TNI dan Rasionalitas Demokrasi
Achmad Soetjipto ; Mantan KSAL dan Ketua Persatuan
Purnawirawan AL
|
KOMPAS,
03 Oktober 2015
Ekonomi nasional dalam masalah.
Banyak indikator untuk menyebut demikian. Sangat disayangkan para politisi
tidak cukup tanggap membaca kegelisahan rakyat luas.
Di saat rakyat sedang hidup sulit,
para elite politik justru mempertontonkan konflik kekanakan tak berkesudahan.
Banyak yang menyebut situasi ekonomi sekarang hampir mendekati krisis 1998.
Lantas, jika demikian, apakah kita masih patut membanggakan demokrasi yang
ternyata seremonial belaka? Kenyataan bahwa demokrasi belum mampu melahirkan
elite politik berjiwa negarawan adalah hal yang sungguh memprihatinkan.
Peradaban
demokrasi
Saat ini, Indonesia seperti di simpang
jalan. Pada kasus di sejumlah negara yang mengalami situasi serupa memang muncul beberapa perubahan. Thailand
dan Korea Selatan pada krisis 1997 adalah contoh negara yang mampu
memanfaatkannya untuk memperkuat ekonomi. Rusia menjadikan krisis sebagai
momentum memperkuat pengaruh militer. Jepang mengevaluasi kembali doktrin
pertahanan dengan asumsi perebutan ekonomi tidak senantiasa dapat
diselesaikan dengan negosiasi. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah demokrasi
akhirnya jadi jebakan?
Kita punya pengalaman mengelola
krisis 1998. Pelajarannya, kelambanan merespons krisis pada titik tertentu
dapat berakibat fatal. Ini karena potensi konflik Indonesia lebih rumit
dibandingkan negara lain.
Heterogenitas masyarakat yang unik, penyebaran penduduk di ribuan
pulau, kepincangan distribusi kemakmuran
yang berakibat kesenjangan sosial yang tajam, dan sejarah konflik yang
belum tuntas hingga akar adalah beberapa hal yang bisa menjadi pemicu.
Para pendiri republik telah
menetapkan visi tentang kesatuan bangsa ini. Amat disayangkan hingga lebih
dari 70 tahun usia republik ini, kesatuan negara-bangsa belum menemui titik
final. Terasa semakin langka menemukan pemimpin yang tulus merajut konsensus
dan bersikap sebagai solidarity maker.
Pada kesempatan di mana kepentingan
primordialnya terusik, daerah dengan mudah mengungkit kesatuan RI. Dalam
konteks ini, demokrasi makin jauh untuk berperan besar memformulasi
terbangunnya negara-bangsa.
Kemandekan pengembangan demokrasi
secara otomatis juga menghambat kemajuan peradaban bangsa. Kemandekan juga
berarti memelihara berbagai ketidakpuasan terhadap negara-bangsa, memberi
ruang bagi tumbuh suburnya kegelisahan dan kegamangan. Jika kegelisahan dan
ketakpuasan bermetamorfosis jadi kekalapan dan perlawanan, mau tak mau harus
diendapkan dengan cara apa pun.
Pihak yang paling punya
kualifikasi untuk ini adalah militer. Di negara mana pun, jika sudah pada
situasi darurat, militer pasti bertindak, tak terkecuali di Indonesia.
Terlebih TNI memiliki sejarah sebagai tentara pejuang dengan kredo penyelamat
bangsa dan NKRI harga mati adalah doktrin tertinggi.
Rasionalitas
madani
Keterlibatan militer dalam domain
sipil senantiasa mengundang kecaman. Bagi kalangan yang menganggap demokrasi adalah segalanya, masuknya
militer ke wilayah yang jadi wewenang sipil adalah bentuk pelanggaran serius
terhadap demokrasi. Adapun konteks situasi, keperluan bahkan manfaatnya sama sekali tidak dilihat.
Di sejumlah negara maju, kebuntuan
dan jebakan demokrasi diselesaikan dengan cara demokrasi. Namun, di negara
yang demokrasinya belum matang, jalan buntu demokrasi biasanya diikuti dan
berakhir dengan chaos. Untuk menghindarkan Indonesia dari ancaman tersebut,
kuasa sipil perlu merumuskan pemecahan masalah sebagai antisipasi buntunya
demokrasi. Sipil tidak perlu takut
militer akan terlibat jika memang pemecahan masalah tersebut cukup memadai.
Sebaliknya sipil juga jangan terlalu cari mudahnya saja dengan
sedikit-sedikit melibatkan militer.
Banyak kalangan berpendapat
tindakan seperti itu lambat laun akan mencederai demokrasi dan dampaknya
bahkan jauh lebih besar daripada chaos akibat jalan buntu demokrasi. Chaos
melibatkan partisipasi massa aktif dan masif. Walau jatuh korban, terbuka
peluang lahir perubahan. Sementara jika elite sipil berkonspirasi dengan
militer, korbannya keseluruhan tatanan masyarakat sipil, masyarakat madani.
Apakah dengan demikian militer menjadi hantu yang menakutkan bagi demokrasi?
Harus dipahami dan diingat, meski
dalam peran yang berbeda, sesungguhnya militer pilar penting demokrasi.
Kesediaan militer meninggalkan politik adalah kontribusi terbesar dalam
penegakan demokrasi. Sebaliknya sipil pun mestinya berlaku serupa dengan
memberikan militer apa yang menjadi haknya. Demokrasi bisa tegak apabila terbangun keseimbangan
di antara keduanya. Masyarakat madani dan militer harus sama-sama kuat untuk
dapat menjaga satu sama lain.
Studi konsolidasi demokrasi di
beberapa negara menunjukkan, sipil yang lemah akan mengundang intervensi
militer. Sipil yang lemah ditandai belum mapannya demokrasi sebagai budaya,
pelembagaan konflik produk pemilu, etos dan mentalitas birokrasi yang rendah,
ketidakmampuan membangun konsensus, dan ketiadaan visi tentang masa depan bangsa. Sementara jika militer
lemah akan mudah diperalat kekuatan politik sipil untuk menindas lawan
politiknya.
Konsolidasi
demokrasi
Semua buku tentang demokrasi
menuliskan pemilu adalah sarana menjaring partisipasi publik, dan inti dari
konsolidasi demokrasi adalah bagaimana membangun supremasi sipil. Kehendak publik
untuk sejahtera dan menikmati kemajuan di berbagai bidang jadi ukuran
faktual. Barometer psikologisnya adalah tumbuhnya kebanggaan sebagai warga
negara dan kepercayaan terhadap pemimpin.
Substansi konsolidasi demokrasi
memproduksi sistem yang mampu menyokong penguatan nasional di berbagai
sektor, terutama di demokrasi ekonomi. Di sinilah pentingnya sipil memiliki
kemampuan "membangun konsensus" hendak ke mana Indonesia 30 atau
100 tahun mendatang. Semua elemen masyarakat harus memahami konsensus ini dan bersama-sama mewujudkannya. Jika
kapasitas terbatas, kearifan dalam menetapkan prioritas jadi penting.
Beberapa prioritas penting ini misalnya sektor pangan, pendidikan, kesehatan,
dan pertahanan.
Karena itu, isu penurunan anggaran
pertahanan tahun depan menimbulkan tanya tentang derajat kearifan dalam
menetapkan skala prioritas. Alasan krisis dan anggaran terbatas sulit
diterima karena dalam kondisi krisis sektor-sektor mendasar justru harus
diperkuat. Namun, yang menakjubkan, meskipun kekuatan ekonomi negara melemah,
justru alokasi anggaran parlemen diperbesar, seperti rencana peningkatan
tunjangan anggota dan rencana pembangunan kompleks DPR yang baru. Kebijakan
anggaran yang mengutamakan keperluan untuk menopang transaksi politik
daripada memperkuat sektor mendasar makin menunjukkan ketidakjelasan visi.
Ini jadi bukti berikutnya bagaimana konsolidasi demokrasi belum mampu
menciptakan sistem yang kuat dan proporsional.
Pada akhirnya bisa saja muncul
pemikiran di kalangan perwira bahwa untuk menggaransi kepentingan militer tak
bisa lagi berharap dari kesadaran visional politisi sipil. Tampaknya militer harus proaktif menggelar
negosiasi dengan politisi jika tidak ingin marjinalisasi sektor pertahanan
berlanjut. Pertimbangan ini menjadi penting karena setelah kekuasaannya
dipereteli, sampai kini TNI belum mendapat kompensasi semestinya untuk
mewujudkan TNI sebagai militer profesional.
Belakangan kita membaca di
berbagai media bagaimana militer mengeluh soal alat utama sistem
persenjataan. Ini belum pernah terjadi. Biasanya militer tampil di media
untuk mengancam siapa pun dan negara mana pun yang coba-coba menjamah kedaulatan dan keamanan negara. Jangan
sampai karena ketidakmampuan sipil membangun rasionalitas demokrasi, militer
bertindak dengan alasan meluruskan visi besar negara-bangsa. Berangkat dari
tradisi Jenderal Sudirman, militer senantiasa terpanggil dan punya cara
tersendiri untuk menyelesaikan masalah bangsa dari perspektif mereka.
Masyarakat sipil harus menyadari kuat soal ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar