Disinsentif BBM untuk Insentif BBN
Misbahul Huda ; Direktur Utama PT Energi Agro Nusantara
|
JAWA
POS, 29 Desember 2015
RENCANA
pemerintah memungut dana ketahanan energi dari penjualan bahan bakar minyak
(BBM) termasuk keputusan yang cerdas dan berani. Sudah semestinya pemerintah
melakukan terobosan yang konkret, sistematis, dan terstruktur, baik untuk
menghemat energi fosil maupun mengembangkan energi alternatif.
Pemerintah
tidak boleh terlena oleh harga minyak bumi yang sedang anjlok. Penghematan
subsidi karena menurunnya harga minyak dunia semestinya dialokasikan untuk
mendorong penelitian serta pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT)
seperti dalam bentuk insentif, subsidi, atau kemudahan regulasi.
Terlepas dari
pro-kontra tentang landasan hukum dan tata kelola yang mulai dipersoalkan
banyak kalangan, keputusan strategis tersebut seharusnya didukung semua
pemangku kepentingan. Toh, menteri ESDM telah berjanji segera membuatkan
payung hukum dalam bentuk peraturan presiden atau peraturan menteri guna
pelaksanaan pungutan BBM tersebut.
Keputusan
pemerintah memungut dana BBM untuk mendorong EBT merupakan sebuah
keniscayaan. Kita patut becermin kepada negara-negara yang telah sukses
mengembangkan energi alternatif seperti Brasil, Amerika Serikat, dan
Thailand. Mereka telah mengalokasikan dana untuk pengembangan energi baru dan
terbarukan dalam bentuk insentif bagi pelaku usaha.
Insentif
tersebut otomatis dinikmati jika ada investasi di sektor energi terbarukan.
Sebaliknya, energi fosil diberi disinsentif, bukannya malah disubsidi seperti
di negara kita. Ini sikap yang bertolak belakang dan salah kaprah.
Indonesia di
ambang krisis energi. Cadangan minyak bumi Indonesia diperkirakan habis dalam
11 tahun mendatang. Kesenjangan antara lifting
minyak dan konsumsi minyak nasional semakin menganga dari tahun ke tahun.
Bahkan, Indonesia berpotensi menjadi importer bahan bakar terbesar di dunia
pada 2018.
Kini semakin
sulit menemukan cadangan minyak baru dari fosil apalagi dengan harga minyak
dunia yang serendah saat ini. Jangan harap ada investasi baru untuk bisa
mengembalikan produksi minyak lebih dari 1 juta barel per hari seperti dulu.
Dewan Energi
Nasional (DEN) yang diketuai presiden telah menyusun Target Bauran Energi
yang tertuang dalam PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Terkait
dengan pemakaian energi baru dan terbarukan (EBT), targetnya sangat
optimistis, yaitu 8 persen pada 2013, naik menjadi 23 persen pada 2025, dan
31 persen pada 2050. Optimisme tersebut tidak berlebihan. Sebab, faktanya,
Indonesia mempunyai beragam potensi energi alternatif EBT yang berlimpah.
Di antara
energi alternatif yang tersedia, potensi panas bumi dan gas alam diakui
paling besar. Namun, eksplorasinya sangat sulit karena alasan teknologi dan
biaya investasi. Karena itu, EBT yang paling prospektif dikembangkan adalah
bioetanol dari molasses tebu atau singkong dan biodiesel dari sawit, kemiri
sunan, atau kelapa. Investasinya murah karena teknologinya relatif sederhana.
Selain itu, bahan bakar nabati (BBN) itulah yang paling simpel dan apple-to-apple bisa menggantikan BBM
fosil untuk energi transportasi.
Atas imbauan
Presiden SBY (2007), telah didirikan beberapa industri BBN, bioetanol, maupun
biodiesel. Harga BBN-pun ditetapkan pemerintah (permen ESDM) dengan harga
indeks pasar (HIP).
Namun,
anjloknya harga minyak dunia membuat HIP BBN tersebut –oleh Pertamina–
dianggap kurang kompetitif bila dibandingkan dengan BBM premium bersubsidi.
Karena itu, wajar jika BBN yang infant
tersebut berhak atas subsidi yang sama dari pemerintah. Sebab, di negara mana
pun, harga energi alternatif memang lebih mahal pada awalnya.
Sebenarnya,
sudah lama ada aturan yang mewajibkan penggunaan EBT, meski harus bersubsidi.
Pasal 21 UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi menetapkan, pemerintah dan
pemerintah daerah diwajibkan memanfaatkan energi baru dan energi terbarukan.
Pemanfaatan
energi baru dan terbarukan itu dilakukan badan usaha seperti Pertamina,
Shell, dan Total. Badan usaha itu pun dapat memperoleh kemudahan dan/ atau insentif
dari pemerintah dan/ atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan untuk
jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya.
Naifnya,
amanat UU berupa subsidi yang telah lama disepakati Komisi VII DPR dan
pemerintah (Kementerian ESDM) sebesar Rp 3.000 per liter untuk bioetanol dan
Rp 4.000 untuk biodiesel dijegal banggar dan Kementerian Keuangan dalam APBNP
2015. Alasannya, tidak ada lagi subsidi untuk BBM, termasuk BBN.
Akibatnya,
upaya pengembangan EBT benar-benar stagnan. Industri bioetanol dan biodiesel
terpukul, lesu, pingsan, dan mati suri. Jangankan memulai bisnis baru, yang
sudah ada pun sulit bertahan.
Terbukti, di
antara lima industri etanol besar di Indonesia, sudah ada dua yang pingsan,
satu pabrik mati, dan hanya dua pabrik yang bertahan hidup. Itu pun setelah
mereka mengonversi produk mereka menjadi bioetanol food-grade dan
pharmacytical grade, bukan lagi BBN (fuel-grade).
Karena itu, sudah sepatutnya
terobosan pungutan BBM untuk membiayai pengembangan EBT mendapat apresiasi,
khususnya dalam upaya membangunkan kelesuan industri BBN. Kalau hal itu tidak
segera diselamatkan, pemerintah akan kehilangan momentum untuk memulai
pengembangan BBN yang sangat strategis itu, sedangkan ambang krisis energi
sudah terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar