Budaya Babak Belur
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS,
03 Oktober 2015
Tanpa dukungan kekuasaan yang kuat
dan tulus, kebudayaan terancam babak belur, bangkrut, dan longsor. Lalu,
lahirlah "bangsa malin kundang" yang durhaka, tega menghancurkan
rahim ibunya dan membakar budayanya. Ironisnya, bangsa malin kundang justru
bangga menjadi "manusia-manusia baru" bermental serba penakluk,
penghancur, oportunistik, dan penggasak apa saja atas nama kebebasan dan
kerakusan.
Tanah air, bangsa, nilai-nilai
budaya lokal, keadaban, tradisi, sejarah, narasi-narasi leluhur, dan
identitas diri tinggal akhirnya jadi kerak yang menumpuk di ceruk benak.
Semuanya telah dibakar demi sesembahan atas nilai-nilai baru/asing destruktif
yang mengatasnamakan kepentingan kuasa kapital, produksi, dan konsumsi.
Investasi modal asing dan pertumbuhan ekonomi dianggap jauh lebih penting
daripada budaya dan ideologi.
Namun, ironisnya, semua impian itu
nihil karena yang muncul hanyalah kemiskinan dan kehancuran kebudayaan
bangsa. Negara tanpa kebudayaan terbukti gagal membangun peradaban dan
kesejahteraan.
Selama ini, pemerintah masih
terperangkap pemahaman klasik: kebudayaan bisa hidup sendiri tanpa pengayoman
(regulasi, politik anggaran, dan kebijakan operasional). Pemerintah masih
memandang kebudayaan sebagai entitas nilai yang berada di kotak museum dan
tidak berhubungan dengan kesejahteraan publik pendukungnya.
Hal lain yang tak kalah membikin
miris adalah makin banyak produk kebudayaan lokal yang nyaris lenyap atau
bahkan sudah punah. Sebut saja bahasa daerah, kesenian tradisional, upacara
adat, dan sistem kepercayaan (budaya spiritual). Adapun budaya modern, karya
masyarakat, juga kurang mendapatkan ruang aktualisasi. Budaya massa/poplah
yang dibiarkan dominan.
Problem klasik di atas hanya
contoh kecil dari sikap abai pemerintah terhadap kebudayaan dan para
pendukungnya. Ini karena belum dimilikinya strategi kebudayaan yang jelas
oleh pemerintah dan penyelenggara negara. Pengelolaan kehidupan
bernegara-bermasyarakat seperti asal jalan, tanpa panduan kebudayaan, justru
mengikuti arus utama: ekonomi sebagai panglima. Ketika ekonomi jadi ukuran
dominan dan determinan, perhitungan yang digunakan hanyalah untung dan rugi.
Celakanya, ketika datang
keuntungan, pihak yang menikmati hanyalah elite politik dan elite ekonomi.
Sementara ketika muncul kerugian, rakyat harus turut menanggung. Misalnya
dengan keikhlasan hidup pontang-panting di tengah "pertumbuhan ekonomi
yang melambat", sebuah istilah lain dari krisis ekonomi. Atau
terlucutinya identitas kebudayaan dan karakter bangsa.
Tata
kelola kebudayaan
Negara tanpa strategi kebudayaan
adalah negara tanpa masa depan peradaban dan kesejahteraan. Ia hanya menjadi
subordinasi dari kuasa ekonomi dan politik bangsa asing. Ini tak beda dengan
negara terjajah.
Bangsa pun mengidap mental
pekathik (abdi dalam sistem kekuasaan hegemonik-absolut). Tugas pekathik
hanyalah patuh kepada tuannya (penguasa politik dan ekonomi serta kaum
pemodal). Pekathik tak pernah sadar siapa dirinya, tak punya identitas,
karakter, martabat, dan masa depan. Ia bekerja seperti mesin yang hanya bisa
bilang sendika ndara, injih ndara tuan juragan (siap, baginda).
Orang-orang yang berjarak dengan
praktik kebudayaan di masyarakat mungkin saja tak menganggap penting UU
Kebudayaan. Namun, mereka yang tahu persis "babak belur" kebudayaan
pasti berpendapat sebaliknya.
Kebudayaan tidak hanya berkiatan
dengan nilai, ide, kreativitas, tetapi juga produk budaya tangible (benda)
dan intangible (tak benda), sistem perilaku, ekspresi, hak cipta,
kelembagaan, dan tata kelola yang melibatkan individu, masyarakat, dan
negara. Pada konteks nilai, ide, dan kreativitas, kebudayaan tidak
membutuhkan UU kecuali dukungan.
Namun, UU dibutuhkan dalam tata
kelola kebudayaan: melindungi, melestarikan, mengembangkan, serta
memanfaatkan bagi tujuan kemuliaan/kesejahteraan manusia dan membangun
peradaban bangsa. Di dalamnya termasuk perlindungan atas hak intelektual, hak
berkebudayaan, hak berekspresi secara estetik dan non-estetik, dan lainnya.
Kebudayaan tak bisa hadir
(dibiarkan) sendirian di wilayah publik ketika berhadapan dengan kuasa
politik, sosial, dan ekonomi. Kebudayaan terlalu ranum dan lunak ketika
berhadapan dengan kekuasaan predatoris, baik level individu, kelompok, maupun
lembaga yang bersikap anti kebudayaan. Kebudayaan juga terlalu rapuh
berhadapan dengan bakteri dan virus mematikan yang diproduksi kekuasaan anti
kebudayaan, baik atas nama politik, ekonomi, maupun agama. UU Kebudayaan
protektor yuridis yang amat dibutuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar