Sampah Jakarta yang Tak Kunjung Terselesaikan
Enri Damanhuri ; Dosen Teknik Lingkungan FTSL ITB; Pengamat
Sampah
|
KOMPAS,
12 November 2015
Harian Kompas pada
Kamis, 5 November 2015, menurunkan berita utama berjudul ”Krisis Sampah
Berulang: Solusi Cepat dan Komprehensif di DKI Jakarta Sangat Diperlukan”.
Dikatakan ”berulang” karena persoalan sampah Jakarta, khususnya yang
berhubungan dengan Pemkot Bekasi, sepertinya tak pernah terselesaikan secara
baik.
Krisis yang sama besar
skalanya terjadi 14 tahun lalu di Jakarta. Saat itu, 10 Desember 2001,
Jakarta tak diizinkan lagi membuang sampah di TPA Bantargebang (Kompas,
10/12/2001) sehingga sampah mengepung Jakarta (Kompas, 13/12/2001). DPR
mencoba membujuk Kota Bekasi membuka TPA Bantargebang setelah Gubernur
Jakarta (Sutiyoso) tak mempan meluluhkan Pemda Bekasi (Kompas, 14/12/2001).
Krisis sampah itu
diwarnai pula dengan kerusuhan yang dilakukan masyarakat sekitar TPA dengan
merusak 12 truk sampah DKI dan membakar dua truk sampah (Kompas, 11/12/2001).
Akhirnya, TPA Bekasi dibuka lagi mulai 15 Desember 2001.
Inti masalahnya adalah
bahwa penanganan sampah Jakarta sangat bergantung pada keberadaan TPA
Bantargebang. Apabila fasilitas ini gagal beroperasi, entah karena ditutup
secara sepihak oleh yang mempunyai daerah, entah karena sebab lain, seperti
terjadinya gangguan teknis sehingga harus dihentikan, maka gagal pula kota
tersebut melaksanakan tugas fungsinya mengelola sampah.
Akibatnya, sampah
tidak terangkut dan menumpuk di tempat-tempat penampungan sementara di kota.
Jika persoalan ini terjadi di kota kecil, mungkin tidak akan menjadi berita.
Masalahnya ini terjadi di Jakarta, pusat pemerintahan dan pusat kegiatan
ekonomi di Indonesia.
Dari informasi di
media massa, Jakarta sudah melakukan penjajakan dengan kota/kabupaten untuk
membawa sampahnya ke TPA yang ada di daerah tersebut, tetapi selalu tidak
terlaksana. TPA Bantargebang di Kota Bekasi sampai saat ini menjadi andalan
satu-satunya bagi Jakarta.
Dari berita di media,
Jakarta menghasilkan sampah sekitar 6.000 ton atau 24.000 meter kubik per
hari. Angka itu tidak pernah bergeser sejak 15 tahun lalu karena tidak pernah
ada data akurat. Sejak awal 1990-an, Jakarta mengandalkan penanganan
sampahnya ke TPA Bantargebang.
Pendekatan 3R
Sampah sebanyak itu
tidak akan mungkin lagi diselesaikan dengan 3R (reuse, reduce, recycle) atau
pendekatan reduksi sampah di sumber yang berbasiskan partisipasi masyarakat.
Sampah terus dihasilkan setiap hari, sementara pendekatan 3R membutuhkan
partisipasi penuh dari penghasil sampah. Di samping itu, belum ada kota-kota
besar di negara lain yang mampu mengandalkan pengelolaan sebagian besar
sampahnya dengan pendekatan ini.
Contoh terdekat dari
negara kita adalah Singapura yang sangat aktif melakukan pendekatan daur
ulang untuk semua sampah padatnya (termasuk sampah kotanya). Saat ini
penduduk Singapura 5,47 juta jiwa, lebih kecil dari Jakarta. Pada 2012,
Singapura menghasilkan seluruh limbah padat (termasuk sampah kota) seberat
18.899 ton per hari. Sekitar 7.000 ton diolah dengan teknologi insinerator
yang canggih, yang juga menghasilkan panas untuk menggerakkan turbin listrik.
Semua sampah kota yang
bisa dibakar diangkut ke lima insinerator (dikenal sebagai teknologi
waste-to-energy) yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 7.900 ton per
hari. Bagian sampah yang tidak dapat dibakar, seperti besi, dipisahkan dan
ditangani dengan cara daur ulang. Dari pembakaran ini dihasilkan residu
sebesar 1.750 ton abu, yang semuanya dibawa ke pulau landfill yang
menggabungkan dua pulau menjadi sebuah TPAseluas 350 hektar dan mulai
beroperasi pada 1999.
Pada 2010, biaya
operasi dan pemeliharaan, termasuk pengembalian modal investasi, sekitar Rp
500.000 per ton sampah diolah (kurs tahun 2009). Bandingkan dengan Jakarta
yang membayar sekitar Rp 120.000 per ton sampah yang masuk ke TPA
Bantargebang dengan teknologi yang belum tepat bila disebut sanitary
landfill.
Penjualan listrik dari
fasilitas insinerator di Singapura ini hanya mampu mengurangi biaya sebesar
30 persen. Untuk sampah Jakarta, nilai tersebut akan lebih kecil karena
komponen sampah yang tinggi keterbakarannya (kertas dan plastik) lebih
sedikit dibandingkan dengan Singapura. Lagi pula truk pengangkutnya memang
dirancang untuk mengangkut sampah sehingga sampah lebih mudah terbakar karena
tidak terkena air hujan.
Pada 1997, dengan
bantuan JICA (Jepang), Jakarta sebetulnya sudah mempunyai kajian outline plan
untuk penanganan sampahnya dengan prinsip tidak menggantungkan hanya pada
keberadaan sebuah TPA.
Kajian ini diperbarui
pada 2005, melalui dana Bank Dunia, yang intinya membagi kota Jakarta menjadi
empat daerah pelayanan intermediate treatment facility (ITF), yang akan
mengolah sampah Jakarta melalui teknologi pengomposan, insinerasi, dan
teknologi skala kota lainnya. Teknologi itu sudah terbukti dan sudah tersedia
di pasar.
Rencana Strategi Kota
Jakarta 2005-2015 jelas mencantumkan hal ini. ITF Jakarta Barat (akan)
dibangun pada 2007, ITF Jakarta Utara (akan) dibangun pada 2008, ITF Jakarta
Timur (akan) dibangun pada 2010, dan ITF Jakarta Selatan (akan) dibangun pada
2011.
Strategi tak terlaksana
Andai saja strategi
ini berjalan mulus, menurut rencana, pada 2007, sekitar 23 persen (berat)
sampah Jakarta diolah di Jakarta dan mengirim sampahnya ke TPA Bantargebang
sebesar 53 persen. Pada 2015, menurut rencana, sekitar 76 persen sampah
diolah di fasilitas ITF itu dan tak ada lagi sampah yang dikirim ke
Bantargebang. Entah mengapa sampai saat ini rencana strategi ini belum satu
pun terlaksana.
Saat ini, di daerah Nambo,
Gunung Putri, Bogor, di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
sedang dimulai tahap awal pengembangan teknologi pengolah sampah antara,
yaitu refuse derived fuel, yang lebih sederhana dari teknologi insinerator.
Ia berperan hanya mengeringkan sampah agar mudah dibakar.
Rencana daerah
layanannya adalah Kota/Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Siapa tahu Jakarta
dapat memanfaatkan fasilitas ini jika belum membangun sendiri fasilitas
ITF-nya. Di daerah ini terdapat dua pabrik semen yang siap menerima produk
yang dihasilkan sehingga menjadi energi alternatif dan tambahan bagi
kebutuhan energi di pabrik itu. Apabila tidak ada pabrik semen yang akan
menyerapnya, belum tentu produk semacam ini cocok dikembangkan.
Walaupun sudah sangat
terlambat, sudah waktunya Jakarta merealisasikan alternatif teknologi itu.
Biaya penanganan
sampah yang baik memang tak murah. Tak ada kota di dunia ini yang mampu
mengolah sampah tanpa biaya dan hanya menggantungkan pada penjualan produk
samping, seperti gas bio atau panas dari pembakaran sampah yang bisa diubah
menjadi energi listrik. Teknologi pengolahan sampah sejenis ini dengan
kapasitas skala kota yang efektif, andal, sekaligus tak mencemari lingkungan
belum mampu dibuat di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar