Soal Impor Beras 1,5 Juta Ton
Bustanul Arifin ; Guru Besar Universitas Lampung;
Ekonom Senior Indef; Ketua Forum
Masyarakat Statistik
|
KOMPAS,
03 Oktober 2015
Rencana impor beras 1,5 juta ton
yang disampaikan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di Dubai, saat transit dalam
perjalanan ke Amerika Serikat (Kompas, 25 September 2015), sebenarnya tidak
terlalu mengejutkan.
Para analis dan ekonom pertanian
telah memperkirakannya jauh-jauh hari, terutama setelah kualitas data
produksi semakin sulit diverifikasi. Dampak dari buruknya akurasi data tentu
tidak hanya pada kredibilitas kebijakan, tetapi jauh sampai pada
kesejahteraan petani dan masyarakat umum. Tulisan ini menjelaskan tafsir
kebijakan rencana impor beras tersebut, setidaknya meliputi akurasi data
estimasi produksi, asimetri informasi harga dan struktur pasar beras dalam
negeri, serta inkonsistensi kebijakan perberasan secara umum.
Akurasi
data
Pertama, data produksi memerlukan
kalibrasi dan rekalibrasi, setidaknya dengan data konsumsi. Pada awal Juli
2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan secara resmi bahwa angka
ramalan pertama produksi padi 2015 mencapai 75,55 juta juta ton gabah kering
giling atau mengalami peningkatan 6,65 persen dibandingkan produksi pada 2014
yang mencapai 70,8 juta ton. Angka tersebut setara dengan 41 juta ton beras.
Jika angka konsumsi beras 114,12 kilogram (kg) per kapita per tahun, total
konsumsi beras untuk 253 juta penduduk sekitar 30 juta ton. Artinya,
Indonesia seharusnya telah mencapai target surplus beras lebih dari 10 juta
ton, overestimasi yang sulit diverifikasi.
Dengan metodologi estimasi yang
sama-sama fragile, tahun 2014 pun Indonesia mengalami surplus 8,8 juta ton,
tahun 2013 surplus 9,5 juta ton, dan seterusnya ke belakang. Seandainya
surplus beras itu benar adanya, stok beras yang dikuasai Perum Bulog, yang
beredar di tengah masyarakat, dan yang dijadikan stok tahun berjalan (carry-over stock) seharusnya amat
besar.
Fakta yang sebenarnya terjadi di
lapangan adalah bahwa estimasi data produksi padi, jagung, dan kedelai
dilakukan bersama oleh BPS dan Kementerian Pertanian. Angka produksi adalah
perkalian data produktivitas (ton/hektar) dengan luas panen (hektar). Data
produktivitas adalah aproksimasi sampel lahan petani 2,5 meter x 2,5 meter
(ubinan) yang dilakukan petugas lapangan BPS bekerja sama dengan kantor
cabang dinas pertanian tanaman pangan atau dengan penyuluh pertanian lapang.
Data luas panen diperoleh bukan
dari pengukuran, melainkan dengan metode kira-kira sejauh mata memandang (eye estimate) menggunakan sistem blok
pengairan dan lain-lain. Bias data dapat terjadi pada metode ubinan yang
tidak bebas dari sampling error dan
non-sampling error ataupun pada
metode eye estimate yang tidak
lepas dari kepentingan politik dan birokrasi. Apalagi sistem pelaporan data
dari lapangan akhir-akhir ini telah melibatkan petugas yang tidak memiliki
kompetensi khusus melakukan pengukuran variabel produksi pangan.
Solusi yang dapat ditempuh adalah
bahwa data produksi perlu dikalibrasi dengan data konsumsi beras yang
menunjukkan penurunan secara perlahan, tetapi pasti. Hasil survei sosial
ekonomi nasional menunjukkan, konsumsi beras langsung tahun 2014 menurun
menjadi 85,04 kg/kapita dari 90,10 kg/kapita pada 2011. Konsumsi beras oleh
rumah makan dan industri makanan-minuman menurun menjadi 19,32 kg/kapita pada
2014 dari 20,51 kg/kapita pada 2011.
Ditambah konsumsi beras di hotel,
restoran, dan lain-lain, tingkat konsumsi beras pada 2014 tercatat 114,13
kg/kapita, angka yang cukup realistis dibandingkan dengan angka 139,15
kg/kapita yang selama ini digunakan. Langkah rekalibrasi boleh juga dilakukan
dengan data hasil audit lahan sawah dan hasil pendataan industri penggilingan
padi walau survei tidak dilakukan setiap tahun.
Asimetri
informasi harga dan struktur pasar
Kedua, pasar beras di dalam negeri
masih diliputi asimetri informasi harga dan struktur pasar yang jauh dari
prinsip-prinsip persaingan sempurna. Data dari Kementerian Perdagangan
menunjukkan bahwa harga eceran beras premium di pasar dalam negeri per 25
September masih cukup mahal, Rp 10.280 per kg. Harga itu hampir dua kali
lipat dari harga beras internasional untuk kualitas sejenis (Thailand 25
persen broken) yang tercatat 362 dollar AS/ton atau Rp 5.430 per kg atau
bahkan kualitas lebih baik (Vietnam 5 persen broken) yang tercatat 340.1
dollar AS per ton atau Rp 5.100 per kg.
Sementara itu, harga jual gabah
petani masih cukup "murah", Rp 4.100 per kg, walau lebih mahal
dibandingkan harga referensi pembelian pemerintah Rp 3.700 per kg gabah
kering panen dengan kadar air 25 persen dan kadar hampa/kotoran 25 persen
maksimum. Perbedaan harga yang begitu besar antara harga internasional dan
harga dalam negeri serta antara harga tingkat konsumen dan harga tingkat
produsen adalah persoalan asimetri informasi yang perlu mendapat perhatian
memadai.
Pada saat musim paceklik atau pada
saat petani sedang menjadi konsumen beras, harga eceran beras di dalam negeri
terlalu mahal sehingga sulit dijangkau oleh petani, terutama mereka yang
berada pada kelompok miskin. Pemerintah merasa perlu untuk membantu kelompok
prasejahtera melalui paket kebijakan ekonomi tanggal 9 September 2015 untuk
menambah penyaluran beras untuk keluarga prasejahtera (sekarang bernama
rastra, perubahan dari raskin) sampai bulan ke-13 dan ke-14. Jumlah stok
beras yang dikuasai Bulog saat ini 1,5 juta ton-1,7 juta ton, jumlah yang
tidak terlalu aman jika untuk mengantisipasi lonjakan harga eceran beras pada
November, Desember dan Januari 2016 karena dampak kekeringan El Nino. Indeks El
Nino yang saat ini telah mencapai 1,8 derajat celsius (kategori moderat)
masih mungkin naik jika sampai akhir Oktober belum turun hujan secara normal.
Solusi yang dapat ditempuh adalah
mempertegas penugasan negara kepada Perum Bulog untuk melakukan pengadaan
gabah dan beras dalam negeri, tidak secara ad hoc, tetapi lebih permanen.
Kewajiban pelayanan publik (PSO) bagi Bulog tidak hanya sebatas penambahan
anggaran untuk rastra, tetapi juga pada fleksibilitas pembelian gabah petani.
Bulog tidak boleh kalah gesit dari
para tengkulak yang telah menjalankan fungsi door to door mencari gabah
petani sampai ke pelosok, terkadang menunggu di pinggir pematang sawah.
Pemerintah juga perlu lebih tegas untuk segera mendirikan kelembagaan Badan
Pangan Nasional sebagaimana amanat Pasal 126-129 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2012 tentang Pangan.
Inkonsistensi
kebijakan
Ketiga, rencana impor beras 1,5
juta ton dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar pada akhir tahun ini adalah satu
lagi bukti inkonsistensi kebijakan perberasan nasional. Apa pun alasannya,
kredibilitas kebijakan pemerintah telah dipertaruhkan walaupun anggaran
Kementerian Pertanian pada 2015 telah ditambah dua kali lipat menjadi Rp 32,7
triliun.
Tambahan anggaran sebanyak itu
untuk rehabilitasi jaringan irigasi tersier 1,1 juta hektar lahan (Rp 1,32
triliun), pengadaan benih untuk 12.000 hektar lahan tebu (Rp 1,18 triliun),
bantuan pupuk untuk 3,6 juta hektar padi dan jagung (Rp 2,33 triliun), dan
lain-lain. Rehabilitasi jaringan irigasi serta pencetakan sawah baru dan
ekspansi areal panen di luar Jawa seharusnya mendapat prioritas apabila aspek
resiliensi, mitigasi risiko, dan pemerataan pembangunan dijadikan
pertimbangan. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa pada keadaan normal,
tambahan anggaran untuk investasi di infrastruktur dan proyek fisik lain baru
akan memperlihatkan hasil pada tahun ketiga.
Rencana impor beras perlu dilihat
sebagai alternatif terakhir dan bukan sebagai rutinitas kebijakan, apalagi
sampai terjadi adiksi. Fenomena ketergantungan impor kedelai seharusnya
dijadikan pelajaran amat berharga bahwa suatu sistem produksi yang mapan pun
dapat roboh dan rusak hanya karena godaan harga murah kedelai impor dari
Amerika Serikat. Kesejahteraan petani Indonesia dan masyarakat umum tidak
dapat sepenuhnya diserahkan pada pasar pangan global, apalagi pasar yang
terdistorsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar