Apa yang Salah dengan Volunter?
Butet Manurung ; Pendiri dan Direktur SOKOLA-Literasi dan
Advokasi
untuk Masyarakat Adat Indonesia
|
KOMPAS,
03 November 2015
”Kamu perempuan, lahir dan besar di Jakarta, sekolah tinggi,
kenapa mau bekerja keluar-masuk hutan hanya untuk orang-orang seperti
mereka?”
Begitu pertanyaan yang
sering saya dapatkan selama tak kurang dari 15 tahun terakhir ini. Tidak ada
jawaban yang memuaskan mereka. Setiap jawaban malah melahirkan pertanyaan
baru.
”Memangnya di kota tidak bisa berarti?”
”Di hutan, kan, tidak ada mal, sinyal telepon, teve, internet,
bakso?” Atau, ”Hobi, ya, hobi, pekerjaan itu pekerjaan, tidak bisa
disatukan!” Lalu, ”Tidak takut binatang buas, kena malaria, diperkosa, atau
bertemu setan?”
Bekerja di kota, di
mana banyak orang berkompetisi memperebutkan sedikit kesempatan, yang tak
jarang hanya demi kesenangan dan memuaskan pancaindra semata, sampai-sampai
harus sikut kanan-sikut kiri, bagi saya justru lebih menakutkan dibandingkan
kemungkinan bertemu binatang buas di hutan. Tapi, kenyataannya, pekerjaan di
kota memang menjadi incaran banyak orang. Teramat banyak sehingga
kantor-kantor itu harus menyeleksi calon karyawannya habis-habisan dengan
berbagai persyaratan. Pada situasi ini tampak sekali kalau kita yang memburu
pekerjaan, bukan pekerjaan yang membutuhkan kita.
Masih ingatkah
bagaimana rasanya langkah jadi ringan dan senyum terkembang seharian setelah
bantuan kecil yang kita lakukan tulus untuk orang lain? Misalnya, setelah
membantu seorang nenek menyeberang di jalanan yang ramai penuh mobil, atau
saat membantu anak tetangga yang kesulitan menyelesaikan pekerjaan rumahnya?
Sulit digambarkan
perasaan saya ketika mendengar kata pertama yang berhasil dibaca oleh murid
saya, lalu di lain waktu melihatnya membantu orangtuanya di pasar menghitung
hasil penjualan produk hutannya. Bantuan kecil kita bisa jadi besar maknanya
bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Saya merasa dibutuhkan. Butuh dan
dibutuhkan menghasilkan perasaan yang berbeda. Letaknya jauh di kedalaman
hati, membuat kita merasa berharga, menghargai hidup dan akhirnya bersyukur.
Kerja suka dan rela
Orang banyak
mengatakan kegiatan ini sebagai voluntary service. Voluntary biasa
diterjemahkan sebagai sukarela, sedangkan service dalam makna luas berarti
pelayanan, bakti, jasa, atau pengabdian. Maka, mari kita artikan voluntary
service sebagai pekerjaan (kalau memang disebut pekerjaan) yang dilakukan
bukan hanya dengan penuh suka, juga rela; bukan untuk mencari keuntungan
pribadi, tetapi memberi apa yang kiranya dibutuhkan orang.
Indonesia punya 13.000
lebih pulau dan tak kurang dari 250 juta jiwa penduduk. Dengan luas hampir 2
juta kilometer persegi, tentu ada banyak peluang yang terbuka. Apalagi kalau
kita baca surat kabar, rasanya tak pernah selesai persoalan di negeri ini.
Bagaimana kita bisa terlibat?
Kita hanya perlu lebih
banyak melihat dan mendengar langsung. Langsung itu artinya dari luar layar
monitor HP, tablet, atau laptop-mu! Ada banyak hal yang tak berada di
tempatnya. Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati. Rendah hati
artinya kita datang dengan pertanyaan, bukan jawaban. Sekalipun ada perasaan
dibutuhkan, kita datang bukan untuk jadi pahlawan, bukan untuk menggurui,
tapi mempelajari, mengenali, sambil mencari apa yang bisa kita bantu. Lalu
biarkan hatimu mengatakan apa yang harus kamu lakukan.
Konon, ada tiga
kekuatan dahsyat, mengutip Pramoedya dalam novelnya Rumah Kaca, ”Orang bilang
ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang bisa timbul pada samudra, pada gunung
berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.” Saya
setuju. Sekali kita menentukan tujuan, biarkan ia jadi kekuatan yang
menggerakkan.
Ada lagi model
pertanyaan yang sering saya jumpai, ”Kak,
saya suka bertualang, saya juga ingin mengajar di rimba, tapi saya takut
gelap. Bagaimana, ya?” Atau, ”Kak,
saya sangat ingin mengajar anak-anak jalanan, tapi orangtua ingin saya jadi
PNS.” Menghadapi pertanyaan itu, saya biasanya senyum-senyum saja. Atau
kalau sudah terpojokkan, saya bilang, ”Bereskan
dulu tapi-mu, ya, setelah itu baru kita ngobrol lagi.”
Rasanya sulit
menumbuhkan kekuatan pikiran dan hati kita kalau kita sendiri sudah membatasi
diri kita dengan banyak ”tapi”. Akan selalu ada alasan kalau kita fokus pada
kalimat di belakang kata ”tapi”. Karena bisa dibayangkan apa yang akan
terjadi, bukan? Bahwa dia tidak (akan) berusaha ke rimba atau apa pun
mimpinya karena dia punya banyak ”tapi”. Bagaimana kalau kalimat ”tapi” itu
kita balik? ”Kak, sebenarnya orangtua saya ingin saya jadi PNS, tetapi saya
sangat ingin mengajar anak-anak jalanan.” Dan, ”Kak, saya itu sangat takut
gelap, tapi saya suka bertualang dan ingin mengajar di rimba!”
Bekerja, apa pun itu,
termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri
sendiri, menghormati hidup kita sendiri. Bahwa kita begitu berharga,
bermanfaat, dan berarti, sehingga kita ingin membagikan anugerah yang kita
punya kepada orang lain melalui segala daya dan kreativitas. Melalui
penghargaan kepada diri sendiri, kita akan menemukan banyak hal menarik dan
berguna yang bisa dilakukan. Ini memang terlihat seperti pengabdian terhadap
orang lain. Tapi tidak, karena sebenarnya kita mengabdi kepada kemanusiaan
yang sejati.
Menghargai diri sendiri
Pertanyaan yang lain, ”Saya ingin bergabung. Saya ingin bekerja
sosial, mungkin satu atau dua tahun, tapi setelah itu saya akan bekerja
serius. Saya tak munafik, hidup tentu butuh uang.”
Kalau memang begitu,
mengapa tak bekerja serius dulu sampai punya cukup banyak uang lalu baru
bekerja sosial sehingga tidak perlu lagi mencemaskan keuangan? Satu hal yang
mengganjal, bahwa sering kali kerja sukarela tidak dianggap sebagai pekerjaan
serius. Mungkin karena pekerjaan serius itu didefinisikan sebagai rutinitas
kantor dari Senin sampai Jumat, berpakaian rapi, dan segala formalitas
lainnya. Padahal, kerja sukarela tak kalah seriusnya, sama-sama menguras
pikiran dan tenaga. Hanya karena formalitas yang berbeda, bukan berarti
keduanya berlawanan.
Bagaimana dengan uang?
Jutaan rupiah yang sudah habis untuk biaya sekolah, ditambah lagi tahun-tahun
yang telah dilewati dengan penuh harap, sering kali dianggap sebagai piutang
yang pada saatnya nanti harus bisa dipetik hasilnya. Setidaknya balik modal,
syukur-syukur kalau bisa kembali dengan berlipat ganda. Ah, mari berhenti
menyogok masa depan. Sekolah tidak ada hubungannya dengan banyaknya gaji yang
akan kita terima. Demikian halnya prestasi (achievement), tidak selamanya
diukur dengan uang.
Teman saya, lulusan
S-2 dari universitas negeri di Jakarta yang juga bekerja di hutan, pernah
ditanyai seorang wartawan yang berkunjung ke rimba dengan penuh apriori,
”Berapa gaji yang kamu terima untuk pekerjaan gila seperti ini? Kalau tidak
besar, mana mungkin ada yang mau?”
Teman saya menjawab
dengan jengkel, setengah bercanda, ”Kalau untuk mencari banyak uang, saya
mendingan piara tuyul saja, Pak, bukan bekerja seperti ini. Uang bukan tujuan
saya.” Si penanya tentu tidak puas, tetapi bagaimana menjelaskan keindahan
lautan kepada orang yang tidak pernah tahu apa itu laut.
Lagi-lagi memang
kembali kepada tujuan dan keberanian kita menjalani tujuan itu. Keberanian
untuk menjadi berbeda dengan ribuan orang yang mengantre pekerjaan di kota.
Pikiran-pikiran kami sering dianggap ajaib oleh kebanyakan orang. Sering juga
setelah beberapa waktu bercakap-cakap mereka seperti disadarkan bahwa mereka
juga ingin punya perasaan-perasaan seperti itu: melakukan hal yang disenangi,
merasa bermanfaat.
Kekayaan batin akan
senantiasa membuat kita bergairah. Namun, tentu gairah akan berlipat ganda
kalau kita bisa memberi manfaat bagi orang lain.
Kerja sukarela tak
hanya bisa dilakukan di hutan, di dunia politik, atau di medan perang, tapi
bisa di mana pun. Tidak perlu bermimpi menyelamatkan bumi karena itu tugas
Superman dan James Bond. Tak juga harus baik hati selemah Cinderella yang
mengharap uluran Ibu Peri karena yang kita perlukan justru kekuatan dan
keberanian. Tidak juga sibuk cari pengakuan atas yang kita lakukan karena
yang kita cari adalah penghargaan kita terhadap diri sendiri. Tidak juga
harus mengikuti petunjuk orang-orang terkemuka yang seolah berhati peri
karena dalam beberapa kasus yang menumbalkan rakyat negeri ini ternyata malah
didalangi mereka. Tak juga harus sepakat dengan saya.
Seperti kita tahu,
setiap orang memiliki ketertarikan, prioritas, dan kemampuan sendiri-sendiri.
”Jadilah diri sendiri”, sering sekali dikumandangkan di mana- mana. Sekali
lagi, taruh gadget- mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan
hatimu. Sebab, kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan
jika suatu hari, di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan baru
tersadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar