Minggu, 01 November 2015

Kejar Tenggat Pemilu Serentak 2019

Kejar Tenggat Pemilu Serentak 2019

Didik Supriyanto  ;  Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
                                                       KOMPAS, 28 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Senin (19/10), Badan Legislasi DPR bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mewakili pemerintah semestinya mulai membahas Program Legislasi Nasional 2016. Namun, rapat urung digelar karena menteri berhalangan hadir.

Semoga ini bukan pertanda buruk mengingat tahun lalu merupakan periode terjelek Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR dan pemerintah hanya mengesahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) dari 37 RUU prioritas. Itu artinya, 34 RUU akan jadi bagian Prolegnas 2016. Padahal, banyak RUU yang mendesak dibahas, salah satunya RUU Pemilu.

Melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2019 dilakukan secara serentak. Konsekuensinya, UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif harus diubah dan disatukan atau dikodifikasi. Sebab, tak logis dan akan menimbulkan banyak masalah dalam implementasi jika pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan serentak, tetapi UU-nya berbeda.

Masa 30 bulan

Sesungguhnya semakin cepat RUU Pemilu disahkan semakin baik bagi kualitas penyelenggaraan pemilu. Jarak pengesahan UU No 12/2003 dengan hari-H Pemilu Legislatif 2014 adalah 13 bulan. Jarak yang sama juga terjadi antara pengesahan UU No 10/2008 dan hari-H Pemilu Legislatif 2019.

Pendeknya waktu persiapan menyebabkan penyelenggaraan dua pemilu tersebut menuai banyak masalah: daftar pemilih tak akurat, kampanye tidak tertib, surat suara belum tersedia atau tertukar, rekapitulasi penghitungan suara salah, dan gugatan hasil pemilu ke MK berjibun.

Masa persiapan pendek tidak hanya merepotkan penyelenggara pemilu, tetapi juga partai politik dan para calon. Partai politik, misalnya, kesulitan menyusun daftar calon sehingga terpaksa memasukkan orang dengan reputasi tidak jelas. Sementara para calon terdorong menempuh jalan pintas dalam merebut suara sehingga saat pemilu berakhir mereka baru sadar telah "ditipu" pemilih karena uang yang ditebar tidak berbuah suara. Ini berbeda dengan Pemilu 2014. Saat itu, penyelenggara, partai politik, dan calon memiliki waktu cukup untuk mempersiapkan diri karena jarak waktu antara UU No 8/2012 disahkan dan hari-H pemungutan suara adalah 23 bulan.

Tentu saja penyelenggaraan Pemilu 2014 bukan tanpa masalah. Namun, karena persiapan berlangsung lama, masalah yang muncul bisa diselesaikan sebelum jadwal pelaksanaan tahapan habis. Soal karut-marut daftar pemilih, misalnya, bisa diselesaikan dengan baik sehingga untuk pertama kalinya Pemilu 2014 menunjukkan tidak ada masalah daftar pemilih. Demikian juga protes para calon yang kalah tak berlanjut ke mana-mana karena mereka tak punya bukti cukup untuk menghadapi hasil pindaian sertifikat hasil penghitungan suara di TPS atau formulir C1 yang dipublikasikan secara luas di laman KPU.

Belajar dari tiga penyelenggaraan pemilu sebelumnya, RUU Pemilu untuk pemilu serentak 2019 harus masuk dalam Prolegnas 2016. Selekasnya DPR atau pemerintah berinisiatif menyusun RUU sehingga pada kuartal I-2016 RUU tersebut bisa mulai dibahas DPR bersama pemerintah. Harapannya, RUU Pemilu akan disahkan awal 2017 sehingga penyelenggara, partai politik, dan para calon punya waktu setidaknya 30 bulan untuk menuju hari-H pemungutan suara yang diperkirakan jatuh pada Juni 2019.

Para pengamat pemilu internasional selalu berujar, tidak ada pemilu di dunia ini yang lebih rumit daripada pemilu legislatif Indonesia. Pemilu legislatif di negeri ini bukan hanya pemilu terbesar dalam jumlah pemilih, jumlah partai politik peserta, juga jumlah lembaga yang diperebutkan dengan sistem yang berbeda. DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menggunakan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, sedangkan DPD menggunakan sistem pemilu mayoritarian berkursi banyak.

Tiga langkah penting

Jika pemilu legislatif yang memilih empat lembaga itu sudah mendapat predikat pemilu paling rumit di dunia, kerumitannya semakin tinggi saat ditambah dengan memilih presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, masa persiapan 24 bulan atau dua tahun pun belum cukup. Idealnya adalah 30 bulan atau 2,5 tahun. Inilah tantangan yang harus dijawab oleh DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang. Setidaknya terdapat tiga langkah penting untuk menghadapi tantangan tersebut.

Pertama, siapa pun inisiator RUU Pemilu, DPR atau pemerintah, begitu Prolegnas 2016 ditetapkan pada akhir Oktober ini, mereka harus segera membentuk Tim Penyusun Draf Naskah Akademik dan RUU Pemilu. Tim inilah yang akan menampung masukan dari berbagai kalangan, khususnya yang peduli dan terkait dengan isu pemilu. Sejumlah ahli bisa ditunjuk untuk bergabung bersama staf internal (di Komisi II DPR jika inisiator adalah DPR atau di Kementerian Dalam Negeri jika inisiator adalah pemerintah). Sejauh ini, dari organisasi masyarakat sipil sudah muncul dokumen naskah akademik dan draf RUU Pemilu yang bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi tim dalam menjalankan tugasnya.

Kedua, Tim Penyusun Draf Naskah Akademik dan RUU Pemilu perlu melakukan evaluasi komprehensif atas penyelenggaraan pemilu pasca Perubahan UUD 1945. Evaluasi tidak hanya ditujukan pada penyelenggaraan 3 pemilu legislatif, 3 pemilu presiden, dan 2 gelombang pilkada, tetapi juga pemerintahan yang dihasilkan pemilu-pemilu itu.

Bagaimanapun, pemilu bukan sekadar sarana kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya, melainkan juga sarana untuk membentuk pemerintahan yang efektif. Oleh karena itu, kesalinghubungan antara aktor-aktor yang dihasilkan oleh pemilu harus mendapat kajian serius demi menciptakan pengaturan sistem pemilu yang mampu menghasilkan pemerintahan efektif sekaligus tidak koruptif.

Ketiga, RUU Pemilu tidak sekadar menggabungkan UU No 42/2008 dan UU No 8/2012, tetapi juga membutuhkan sistematika yang logis dan sistematis. Sistematika demikian tidak hanya memudahkan banyak kalangan untuk memahami materi muatan undang-undang jika kelak sudah disahkan, tetapi juga memudahkan pembahasan karena DPR dan pemerintah tidak lagi terjebak dalam perdebatan rumit dan bertele-tele akibat sistematika materi muatan RUU yang tumpang tindih, berulang, dan berkepanjangan.

Dalam hal ini RUU harus memisahkan pengaturan sistem pemilu dengan pelaksanaan tahapan dan penegakan hukum. Dengan cara demikian, perdebatan bisa difokuskan pada soal sistem pemilu, yang di dalamnya meliputi penjadwalan pemilu, syarat kepesertaan, besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, ambang batas keterpilihan, formula perolehan kursi, dan penetapan calon terpilih.

Isu sistem itulah yang akan jadi ajang pertarungan kepentingan DPR dan pemerintah. Sementara isu pelaksanaan tahapan dan penegakan hukum secara umum sudah tidak banyak masalah karena bisa diadopsi dari peraturan pemilu-pemilu sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar