Senin, 14 Desember 2015

Budaya Bahari di Negara Maritim

Budaya Bahari di Negara Maritim

Susanto Zuhdi  ;  Guru Besar Ilmu Sejarah FIB UI;
Ketua I Masyarakat Sejarawan Indonesia
                                                      KOMPAS, 14 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam kaitan Hari Sejarah Indonesia-tanggal 14 Desember-yang baru setahun diperingati, tulisan ini ingin memberi perspektif dan dimensi kemaritiman dalam memahami sejarah Indonesia.
Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, hal yang semakin dirasakan adalah belum memadainya dimensi kemaritiman dalam pelajaran sejarah Indonesia. Materi sejarah masih terlalu berat pada aspek daratan. Setidaknya mesti seimbang, seperti konsep "tanah air" untuk menyebut negeri yang sebagian besar berupa lautan.
Di sinilah pentingnya pendidikan karakter bangsa dari aspek bahari sebagai konsep budaya untuk modal membangun negara maritim Indonesia. Sebagai ancangan untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam, kiranya perlu dikemukakan istilah "bahari" dan "maritim".
Bahari dan maritim
Kata bahari dan maritim sering dipertukarkan untuk konsep budaya dan negara. Meski keduanya bermakna tentang laut, terdapat makna yang berbeda. Bahari punya tiga arti. Pertama: dahulu kala, kuno, tua sekali. Kedua: indah atau elok sekali. Ketiga: tentang laut. Jika ketiga kata itu dirangkai "dahulu kala yang elok sekali (di) laut", jadi sesuai ungkapan yang sarat makna.
Kata bahari (dari Arab) lebih dulu diserap ke dalam bahasa Indonesia dibandingkan maritim (mare = Latin). Dalam arti "dahulu kala", bahari berkaitan dengan sejarah yang menunjuk khususnya pada Sriwijaya dan Majapahit. Sebagai ingatan kolektif bangsa, kedua kerajaan itu, seperti dikatakan George McT Kahin, jadi unsur pembentuk nasionalisme. Selaras dengan pendapat Peter Munz, sejarah meskipun samar-samar menjadi faktor penguat solidaritas dan pembentuk identitas bangsa.
Akhirnya, dengan bukti keulungan pelaut Austronesia, sesungguhnya telah berlangsung "adat bahari" sejak berabad lalu. Dengan argumen itu, istilah bahari lebih cocok dikaitkan dengan budaya: budaya bahari.
Makna lain maritim adalah wilayah pesisir, armada kapal dagang, pasukan bersenjata di laut, departemen dalam pemerintahan yang menangani urusan kelautan. Dengan melihat unsur-unsur itu, cocoklah maritim dikaitkan dengan negara: negara maritim. Jika dalam ranah ini maritim dapat disebut hard power, bahari soft power. Jika keduanya digabungkan, lahirlah smart power.
Dalam sejarah Indonesia, M Yamin menginterpretasi Sriwijaya dan Majapahit sebagai "republik pertama" dan "republik kedua". Adapun Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945 adalah "republik ketiga". Namun, tentu Indonesia bukan kelanjutan dari kedua kerajaan itu. Indonesia merupakan konsep baru yang diciptakan. Bagaimanapun, ada pembelajaran dan inspirasi sejarah yang dapat diambil dari masa lalu. Aspek ini penting untuk menetapkan kompetensi dasar kurikulum mata pelajaran sejarah.
Sebagai salah satu emporium di Asia, Sriwijaya mampu mengendalikan lautan luas dengan dukungan komoditas yang mengisi pasar-pasar bagian barat Asia, India, dan Tiongkok. Hanya oleh kehadiran pedagang Tiongkok pada abad ke-12, Sriwijaya tertandingi. Karena minimnya komoditas hasil pedalaman Sumatera, perseteruan antarpenguasa federasi, dan ketidakmampuan mengendalikan armada suku-suku laut, Sriwijaya yang jaya lebih kurang enam abad itu pun akhirnya merosot dan lenyap.
Sementara Majapahit dengan dukungan komoditas pedalaman yang melimpah menjadikannya sebagai kerajaan semikomersial. Digerakkan sejumlah pelabuhan pantai utara Jawa, Majapahit berhasil menguasai perdagangan regional Nusantara. Namun, konflik antarkekuatan politik internal yang tajam memuncak pada peristiwa huru-hara (Perang Paregreg), menyebabkan Majapahit merosot dan tidak mampu lagi mengendalikan jalur-jalur perdagangan regional. Faktor lain adalah ketidakmampuan menjawab perubahan, khususnya di kawasan Laut Jawa, ketika pedagang-pedagang Islam mengambil alih peran Majapahit.
Belajar dari kejatuhan kedua kerajaan besar itu, dapat dikemukakan bahwa komoditas produk daratan-dalam hal ini pulau-pulau-dan pelayaran penting artinya bagi perdagangan regional dan internasional negara maritim Indonesia.
Kriteria Indonesia untuk jadi negara maritim berdasarkan teori klasik Mahan sudah terpenuhi untuk sebagian besar: posisi geografi, bentuk tanah dan pantai, luas daratan, komoditas maritim, jumlah penduduk, karakter bahari penduduk, serta sifat pemerintah dan lembaga-lembaga nasional yang mendukung ke arah pengembangan eksplorasi di laut. Aspek kemauan politik sebenarnya baru dimulai beberapa tahun belakangan, yakni pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian membentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Visi kebaharian
Kembali pada ungkapan "dahulu kala elok sekali (jaya sekali) di laut", hal itu menyiratkan pertanyaan mengapa hanya "terjadi" pada masa lalu. Sangat argumentatif kemudian ketika Joko Widodo dalam pidato pertamanya sebagai presiden terpilih bertekad mengembalikan kejayaan bangsa di laut dan menjadikan Indonesia negara poros maritim dunia.
Visi dan misi Presiden Jokowi jelas dilandasi dan bertolak dari budaya dan sejarah sebagai modal pembangunan negara maritim. Adat bahari pada suku-suku laut, pelukisan kehidupan dengan ungkapan pantun dan metafora, misalnya, merupakan sumber spirit yang tak pernah habis. Sementara model negara dari masa lampau pun tersedia sebagai acuan. Seperti dikemukakan AB Lapian-Bapak Sejarawan Maritim Asia Tenggara-"karena wawasan nusantara mengandung wawasan bahari, bangsa ini lebih mencari referensi ke konsep yang dianut oleh kerajaan bahari daripada prinsip kerajaan konsentris".
Ternate dan Tidore menganut prinsip perahu sebagai konsep untuk memelihara keseimbangan keberlangsungan sebuah negara. Kesultanan Buton mengacu konsep barata, perahu bercadik ganda, sehingga pemerintahan berjalan seimbang. Sementara keulungan suku Bugis-Wajo tak hanya dalam mengarungi samudra, tetapi juga dalam menyusun undang-undang pelayaran dan perdagangan yang terkenal dengan nama Amanna Gappa.
Tidak usah diragukan lagi mengenai patriotisme anak negeri Nusantara dalam menjaga kedaulatan di laut dengan kemampuan berperangnya. Selat Malaka dan perairan Riau abad ke-18 menyaksikan keberanian Raja Haji Fisabilillah melawan VOC/Belanda, yang akhirnya gugur di Teluk Ketapang pada 1784. Perlawanan diteruskan Sultan Mahmud Riayat Syah dalam periode berikutnya. Sultan yang mengendalikan kekuasaannya dari Lingga ini berhasil memanfaatkan pasukan Iranun dari Sulu sebagai para penyergap laut (sea raiders) dengan strategi gerilya laut yang tangguh.
Mudah-mudah tulisan ini dapat menyumbang kerangka sejarah maritim yang dapat dimanfaatkan bagi rencana pemerintah menyusun kurikulum mata pelajaran kemaritiman untuk sekolah. Nanti akan lahir generasi yang bangga mengaku "nenek moyangnya" orang pelaut sehingga dapat mengembalikan kejayaan bangsa di laut dan menjadikan Indonesia negara poros maritim dunia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar