Setelah Pemilu di Turki
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
05 November 2015
Babak baru politik terjadi di Turki setelah secara mengejutkan
partai berkuasa, Partai Keadilan dan Pembangunan, memenangi pemilihan umum 1
November 2015. Sebagaimana diberitakan Today’s Zaman (2/11), berdasarkan 98
persen suara yang telah dihitung, hasil tak resmi menunjukkan Partai Keadilan
dan Pembangunan (AKP) memenangi 49,29 persen suara (313 kursi parlemen),
disusul partai oposisi utama, Partai Rakyat Republik (CHP) 25,5 persen (134
kursi), dan Partai Gerakan Nasional (MHP) 12 persen (42). Sementara pendatang
baru, Partai Rakyat Demokrasi (HDP), memperoleh 10,69 persen (61 kursi).
Tingkat partisipasi pemilu nasional tersebut cukup tinggi, yakni 84,06
persen.
Dengan begitu, AKP langsung bisa membentuk pemerintahan satu
partai atau tanpa menggandeng yang lain. Ini berbeda dengan pasca pemilu Juli
lalu, ketika suara AKP anjlok dan gagal membentuk pemerintahan.
Kemenangan AKP disebut mengejutkan karena pemerintah
sesungguhnya tengah menghadapi ragam masalah pelik. Belum lama ini bom
meledak di Ankara, menandai sejarah terburuk terorisme politik di Turki. Di
sisi lain, Turki dihadapkan pada perang ganda melawan kelompok perlawanan
Kurdi sebagai musuh tradisionalnya, sekaligus menghadapi terorisme NIIS.
Belum lagi, Turki tengah menerima limpahan ribuan pengungsi dari Suriah yang
terlanda krisis politik yang sangat akut dan eksesif.
Dari dalam negeri, isu kecenderungan anti demokrasi Presiden
Recep Tayyip Erdogan sesungguhnya masih cukup kuat pasca demonstrasi Taman
Gezi, pertengahan 2013. Hubungannya yang memburuk dengan ulama terkemuka
Fethullah Gulen, berikut ragam penekanan terhadap kebebasan pers, turut
mewarnai dinamika politik Turki. Namun, mengapa AKP menang kembali?
Jawaban umumnya ialah justru di tengah situasi demikian,
mayoritas pemilih ternyata berharap adanya stabilitas politik. Satu-satunya
jalan, betapa pun dilematisnya, ialah dengan mendukung kembali AKP dan
memberi kesempatan bagi Ahmet Davutoglu dan Erdogan untuk menyelesaikan
masalah pelik Turki dewasa ini. AKP, bagaimanapun, telah menjadi bagian
integral dari fenomena politik arus utama di Turki pasca Pemilu 2002.
Sudah lebih dari satu dekade partai ini mampu memimpin
kepolitikan Turki sedemikian rupa, sebanding dengan prestasi nonpolitiknya.
Secara ekonomi, Turki membaik pasca krisis 2001, bahkan rezim AKP mampu
melejitkan pertumbuhan ekonomi negara itu secara signifikan.
Kendati belakangan ini ekonomi Turki dibayangi meningkatnya
pengangguran, secara umum masih lebih baik, bahkan kontras dibandingkan
kebanyakan negara Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, bahkan dengan
negara Eropa tertentu (Yunani, Spanyol, dan yang lain). Karakter pemilih AKP
dari pemilu ke pemilu tampak didominasi kalangan kelas menengah yang secara
karakter pro kemapanan. Mereka masih yakin pada Erdogan yang—suka atau tidak
suka—telah menjadi faktor penting bagi Turki dalam mempertahankan stabilitas.
Prospek
Erdogan memang sering dipandang dan pada kenyataannya merupakan
bagian dari masalah. Namun, perlawanan terhadapnya tidak cukup signifikan.
Bahkan, partai-partai oposisi nyatanya tidak mampu memberi tawaran atau
menghadirkan tokoh alternatif yang diterima publik.
Di sisi lain, pemerintah masih sangat efektif dalam memanfaatkan
aparaturnya untuk kepentingan stabilitas. AKP tidak lagi dibayangi kudeta
militer, hal yang lazim dialami pemerintahan sipil Turki sejak kudeta 1960.
Sejak reformasi militer digulirkan pada 2003 hingga fenomena pengadilan
terhadap para jenderal hampir satu dekade kemudian, militer tak lagi mampu
melakukan intervensi politik.
Pemerintahan AKP telah menundukkan mereka dan memagarinya
kuat-kuat di barak melalui perundang-undangan yang ketat. Tanpa bayang-bayang
militer, tidak seperti partai-partai penguasa sebelumnya sejak pemilu
multipartai 1946, AKP mampu bergerak menjadi kekuatan politik nyata dan
efektif.
Bagaimana prospek Turki pasca pemilu? Tidak akan ada perubahan
kebijakan yang berarti dalam kepolitikan Turki ke depan. Problem dalam
negerinya masih tetap khas, di mana pemerintah akan dihadapkan pada kelompok
pro demokrasi yang menuntutnya tidak membatasi kebebasan. Kalau pemerintah
tidak mampu mengelola tuntutan demikian, dampaknya bisa fatal. Lagi pula kini
tantangannya jauh lebih rumit dibandingkan ketika AKP naik ke pemerintahan
pada 2002. Realitas fragmentatif yang dipicu sentimen politik dalam
masyarakat kian mencemaskan. Pendekatan salah hanya akan memicu reaksi dan
hasil yang kontraproduktif.
Ke depan, pemerintah baru, yang tampaknya terus berikhtiar
membuat konstitusi baru, membutuhkan agenda penataan politik yang seharusnya
lebih realistis. Kalau tidak, kebijakan politik Turki akan terus di
persimpangan jalan, apakah akan memperlempang jalan ke ranah ”surga” atau
”neraka”. Dua metafor itu diperkenalkan pakar politik David Runciman dalam
Politics, Ideas in Profile (2014). Turki tentu tak ingin negaranya menjadi
”neraka” sebagaimana Suriah karena ia sesungguhnya berpeluang untuk menggapai
”surga” bak negara-negara Skandinavia.
Pasca pemilu, sekali lagi AKP diberi kesempatan berkuasa di
negara yang didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk ini. Mampukah ia menuntaskan
transformasi Turki? Itu bergantung pada sejauh mana kepemimpinan politik
Erdogan dan Davutoglu dalam menghela perubahan, merajut perbedaan, dan
mengelola harapan masyarakatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar