Kejar Tenggat Pemilu Serentak 2019
Didik Supriyanto ; Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi
|
KOMPAS,
28 Oktober 2015
Senin (19/10), Badan Legislasi DPR bersama Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia yang mewakili pemerintah semestinya mulai membahas Program
Legislasi Nasional 2016. Namun, rapat urung digelar karena menteri
berhalangan hadir.
Semoga ini bukan pertanda buruk mengingat tahun lalu merupakan
periode terjelek Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR dan pemerintah
hanya mengesahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) dari 37 RUU prioritas.
Itu artinya, 34 RUU akan jadi bagian Prolegnas 2016. Padahal, banyak RUU yang
mendesak dibahas, salah satunya RUU Pemilu.
Melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014,
Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar pemilu legislatif dan pemilu presiden
pada 2019 dilakukan secara serentak. Konsekuensinya, UU No 42/2008 tentang
Pemilu Presiden dan UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif harus diubah dan
disatukan atau dikodifikasi. Sebab, tak logis dan akan menimbulkan banyak
masalah dalam implementasi jika pemilu legislatif dan pemilu presiden
diselenggarakan serentak, tetapi UU-nya berbeda.
Masa 30 bulan
Sesungguhnya semakin cepat RUU Pemilu disahkan semakin baik bagi
kualitas penyelenggaraan pemilu. Jarak pengesahan UU No 12/2003 dengan hari-H
Pemilu Legislatif 2014 adalah 13 bulan. Jarak yang sama juga terjadi antara
pengesahan UU No 10/2008 dan hari-H Pemilu Legislatif 2019.
Pendeknya waktu persiapan menyebabkan penyelenggaraan dua pemilu
tersebut menuai banyak masalah: daftar pemilih tak akurat, kampanye tidak
tertib, surat suara belum tersedia atau tertukar, rekapitulasi penghitungan
suara salah, dan gugatan hasil pemilu ke MK berjibun.
Masa persiapan pendek tidak hanya merepotkan penyelenggara
pemilu, tetapi juga partai politik dan para calon. Partai politik, misalnya,
kesulitan menyusun daftar calon sehingga terpaksa memasukkan orang dengan
reputasi tidak jelas. Sementara para calon terdorong menempuh jalan pintas
dalam merebut suara sehingga saat pemilu berakhir mereka baru sadar telah
"ditipu" pemilih karena uang yang ditebar tidak berbuah suara. Ini
berbeda dengan Pemilu 2014. Saat itu, penyelenggara, partai politik, dan
calon memiliki waktu cukup untuk mempersiapkan diri karena jarak waktu antara
UU No 8/2012 disahkan dan hari-H pemungutan suara adalah 23 bulan.
Tentu saja penyelenggaraan Pemilu 2014 bukan tanpa masalah.
Namun, karena persiapan berlangsung lama, masalah yang muncul bisa
diselesaikan sebelum jadwal pelaksanaan tahapan habis. Soal karut-marut
daftar pemilih, misalnya, bisa diselesaikan dengan baik sehingga untuk
pertama kalinya Pemilu 2014 menunjukkan tidak ada masalah daftar pemilih.
Demikian juga protes para calon yang kalah tak berlanjut ke mana-mana karena
mereka tak punya bukti cukup untuk menghadapi hasil pindaian sertifikat hasil
penghitungan suara di TPS atau formulir C1 yang dipublikasikan secara luas di
laman KPU.
Belajar dari tiga penyelenggaraan pemilu sebelumnya, RUU Pemilu
untuk pemilu serentak 2019 harus masuk dalam Prolegnas 2016. Selekasnya DPR
atau pemerintah berinisiatif menyusun RUU sehingga pada kuartal I-2016 RUU
tersebut bisa mulai dibahas DPR bersama pemerintah. Harapannya, RUU Pemilu
akan disahkan awal 2017 sehingga penyelenggara, partai politik, dan para
calon punya waktu setidaknya 30 bulan untuk menuju hari-H pemungutan suara
yang diperkirakan jatuh pada Juni 2019.
Para pengamat pemilu internasional selalu berujar, tidak ada
pemilu di dunia ini yang lebih rumit daripada pemilu legislatif Indonesia.
Pemilu legislatif di negeri ini bukan hanya pemilu terbesar dalam jumlah
pemilih, jumlah partai politik peserta, juga jumlah lembaga yang diperebutkan
dengan sistem yang berbeda. DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
menggunakan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, sedangkan DPD
menggunakan sistem pemilu mayoritarian berkursi banyak.
Tiga langkah
penting
Jika pemilu legislatif yang memilih empat lembaga itu sudah
mendapat predikat pemilu paling rumit di dunia, kerumitannya semakin tinggi
saat ditambah dengan memilih presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu,
masa persiapan 24 bulan atau dua tahun pun belum cukup. Idealnya adalah 30
bulan atau 2,5 tahun. Inilah tantangan yang harus dijawab oleh DPR dan
pemerintah selaku pembuat undang-undang. Setidaknya terdapat tiga langkah
penting untuk menghadapi tantangan tersebut.
Pertama, siapa pun inisiator RUU Pemilu, DPR atau pemerintah,
begitu Prolegnas 2016 ditetapkan pada akhir Oktober ini, mereka harus segera
membentuk Tim Penyusun Draf Naskah Akademik dan RUU Pemilu. Tim inilah yang
akan menampung masukan dari berbagai kalangan, khususnya yang peduli dan
terkait dengan isu pemilu. Sejumlah ahli bisa ditunjuk untuk bergabung
bersama staf internal (di Komisi II DPR jika inisiator adalah DPR atau di
Kementerian Dalam Negeri jika inisiator adalah pemerintah). Sejauh ini, dari
organisasi masyarakat sipil sudah muncul dokumen naskah akademik dan draf RUU
Pemilu yang bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi tim dalam menjalankan
tugasnya.
Kedua, Tim Penyusun Draf Naskah Akademik dan RUU Pemilu perlu
melakukan evaluasi komprehensif atas penyelenggaraan pemilu pasca Perubahan
UUD 1945. Evaluasi tidak hanya ditujukan pada penyelenggaraan 3 pemilu
legislatif, 3 pemilu presiden, dan 2 gelombang pilkada, tetapi juga
pemerintahan yang dihasilkan pemilu-pemilu itu.
Bagaimanapun, pemilu bukan sekadar sarana kedaulatan rakyat
untuk memilih pemimpinnya, melainkan juga sarana untuk membentuk pemerintahan
yang efektif. Oleh karena itu, kesalinghubungan antara aktor-aktor yang
dihasilkan oleh pemilu harus mendapat kajian serius demi menciptakan
pengaturan sistem pemilu yang mampu menghasilkan pemerintahan efektif
sekaligus tidak koruptif.
Ketiga, RUU Pemilu tidak sekadar menggabungkan UU No 42/2008 dan
UU No 8/2012, tetapi juga membutuhkan sistematika yang logis dan sistematis.
Sistematika demikian tidak hanya memudahkan banyak kalangan untuk memahami
materi muatan undang-undang jika kelak sudah disahkan, tetapi juga memudahkan
pembahasan karena DPR dan pemerintah tidak lagi terjebak dalam perdebatan
rumit dan bertele-tele akibat sistematika materi muatan RUU yang tumpang
tindih, berulang, dan berkepanjangan.
Dalam hal ini RUU harus memisahkan pengaturan sistem pemilu
dengan pelaksanaan tahapan dan penegakan hukum. Dengan cara demikian,
perdebatan bisa difokuskan pada soal sistem pemilu, yang di dalamnya meliputi
penjadwalan pemilu, syarat kepesertaan, besaran daerah pemilihan, metode
pencalonan, metode pemberian suara, ambang batas keterpilihan, formula
perolehan kursi, dan penetapan calon terpilih.
Isu sistem itulah yang akan jadi ajang pertarungan kepentingan
DPR dan pemerintah. Sementara isu pelaksanaan tahapan dan penegakan hukum
secara umum sudah tidak banyak masalah karena bisa diadopsi dari peraturan
pemilu-pemilu sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar