDB,
inflasi, tingkat pengangguran, tingkat suku bunga kredit, tingkat produksi
industri, maupun posisi CAD. Indonesia lebih baik daripada Brasil untuk
beberapa indikator, antara lain pertumbuhan, suku bunga, dan CAD. Namun,
masih kalah oleh Tiongkok dan India untuk sejumlah indikator.
Beberapa
kendala yang harus diperhatikan pemerintah dalam menjaga optimisme ekonomi
2016 adalah pencairan anggaran yang tersendat serta pelayanan pemerintahan
yang efisien. Selain itu, dua persoalan utama ekonomi bangsa yang hingga
sekarang belum tuntas harus segera diselesaikan.
Pertama,
percepatan reformasi energi. Meskipun pemerintah telah mengurangi subsidi
energi, persoalan ketergantungan energi nasional atas energi impor tetap akan
menguras keuangan negara. Sistem transportasi yang mengelilingi Nusantara
telah menghasilkan ketergantungan impor yang sangat tinggi terhadap kendaraan
pribadi. Tahun ini Indonesia mengimpor BBM mencapai 300 juta barel.Cadangan
devisa yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli barang impor produktif
tergerus oleh kebutuhan BBM impor yang sangat besar.
Untuk
mengantisipasi hal itu, pemerintah harus segera memperbaiki sistem
transportasi masal dan pembenahan tata kota agar kebutuhan BBM masyarakat
dapat mengecil. Model-model pembangunan sistem transportasi masal di negara
maju dapat dipilih agar masyarakat dapat melepaskan ketergantungannya kepada
kendaraan pribadi yang boros energi.
Kedua,
mengurangi ketergantungan terhadap ekspor komoditas mentah. Diversifikasi
ekspor harus segera dipercepat, keuntungan terbesar dari produk ekspor kita
berada pada nilai tambah produk. Memang, beberapa kebijakan pemerintah telah
mewajibkan beberapa produk, misalnya barang tambang dan mineral, tidak boleh
lagi dijual mentah ke luar negeri atau harus diolah terlebih dahulu. Begitu
juga, pabrikpabrik baru mulai didirikan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Namun, timbul masalah baru, yakni impor bahan baku meningkat.
Solusi cerdas
mengatasi hal tersebut adalah membangun industri yang kompetitif untuk ekspor
agar tingkat impor dapat dikurangi. Agar industrialisasi berhasil
meningkatkan daya saing Indonesia, pembangunan industri harus berfokus kepda
beberapa produk. Tidak perlu bercita-cita menguasai pasar nasional dan
mancanegara dengan berbagai produk. Cukup sedikit saja menghasilkan produk,
tetapi mampu menjadi ekspor andalan Indonesia.
Jika dua tantangan di atas
berhasil diselesaikan pemerintah, perekonomian Indonesia pada 2016 akan
bergerak positif. Usaha-usaha pemerintah memperbaiki ekonomi nasional melalui
beberapa paket ekonomi sepanjang 2015 bakal menunjukkan hasil positif pada
2016. Ekonomi nasional pada 2016 penuh optimisme. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar