Citra DPR dan Politik Tercela
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
|
KOMPAS,
01 Desember 2015
Citra DPR tampaknya
kian terpuruk di mata masyarakat. Setelah lebih dari setahun DPR hasil
Pemilihan Umum Legislatif 2014 bekerja, publik belum melihat tanda-tanda
perbaikan kinerja yang boleh jadi bisa meningkatkan citranya. Tampak
”penyakit lama” bertahan di lingkungan DPR. Kinerja lembaga legislatif ini masih
jauh daripada memuaskan masyarakat.
Lihatlah, misalnya,
dalam legislasi. Setelah setahun di Senayan, anggota DPR menghasilkan hanya
tiga undang-undang (UU), yakni UU Nomor 17 Tahun 2014 yang juga dikenal
sebagai UU MD3, UU No 1/2015 tentang Penetapan Perppu No 1/2014 mengenai
Penetapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Kepala Daerah); dan UU
No 2/2015 tentang Penetapan atas Perppu No 2/2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Pencapaian ini jelas di bawah target. Sebelumnya, DPR menargetkan 39
rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Perbaikan citra tidak
tertolong dengan tingkat kehadiran anggota DPR yang rendah dalam berbagai
rapat resmi. Selain itu, komisi-komisi DPR lebih sibuk dengan fungsi
pengawasannya terhadap eksekutif sehingga banyak waktu habis untuk pertemuan
dengan para menteri dan kepala lembaga serta pihak lain. Citra DPR jelas
tidak kian membaik dengan dua kasus belakangan ini. Meskipun kedua kasus ini
semula bersifat personal anggota atau kelompok anggota DPR, yang kemudian muncul
dalam persepsi publik adalah DPR secara keseluruhan.
Kasus pertama
menyangkut Ketua DPR Setya Novanto yang dilaporkan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan karena mencatut nama
Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia.
Kasus kedua adalah
keengganan atau penolakan Komisi III melanjutkan proses seleksi calon
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui uji kelayakan dan
kepatutan. Sebenarnya isyarat penolakan itu sudah terlihat sejak DPR menerima
nama delapan calon pimpinan. Ada kalangan anggota DPR mempersoalkan tiadanya
calon berlatar belakang jaksa dan bergelar sarjana hukum.
Kedua kasus ini tidak
hanya menjadi perdebatan pro dan kontra di kalangan anggota DPR, tetapi juga
di masyarakat. Sedikitnya ada dua persepsi di masyarakat, mulai dari
lingkungan akademis sampai ke sopir taksi. Pertama, bertahannya praktik
percaloan memanfaatkan keanggotaan dan posisi di DPR. Persepsi kedua ialah
masih ada anggota dan fraksi di DPR yang ingin, dengan berbagai cara,
melemahkan KPK.
Dengan persepsi ini,
masyarakat melihat banyak anggota DPR yang tidak peduli pada perbaikan
negara-bangsa Indonesia. Kedua kasus itu memperlihatkan ketiadaan niat tulus
menciptakan negara Indonesia yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua
kasus itu juga memperlihatkan banyak anggota dan fraksi lebih peduli
kepentingan diri dan kelompok daripada kepentingan publik.
Meski anggota DPR
mewakili konstituen masing-masing, dalam praktiknya banyak di antara mereka
sama sekali tidak mempertimbangkan dan malu kepada pemilih.
Keadaan politik
seperti ini disebut Rittel dan Webber (1984) sebagai wicked problems (masalah tercela) yang secara ekstensi mencakup wicked politics (politik tercela).
Kedua kasus di atas dapat disebut wicked
problems karena memperlihatkan tindakan yang secara prinsip moral
bersifat buruk dan tidak etis. Bahkan, jika dilihat dari sudut agama,
kasus-kasus itu menjadi masalah tercela karena mengandung niat dan tindakan
yang bertentangan dengan ketentuan Tuhan.
Masalah tercela yang
diciptakan kalangan pemangku jabatan publik, dengan meminjam kerangka Rittel
dan Webber, memunculkan apa yang saya sebut sebagai politik tercela. Keduanya
terbukti menjadi sumber dari banyak masalah di lembaga publik, yang pada
gilirannya mengakibatkan kegagalan politik.
Masalah tercela eksis
juga di negara lain, termasuk yang mapan berdemokrasi, seperti Amerika
Serikat, Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Perbedaan paling mencolok
adalah, ketika masalah tercela terbongkar, di negara lain pelakunya biasanya
mengundurkan diri. Bahkan, ada yang bunuh diri. Sebaliknya, di Indonesia,
pelaku tetap bertahan tanpa rasa malu dan bersalah.
Apa yang dimaksud
dengan politik tercela adalah merajalelanya tindakan politik tercela (wicked) yang sulit diselesaikan karena
seolah sudah menjadi ”tradisi”. Politik tercela seakan tidak bisa diakhiri
karena kuatnya resistansi pelaku dan kelompoknya yang memiliki kekuasaan dan
hak istimewa sebagai pemangku jabatan publik.
Berlanjutnya masalah
tercela dan politik tercela di Tanah Air tidak hanya merugikan citra DPR,
tetapi juga politik Indonesia secara keseluruhan. Berbagai studi akademik
tentang kedua masalah ini di sejumlah negara menyimpulkan, keduanya menjadi
salah satu sumber pokok meluasnya apatisme politik warga. Juga disimpulkan,
masalah tercela dan politik tercela menjadi sumber kegagalan politik (political failures) untuk memperbaiki
keadaan negara dan warga secara keseluruhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar