Kebakaran Hutan dan Kejahatan Korporasi
Marison Guciano ; Investigator Senior Yayasan Scorpion
Indonesia;
Direktur Eksekutif Indonesian
Friends of The Animals;
Juru Kampanye Sekretariat Kerja
Sama Pelestarian Hutan Indonesia
|
KOMPAS,
03 Oktober 2015
Kepolisian RI telah menetapkan 140
tersangka, tujuh di antaranya petinggi perusahaan, dalam kasus kebakaran
hutan dan lahan yang kemudian menimbulkan bencana kabut asap dalam sebulan
terakhir (Kompas, 17/9).
Mereka dijerat UU Perkebunan, UU Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Kehutanan dengan ancaman kurungan
maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. Jumlah tersangka pelaku pembakaran hutan
dan lahan diprediksi bertambah karena polisi masih memeriksa puluhan perusahaan
yang diduga melakukan praktik pembakaran hutan dan lahan. Jika terbukti, izin
konsesi perusahaan terancam dicabut dan dibekukan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (LHK) menyebutkan, indikasi areal kebakaran hutan dan
lahan-hingga 9 September 2015-di Kalimantan dan Sumatera seluas 190.993
hektar. Luasan tersebut terdiri dari 103.953 hektar di lahan pemanfaatan,
29.437 hektar di lahan perkebunan dari pelepasan, dan 58.603 hektar di lahan
bidang tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) memprediksi, kerugian ekonomi akibat bencana kabut asap yang
terjadi karena kebakaran hutan dan lahan di beberapa provinsi di Indonesia
pada 2015 bisa melebihi angka Rp 20 triliun.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, yang kemudian menimbulkan
bencana kabut asap, bukan yang pertama kali. Dalam 20 tahun terakhir, bencana
serupa hampir setiap tahun terjadi.
Warga negara Malaysia dan
Singapura pun menyindir Indonesia dengan kabut asapnya melalui media sosial
dengan tagar #terima kasih Indonesia. Malaysia dan Singapura adalah dua
negara tetangga yang rutin mendapat kiriman kabut asap akibat kebakaran hutan
dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.
Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan, 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan merupakan faktor yang
disengaja. Citra satelit yang diambil
NASA membuktikan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera
sekarang merupakan kesengajaan karena areal hutan yang dilalap api memiliki
pola. Motifnya jelas! Membakar hutan
dan lahan dinilai sebagai cara paling mudah, murah dan cepat untuk
membersihkan lahan (land clearing) meski dampak kerusakannya sangat dahsyat
dan tak terperikan.
Data Kementerian LHK dan Polri
menyebutkan, ada ratusan kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di area
konsesi perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang kini sedang mereka
tangani. Di Riau terdapat 37 kasus, Sumatera Selatan 16 kasus, Kalimantan
Barat 11 kasus, dan Kalimantan Tengah
121 kasus.
Tak
ternilai
Dalam kasus kebakaran hutan dan
lahan, negara seolah tak berdaya menghentikan kejahatan korporasi yang-dengan
kekuatan uang-berulang kali lolos dari jerat hukum. Otak pembakaran hutan dan
lahan tak pernah tersentuh. Yang tertangkap dan divonis bersalah oleh
pengadilan hanya pelaku "ecek-ecek" atau masyarakat biasa yang
sering kali dijadikan "tumbal" korporasi.
Korporasi mampu membuktikan
dirinya jauh lebih kuat-bahkan daripada negara sekalipun-untuk terus
melanggengkan kejahatannya dan memegang kendali atas sumber daya hutan dan
lahan yang semestinya dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Data Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia menyebutkan, pada 2013 dari 117 perusahaan yang mereka laporkan
sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan di Riau, hanya delapan perusahaan
yang ditindaklanjuti dan satu yang divonis.
Kerugian yang ditimbulkan akibat
kebakaran hutan dan lahan tak terhitung nilainya. Ratusan ribu orang
menderita infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA). Sebagian besar adalah anak-anak yang memang rentan terserang
ISPA. Terbaru, bayi perempuan mungil berusia kurang dari satu tahun dari Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, meninggal karena ISPA yang disebabkan
kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Hingga saat ini,
bencana kabut asap telah merenggut tiga korban jiwa.
Selain merenggut korban jiwa dan
menurunkan kesehatan masyarakat akibat ISPA, kebakaran hutan dan lahan juga
membumihanguskan habitat satwa liar.
Habitat gajah di Taman Nasional
Sembilang dan Suaka Marga Satwa Padang Sugihan di Kabupaten Banyuasin,
Sumatera Selatan, hangus terbakar. Di
Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Tengah, karena habitatnya diselimuti kabut
asap, seekor anak orangutan terjebak di areal perkebunan sawit yang terbakar
karena kegiatan membersihkan lahan. Bayi orangutan lalu diselamatkan warga
dan dibawa ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
Ke depan, karena berkurangnya
habitat, intensitas konflik antara satwa liar dan manusia diprediksi kian
meningkat. Data Institute Hijau Indonesia menyebutkan, 12 juta hektar kawasan
hutan Indonesia sebagai rumah bagi jutaan keanekaragaman hayati telah beralih
fungsi menjadi perkebunan sawit.
Kebakaran hutan dan lahan yang
membumihanguskan habitat satwa liar juga menyebabkan hilangnya zat hara, musnahnya
jasad renik dan binatang tanah, rusaknya tekstur tanah, naiknya suhu global,
berkurangnya keragaman hayati, dan rusaknya siklus hidrologi. Kerugian korban jiwa dan ekologi akibat
kebakaran hutan dan lahan tentu tak ternilai dibandingkan kerugian di sektor
ekonomi, pariwisata, dan potensi yang hilang dari lumpuhnya penerbangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar