Bertemu untuk Menjadi Satu
Imam Nahrawi ; Menteri Pemuda dan Olahraga
|
KOMPAS,
28 Oktober 2015
Sebagai pemuda yang lahir dan tumbuh di sebuah kepulauan seperti
Madura, saya memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu kesatuan dan persatuan.
Garis pantai yang begitu dekat dengan tanah yang kami jejak
telah membentuk cara pandang saya terhadap kesatuan Indonesia yang begitu
luas. Bercampur antara kemusykilan, keajaiban, dan kebanggaan.
Saya sebut musykil karena bagaimana mungkin menyatukan orang
dari ribuan pulau yang secara budaya, bahasa, dan tradisi berbeda-beda satu
sama lain. Jangankan membayangkan bersatu, membayangkan orang-orang tersebut
sekadar bertemu saja bukan pekerjaan mudah. Ribuan kilometer jarak harus
ditempuh. Ribuan perbedaan dan juga sekat-sekat sosial harus ditebas jika
ingin bertemu, apalagi bersatu dalam satu cara pandang yang sama tentang
kenegaraan.
Saya sungguh ragu-ragu mengemukakan kemusykilan di depan
khalayak luas di saat bersamaan duduk di posisi pemegang amanat. Namun,
itulah yang saya alami. Itulah yang saya rasakan. Dan, alhamdulillah,
kemusykilan itu langsung runtuh tatkala saya membaca fakta sejarah Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928.
Saya takjub sekaligus musykil menerima pertanyaan, apa yang
melatarbelakangi penjelasan negeri kepulauan nan membentang ini bersatu.
Bagaimana bisa keberbedaan yang sempurna yang dimiliki oleh bangsa ini
ternyata mampu bersatu? Satu lagi pertanyaan, imajinasi macam apa yang
dimiliki para pemuda pendahulu sehingga mampu menyatukan bangsa-bangsa,
ras-ras, suku-suku, agama-agama, adat-adat, bahasa-bahasa, golongan-golongan,
juga kepentingan-kepentingan yang pragmatik?
Pelajaran di sekolah terlalu sederhana saat menjelaskan apa itu
Bhinneka Tunggal Ika. Kalimat dari bahasa Sanskerta ini, bagi saya orang
Madura, termasuk kategori jimat. Kenapa? Karena kalimat tersebut sakti. Ia
bisa terus menyelip di buku pelajaran SD hingga SMA tanpa saya bisa memahami
bagaimana semiotika dan semantiknya, apalagi mau dirunut dengan metodologi pengetahuan
pesantren seperti sanad (asal-usul), rowi (otorisasi), serta asbabul nuzul
dan asbabul wurud (konteks sejarah).
Saya mulai bisa menemukan rasionalisasi dari kesaktian Bhinneka
Tunggal Ika dan ikrar Sumpah Pemuda 1928 itu dari kisah-kisah orang dekat,
orangtua, kakek, atau guru mengaji di kampung saya di Madura. Perlahan mereka
membuka pikiran saya. Misalnya, ada kisah bahwa orang Madura memiliki tradisi
merantau di luar pulau, melaut mencari ikan hingga Sulawesi, bahkan Nusa
Tenggara Timur.
Sebuah
pertemuan
Kisah-kisah pertemuan orang Madura dengan orang-orang dari pulau
lain di dermaga, di stasiun kereta api, di masjid, di pasar, hingga di lautan
meminimalkan kemusykilan saya tentang bersatunya orang-orang di negeri
kepulauan ini. Teman saya, Ahmad Baso, sambil mengutip sebuah buku, bercerita
bahwa orang Madura itu disebut echte zwervers, pengelana sejati. Namun,
muncul pertanyaan lain, yang sedikit menggelikan: bagaimana orang Madura
bertemu dengan orang-orang dari bahasa, adat, hingga agama berbeda?
Ahmad Baso yang berasal dari Makassar menjawab, awal abad ke-19
ada kamus bahasa Bugis-Makassar-Madura. Artinya, pertemuan budaya itu sudah
berlangsung lama dan begitu dekat. Komunikasi sudah begitu canggih sehingga
dapat menghasilkan kamus bahasa bersama. Tentu ini pencapaian yang luar
biasa.
Kemusykilan-kemusykilan saya tentang keindonesiaan makin
terpecahkan saat saya mulai merantau ke Surabaya, kuliah di IAIN Sunan Ampel.
Saya mulai merasakan keindonesiaan yang sebelumnya hanya ada di buku pelajaran.
Dan, saya pun pelan-pelan mengalami pertemuan yang sudah dialami nenek moyang
orang Madura dengan orang-orang pulau yang jauh.
Prasangka-prasangka khas, seperti agama, suku, dari kampung di
Madura yang homogen mulai hilang saat bertemu dengan orang-orang di Kota
Surabaya yang heterogen, multikultur, multietnis, hingga multiagama. Di Kota
Surabaya, saya tidak lagi menganggap Bhinneka Tunggal Ika sebagai jimat.
Dari sinilah saya lantas menemukan rasionalisasi dari peristiwa
Sumpah Pemuda yang dimotori pemuda dan pelajar dari sejumlah daerah, seperti
Sugondo Djojopuspito dari Jawa, Mohammad Yamin dari Sumatera, dan Johannes
Leimena dari Ambon. Dari sini pula saya meyakini NKRI itu bukan lagi sebuah
kemusykilan, apalagi disebut imagined communities (komunitas imajer) seperti
yang dikatakan oleh Ben Anderson.
Bhinneka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda, dan NKRI adalah fakta
sejarah yang dibentuk melalui dialektika zaman, bukan hasil dari lamunan atau
imajinasi. Rekam jejaknya dapat dilacak dan diverifikasi secara logis ataupun
empiris.
Semua ini bisa terjadi karena adanya pertemuan dan dialog
antarelemen pemuda dari pelbagi pelosok. Saya berhasil meruntuhkan
kemusykilan saya tentang NKRI setelah saya ke Surabaya: kuliah, bertemu, dan
berdialog dengan beragam orang. Tanpa pertemuan-pertemuan itu, tidak mungkin
NKRI menemukan rasionalisasinya dalam diri saya. Bukankah Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 juga baru diputuskan pada kongres kedua, bukan di kongres
pertama? Artinya, sebelum itu terdapat serangkaian pertemuan pemuda yang
cukup intens untuk menyatukan cara pandang antarpemuda.
Dalam peringatan Sumpah Pemuda kali ini, saya tak ingin bicara
muluk-muluk tentang Sumpah Pemuda. Saya hanya ingin fokus pada satu hal:
mengajak para pemuda Indonesia di seluruh Nusantara untuk bersama-sama dengan
Kementerian Pemuda dan Olahraga mengikhtiari semakin banyak pertemuan pemuda;
memperbanyak dialog pemuda lintas suku, ras dan agama; serta menciptakan
sebanyak mungkin momentum keindonesiaan (kebinekaan) pemuda, baik melalui
organisasi kepemudaan, komunitas kepemudaan, maupun kegiatan keolahragaan.
Hanya dengan bertemu kita bisa saling berbagi dan menguatkan
keyakinan kita akan kebinekaan Indonesia. Pertemuan meminimalkan salah paham
dan munculnya paham salah. Saya percaya-dan sudah juga dialami dan dilakukan
oleh para pemuda Indonesia, para pendiri bangsa 87 tahun silam-bahwa untuk
menjadi satu adalah bertemu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar