Nomaden Vs Hunian Tetap
Galeh Prabowo ; Alumnus Departemen Antropologi Budaya, UGM
|
KOMPAS,
12 November 2015
Dalam beberapa bulan
terakhir, Presiden Republik Indonesia tampak berlalu-lalang di kawasan hutan
Sumatera dan Kalimantan. Tindakan itu mulai berlangsung ketika negeri ini
dilanda bencana kebakaran hutan. Perhatian pemerintah dan media massa
mengerucut ke persoalan tersebut.
Masyarakat suku Anak
Dalam atau Orang Rimba yang notabene menghuni kawasan hutan di Sumatera
sempat mendapat perhatian Presiden Joko Widodo, beberapa pekan lalu. Dalam
kunjungan itu, Presiden Jokowi berbincang-bincang dengan tokoh masyarakat
suku Anak Dalam di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi.
Dialog terjadi antara
Presiden dan rakyatnya. Tawaran merelokasi masyarakat suku Anak Dalam ke
hunian tetap mengalir dari bibir sang Presiden. Komunikasi di antara kedua
pihak pada akhirnya berbuah persetujuan masyarakat suku Anak Dalam untuk
tinggal menetap.
Salahkah tawaran
hunian tetap? Ketika berita itu diterbitkan, muncul banyak respons dari
berbagai kalangan. Ada yang memuji, ada pula yang mencaci. Mereka yang
mencaci lebih cenderung menolak perlakuan atau tindakan Presiden kepada
masyarakat suku Anak Dalam.
Banyak orang yang
terjebak romantisme bahwa kebudayaan itu tetap, tidak mengalami perubahan.
Bahkan, perubahan kebudayaan acap kali dianggap kebanyakan orang sebagai
musibah ataupun peristiwa buruk. Asumsi inilah yang sering kita temui, seolah-olah
masyarakat perkotaan menginginkan saudaranya yang berada di pedalaman ”haram”
hukumnya jika mengalami perubahan kebudayaan.
Ironisnya, ada pihak
yang menilai bahwa tawaran Presiden kepada masyarakat suku Anak Dalam sebagai
kekerasan kultural. Dalam tulisannya di Geo Times (1/11/2015), ”Jokowi, Orang Rimba, dan Kekerasan
Kultural”, Roy Thaniago mengungkapkan bahwa merumahkan Orang Rimba adalah
bentuk kekerasan kultural dan pengabaian indigenous
rights karena ini bisa jadi bukan sedang memfasilitasi kebutuhan tempat
tinggal, melainkan memisahkan mereka dari kosmologi ruang hidupnya.
Lebih lanjut, Roy
berargumen bahwa nomaden bagi orang rimba merupakan wujud ekspresi budaya
melangun, tradisi bepergian jauh dalam waktu lama ketika ada sanak saudara
meninggal. Dari itu, ia beranggapan tradisi ini bertentangan dengan tawaran
hidup menetap dari sang Presiden.
Menepis kekerasan kultural
Asumsi kekerasan
kultural dalam konteks ini, hemat saya, tidaklah tepat. Kekerasan kultural (Galtung, 1990) merupakan suatu
tindakan mengubah ”warna” moral kebiasaan yang sebelumnya berwarna merah
(dianggap buruk) ke warna hijau (dianggap baik).
Misalnya, dalam suatu
masyarakat tindakan mencuri padi milik tetangga dianggap salah. Namun, hal
ini diubah oleh pemerintah melalui kebijakannya bahwa mencuri padi milik
tetangganya tak dipermasalahkan (dianggap benar). Adakah unsur paksaan di
dalamnya? Ya,kekerasan kultural memang akan selalu mengandung unsur paksaan
dan biasanya berasal dari pihak yang memiliki kekuasaan.
Berpijak pada konsep
di atas, tindakan Presiden Jokowibukanlah wujud dari kekerasan kultural,
melainkan sebuah negosiasi. Terlebih lagi, warga suku Anak Dalam
berkesempatan meminta syarat di dalam negosiasi tersebut. Hal ini tecermin
dari kutipan dialog yang berlangsung di antara presiden dan masyarakat suku Anak
Dalam.
Dalam interaksinya itu
(Kompas, 3/11/2015)Presiden menanyakan apakah mereka mau tetap tinggal di
rumah atau nomaden lagi. ”(Mereka menjawab) Mau (tinggal di rumah), tetapi
dengan syarat, jarak rumah agak jauh. Lalu ada lahan.”
Apakah dengan menetap
mereka tidak dapat lagi berburu, berkebun, atau menjalankan aktivitas
sosial-ekonomi lainnya? Mereka dapat melakukan kegiatan itu meski memiliki
hunian atau rumah tetap selama seluruh darat belum ditenggelamkan oleh laut.
Hal itu bisa dilakukan selama kondisi ekologi masyarakat suku Anak Dalam
terjaga dan mendukung untuk melakukan aktivitas sosial-ekonomi seperti halnya
leluhur mereka.
Perihal tradisi
melangun yang mengharuskan mereka meninggalkan rumah selamanya tentu sudah
tidak dapat dilakukan ketika mereka memutuskan menetap. Supaya tradisi ini
tidak hilang, mereka bisa saja meninggalkan sementara rumah awalnya dalam
kurun tertentu untuk kemudian kembali lagi melakukan rutinitas kehidupan di
rumahnya itu seperti sediakala. Hal ini membutuhkan proses supaya mereka
sadar bahwa kondisi bumi Indonesia saat ini telah berubah, tak sama dengan
zaman leluhur mereka.
Mengingat kepadatan
penduduk di Indonesia, khususnya Sumatera yang mengalami peningkatan setiap
tahunnya, tradisi meninggalkan rumah selamanya (nomaden) dirasa kurang
relevan. Masyarakat suku Anak Dalam sudah saatnya paham bahwa dunia ini tidak
hanya dihuni mereka saja. Ada masyarakat lain yang juga memiliki dan
membutuhkan hak serta kewajiban untuk mengelola kawasan tertentu. Tentu
mereka bisa saling menghargai atas kepemilikan dan kepenguasaan hutan milik
pihak lain.
Apabila kebiasaan
nomaden ini tetap dilanjutkan, masyarakat suku Anak Dalam akan kehabisan area
untuk membangun rumah barunya. Terlebih jumlah penduduk masyarakat suku Anak
Dalam akan mengalami pertambahan pula ke depannya. Alhasil, kemungkinan
mereka menerobos di kawasan hutan industri dapat terjadi.
Lebih fokus
Jika mereka nekat
melakukan hal itu, bencana kelaparan akan menimpanya. Realitas itu dapat
timbul karena ekologi yang digunakan bertempat tinggal tidak menyediakan
pasokan yang sama dengan kondisi hutan yang selama ini mereka tinggali.
Dengan adanya hunian
tetap, generasi muda suku Anak Dalam dapat lebih fokus mengenyam pendidikan
nasional sehingga nanti mereka memiliki kemampuan melestarikan budaya dan
lingkungannya, sekaligus berargumentasi jikalau ada pihak yang ingin merusak
ekologi saudaranya.
Di samping itu,
pelayanan kesehatan dari pihak pemerintah dapat lebih mudah memberi akses dan
kontrol kondisi kesehatan masyarakat suku Anak Dalam. Ke depan, pemerintah
perlu mendatangkan ahli perencana pembangunan khususdi wilayah tersebut untuk
bernegosiasi dengan masyarakat suku Anak Dalam. Tujuannya: mendampingi dan
memfasilitasi arah pembangunan yang sesuai dengan keinginan masyarakat suku
Anak Dalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar