Perlukah Kita Bergabung dengan TPP Sekarang?
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
02 November 2015
Pernyataan Presiden
Joko Widodo untuk bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) menimbulkan
polemik. Pertama, selama ini orientasi kebijakan pemerintah Jokowi dianggap
lebih condong ke Tiongkok. Apakah ini dalam rangka menemukan keseimbangan
geopolitik?
Kedua, pemerintah
sebelumnya tak berorientasi ke TPP. Apakah ini pertanda ”keberanian” presiden
baru? Pemerintah sebelumnya lebih aktif di forum ASEAN plus 6 atau Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dengan Tiongkok dan India ada di
dalamnya.
Media ternama The
Guardian mengkhawatirkan gagasan Presiden ini justru akan mengonsolidasikan
kekuatan proteksionis di dalam negeri. Ujungnya, bisa saja justru memperkuat
oposisi. Sementara, kantor berita Bloomberg meragukan kesiapan sektor
domestik, khususnya BUMN, mengikuti standar TPP yang dikenal tinggi. Dengan
begitu, kalaupun ada tindak lanjut, jalan menuju ke sana masih begitu
panjang.
Indonesia punya
pengalaman buruk dengan keikutsertaan pakta perdagangan. Sebut saja pakta
perdagangan ASEAN-Tiongkok (ACFTA) yang justru melebarkan defisit neraca
perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok. Oleh karena itu, sebelum bergabung,
sebaiknya dilakukan pemetaan secara mendalam per sektor ekonomi di mana kita
akan untung dan rugi.
Keberadaan TPP sendiri
masih diwarnai kontroversi, baik di antara ke-12 negara anggota maupun di
dalam negeri setiap anggota, termasuk Amerika Serikat sendiri. Di AS dan
Kanada, pemerintah berikutnya berpotensi menolak TPP karena dianggap
merugikan kepentingan domestik mereka.
Tak berlebihan jika
Joseph E Stiglitz dan Adam S Hersh menganggap pakta ini tak semegah tampak
luarnya. Di dalamnya masih diwarnai dinamika rumit yang sama sekali tak
menjamin masa depannya.
Selandia Baru sudah
mengancam akan keluar kalau tak sepakat dengan AS dan Kanada mengenai produk
susu. Sebaliknya, kekuatan oposisi di Kanada mengangkat isu ini pada masa pemilu,
sehingga jika kelompok oposisi menang, keikutsertaan TPP berpotensi direvisi.
Australia sama sekali
tidak senang terhadap kebijakan AS dan Meksiko mengenai perdagangan gula,
sementara AS tak sependapat dengan Jepang terkait perdagangan beras. Perbedaan
kepentingan antarnegara anggota masih begitu lebar.
Polemik tak sekadar
perbedaan kepentingan politik. Secara konseptual ada beberapa dalil yang bisa
dipersoalkan, misalnya perlindungan hak cipta produk farmasi. Secara
teoretis, hak cipta akan meningkatkan inovasi, tetapi secara empiris bisa
jadi sebaliknya. Hak cipta justru menjadi proteksi yang memberi insentif
produsen farmasi tak melakukan inovasi sebagaimana diharapkan.
Lalu, apakah sebaiknya
kita melanjutkan rencana untuk masuk TPP? Argumen yang sering disampaikan,
Vietnam saja berani, mengapa kita tidak? Filipina sudah menyatakan akan
bergabung dan Thailand mulai menyiapkan diri. Jika ukurannya daya saing dan
skala ekonomi, keikutsertaan Vietnam menarik karena justru merasa paling siap
dan diuntungkan.
Jadi, mengapa kita tak
berangkat dari strategi elementer menemukan titik terkuat untuk masuk TPP?
Perdagangan bebas tak lagi soal menang kalah secara mutlak karena itu hanya
ilusi. Cukup kalau kita bisa unggul di berbagai sektor tertentu yang mampu
memberi efek pengganda yang relatif luas di dalam negeri. Dengan kata lain,
kita menjadi bagian dari mata rantai pasokan regional atau global.
Sebut saja industri
tekstil dan alas kaki, meski punya pesaing berat Vietnam, atau produk makanan
dan produk pertanian yang masih berpotensi unggul, kecuali Thailand masuk.
Selain itu, kita juga kuat di produksi olahan hasil perkebunan, seperti
industri ban yang memanfaatkan komoditas karet domestik.
Meski ada potensi
kekuatan sektoral, harus diakui kita memiliki kelemahan struktural. Sektor
padat karya mengalami dinamika rumit terkait penentuan upah buruh, biaya
logistik, dan biaya pinjaman tinggi. Sementara sektor pengolahan ditandai
dengan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja yang rendah.
Satu pertanyaan
mendasar yang perlu dikaji, mampukah kita meningkatkan daya saing dan
produktivitas ekonomi dengan masuk TPP? Bisa diduga, jawabannya bukan ya dan
tidak. Di situlah keputusan politik berperan, menentukan arah.
Jadi, yang diperlukan
adalah kepastian arah serta keteguhan mewujudkannya. Keberanian mengambil
keputusan adalah satu hal, konsistensi menjalankan tatanan secara sistematis
adalah hal lain. Keduanya harus dimiliki, bukan salah satu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar