Membaca Bom Alam Sutera
Said Aqil Siroj ; Ketua Umum PBNU
|
KOMPAS,
04 November 2015
Peristiwa bom di Mal
Alam Sutera, Serpong, Tangerang, telah bikin heboh. Heboh bagi masyarakat
karena kejadian ini bisa meresahkan. Fasilitas publik menjadi tidak nyaman.
Sementara bagi kalangan tertentu, kejadian ini menjadi ”alat bukti” baru
untuk membalik logika umum perihal terorisme.
Bagi mereka, tindakan
terorisme ternyata bukan semata akibat tarikan ”ideologis”, melainkan juga
didorong oleh ”hasrat profan”. Aksi ”bongkar-membongkar” terhadap terorisme
pun kembali terasa ramai bersahutan dengan tatapan ideologis pula.
Pelaku bom di Mal Alam
Sutera terbukti didasari pemerasan. Artinya, ini kriminal murni. Pelakunya
bukan ”teroris” yang punya militansi dan berjejaring ideologis. Pelaku hanya
didorong situasi terdesak secara ekonomi, menyebabkan dia ngawur dan
melakukan aksi bom. Ada yang menyebut, aksi ini dilakukan secara lone wolf, sebuah istilah dalam kajian
terorisme yang menggambarkan pelaku terorisme yang bertindak sendiri, tanpa
ada jaringan; sebagaimana gambaran pelakunya yang belajar meracik bom dari
internet.
Sebelumnya bermunculan
analisis, misalnya aksi ini dilakukan kelompok teroris yang relatif baru. Ada
juga yang menengarai dari jaringan Abu Umar, faksi Mujahidin Indonesia Barat
(MIB), segaris dengan kelompok Santoso di Sulawesi Tengah dan Abu Roban di
Purwakarta.
Penanda teror
Aksi teror memang bisa
dilakukan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Di berbagai belahan dunia,
aksi teror cukup beragam pelakunya. Motifnya pun beragam. Model aksinya juga
berbeda-beda. Sepertinya tidak monolik. Ada ”situasi” yang membuat teror bisa
muncul. Yang menyamakan adalah timbulnya kerusakan dan menyebarnya kecemasan
di masyarakat.
Kita pernah membaca di
negara lain, misalnya pernah terjadi aksi penembakan di sebuah sekolah di
Finlandia yang menewaskan 8 siswa. Pelakunya salah satu siswa di sekolah itu.
Atau kasus Breivik yang meledakkan sebuah bom dekat gedung pemerintah di
Oslo, Norwegia, serta menembak mati 69 orang di tengah acara perkemahan
pemuda. Ada pula, kasus penembakan di sebuah gereja di Amerika. Pemenggalan
polisi yang dilakukan oleh seorang imigran pernah terjadi di Inggris. Atau,
sekelompok radikal menembaki siswa di sebuah sekolah di Pakistan.Di negeri
kita, belum berselang lama juga pernah terjadi kasus teror bom di ITC Depok,
Jawa Barat, yang hingga kini pelakunya belum tertangkap.
Dalam sederet contoh
kasus tersebut, motif menjadi penting dalam membaca misteri di balik aksi.
Terbacalah beberapa motif, seperti depresi, akibat narkoba, xenofobia,
kriminal dan juga motif rasial, politik dan keagamaan. Begitu pun, adanya
dampak yang ditimbulkan akibat aksi tersebut menjadi hitung-hitungan dalam
pembacaannya.
Keragaman motif dan
kekuatan dampak ini menandakan, dalam aksi kekerasan tidak semua aksi
kekerasan dapat dinyatakan sebagai aksi teroris. Mengapa? Aksi teroris yang
bersumbu dari ”paham teror” mempunyai ”daya ledak” secara masif sehingga
membawa pada keguncangan stabilitas negara. Bom Bali, misalnya, ditetapkan
sebagai ”berdampak nasional” karena dampaknya yang sangat besar terhadap
negara.
Dalam kajian akademis,
memang dibedakan antara teror dan terorisme. Ada yang memandang bahwa
terorisme adalah bentuk pemikiran, sedangkan teror adalah aksi atau tindakan
yang terorganisasi. Kebanyakan memandang teror bisa terjadi tanpa adanya
terorisme. Teror jadi unsur asli yang melekat pada terorisme. Terorisme
adalah puncak aksi kekerasan. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi
tidak ada teror tanpa kekerasan.
Menyitir Rikard Bagun,
terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase
umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Kaum teroris hanya ingin menciptakan
sensasi agar masyarakat luas memperhatikan perjuangan mereka. Kaum teroris
modern justru suka mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik
perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan
pesan perjuangannya (Rikard Bagun: 2002).
Cara pandang dalam ”tatapan
akademis” tersebut perlu dikedepankan. Ini dalam rangka membedakan dari
”tatapan ideologis” yang eksklusif dan cenderung reaktif. Ketika terjadi bom
di Mal Alam Sutera, sontak dari kalangan ini menyebutnya sebagai titik balik
yang bisa meruntuhkan stigmatisasi agama dalam isu terorisme.
Stigmatisasi yang
dituduhkan sebenarnya terlalu berlebihan. Negara memahami teroris bisa datang
dari mana saja. Namun, menyitir Brian Michael Jenkins, teroris tidak jatuh
dari langit, mereka muncul dari seperangkat keyakinan yang dipegang kuat.
Mereka adalah radikal. Kemudian mereka menjadi teroris (Leila Ezzarqui:
2010). Aksi teror yang muncul akibat ideologis inilah yang selama ini muncul
di negeri kita. Peristiwa bom, hingga penembakan terhadap aparat, telah terkuak
dilakukan oleh mereka yang berasal dari jaringan radikal keagamaan. Walaupun
model jaringan sudah mulai melemah, sel-selnya masih bergerak hingga
metamorfosis terorisme ”sel hantu” yang berangkat dari individu.
Kita sadari saat ini
kita tengah ”banjir” kelompok-kelompok radikal yang terus menguatkan barisan.
Semakin eksklusif dikhawatirkan akan makin radikal. Jika sikap radikal kian
mengeras, dikhawatirkan akan ”kalap” dan bisa melakukan aksi teror. Apalagi
dengan adanya arus pengaruh NIIS yang terbukti memakan banyak korban anak
bangsa.
Inilah yang jadi
garapan institusi negara, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
untuk terus melakukan pencegahan dan deradikalisasi. Untuk kondisi sekarang,
”kebetulan” banyak ditujukan pada kelompok-kelompok ideologis-keagamaan.
Pasalnya, memang kelompok model ini yang tengah bersemi. Jadi, ini bukan
berarti negara menstigmatisasi teroris dalam ”kluster” tertentu. Cuaca
kultural bangsa ini memang sedang disemerbaki oleh gejala seperti fanatisme
dan radikalisme.
Kewaspadaan
Di sinilah perlu
pembacaan secara bijak. Kita sudah punya UU No 15/2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme sebagai dasar hukum di Indonesia. Ada unsur-unsur
terorisme yang telah ditetapkan, yaitu perbuatan melawan hukum yang dilakukan
secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan
negara dengan membahayakan kedaulatan bangsa dan negara. Dan, itu dilakukan
dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban
yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa
dan harta benda orang lain (Pasal 1 Ayat 1).
Kejahatan teror akan
terus beralih rupa. Bisa saja ada pergeseran dari motif politik menuju motif
ekonomi, atau berwujud kejahatan transnasional melalui kejahatan dunia maya.
Dan, dari yang berakar etnosentrisme beralih wajah menjadi kejahatan katarsis
(amuk personal).
Kita perlu mewaspadai,
perubahan demografis akibat mobilitas manusia secara masif bisa memengaruhi
keamanan nasional. Pertumbuhan populasi yang tidak terkendali juga bisa
meningkatkan peluang instabilitas, radikalisme, dan terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar