Relawan, Political Appointee,
dan Sistem Presidensial yang Efektif
Ahmad Qisai ; Dosen Program Pascasarjana Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 07 Oktober 2015
Salah satu
faktor kunci kemenangan Jokowi dalam Pemilihan Umum Presiden 2014 adalah ada
jejaring kuat dan kerja keras para relawan di tengah keengganan partai
pengusung Jokowi untuk bekerja keras dan memastikan kemenangan Jokowi
(Mietzner, 2015).
Mereka kebanyakan
adalah kalangan kelas menengah yang tidak menginginkan Prabowo menang pemilu
presiden dan merasa bahwa Jokowi lebih cocok untuk memimpin keberlanjutan
proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dan sistem presidensialisme yang
efektif.
Kerja keras
para relawan ini hampir-hampir bisa dikategorikan sebagai gerakan akar rumput
yang bergerak untuk memastikan terjadi perubahan yang lebih baik di dalam
masyarakat tanpa harus menggantikan tatanan yang sudah ada.
Koridor
demokrasi dan upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia yang ditandai oleh
sistem presidensialisme yang efektif menjadi jalur utama pencapaian perubahan
ini. Pascakemenangan Jokowi, banyak relawan yang kemudian mendapatkan
posisi-posisi politis- strategis di dalam pemerintahan maupun kursi empuk
komisaris di badan usaha milik negara (BUMN).
Sebagai
contoh, nama-nama seperti Andi Widjojanto, Andrinof Chaniago, Refly Harun,
dan Fadjroel Rahman mengisi jabatan-jabatan politis-strategis seperti kursi
menteri dan kursi komisaris di BUMN. Andi Widjojanto dan Andrinof Chaniago
mengecap kursi menteri kabinet sebelum akhirnya tergusur dalam reshuffle
jilid satu kabinet Jokowi.
Refly Harun
yang dikenal sebagai pengamat tata negara saat ini menikmati kursi empuk
seorang komisaris di salah satu BUMN. Demikian juga Fadjroel Rahman. Secara
latar belakang pendidikan dan keilmuan, Andi dan Andrinof mungkin layak untuk
mengisi kursi menteri kabinet, sebagai Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri
Bappenas.
Dua orang ini,
sebagaimana juga Teten Masduki dan relawan yang lain, dikenal terlibat aktif
dalam perumusan Nawacita sebagai janji politik Jokowi dalam kampanye pemilu
presiden. Wajar bila kemudian mereka ditunjuk untuk mengawal implementasi
Nawacita. Bagaimana dengan relevansi Refly Harun dan Fadjroel Rahman sebagai
komisaris di dalam BUMN?
Political Appointee
Adalah bijak
di dalam sebuah sistem pemerintahan presidensial bila posisi-posisi politis-strategis
diisi oleh orang-orang berkompeten di bidangnya dan pengisiannya dilakukan
melalui penunjukan langsung oleh presiden sebagai strategi pelaksanaan
pemerintahan presidensial yang efektif.
Mereka adalah
political appointee yang diangkat untuk memastikan terlaksananya program-program
yang dijanjikan dan dikampanyekan kepada para pemilih. Para political appointee ini biasanya
adalah orang-orang yang terlibat intensif dalam masa kampanye pemilu dan
menjadi bagian dari tim perumus program pemenangan presiden berdasarkan
kepakaran di bidangnya masing-masing.
Penunjukan dan
pengangkatan mereka untuk menduduki jabatan politis-strategis seperti
menteri, wakil menteri, duta besar, atau posisi politis-strategis lainnya di
dalam pemerintahan adalah sebuah kewajaran. Selain sebagai pemberian hadiah
berbasis kelayakan (merit-based reward)
yang diatur secara resmi di dalam aturan perundangan, keberadaan political appointee ini untuk
memastikan kesinambungan antara program kampanye dan perumusan dan
pelaksanaan program pemerintah pemenang pemilu.
Di Amerika
Serikat sebagai kiblat sistem pemerintahan presidensial yang efektif, political appointee adalah lumrah.
Keberadaannya dijamin oleh aturan perundangan sehingga presiden terpilih akan
menunjuk banyak sekali wajah-wajah baru yang dekat atau menjadi bagian dari
tim pemenangan pemilunya untuk mengisi posisi-posisi politis-strategis
menggantikan wajah-wajah lama dari rezim yang kalah.
Pun kalau ada
keberlanjutan dari sebuah rezim, biasanya tetap ada wajah-wajah baru yang
diangkat sebagai pembantu presiden dalam koridor aturan political appointee.
Misalnya, ketika Presiden Obama menang untuk kedua kalinya, ada pergantian
posisi Menteri Luar Negeri dari Hillary Clinton ke John Kerry, wajah lama
yang dekat dengan Presiden Obama.
Di dalam pemerintahan
Jokowi, fenomena pengisian jabatan politis-strategis oleh para mantan relawan
Jokowi tidak serta-merta sejalan dengan konsep political appointee ini. Tidak ada makan siang gratis dalam
politik. Fakta bahwa para relawan bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa
dibayar dan bahkan harus mengeluarkan uangnya sendiri untuk memenangkan
Jokowi ini tidak terbantahkan.
Namun, pada
saat yang sama, menurut Mietzner (2015), beberapa kelompok relawan berusaha
untuk menjadi hegemon atas relawan yang lain karena ketiadaan garis
koordinasi yang jelas antarrelawan yang patut diduga sebagai jalan pribadi
menuju kursi kekuasaan.
Minimnya, atau
tidak ada, peraturan perundangan tentang political
appointee yang bisa mengakomodasi para relawan sebagai bayaran atas makan
siang yang telah diberikan kepada Jokowi telah memperumit keadaan. Bila
dibandingkan dengan kebijakan political
appointee di Amerika Serikat, fenomena mantan relawan yang ditunjuk
Presiden Jokowi untuk menduduki posisi politis-strategis pascakemenangannya
tidaklah setara.
Di Amerika
Serikat, ideologi dan program partai menjadi garis pemisah antara partai A
dan partai B. Para political appointee
adalah orang-orang yang terbukti bekerja keras bersama calon presiden
berbasis keahlian mereka untuk merumuskan program yang dijual kepada para
pemilih.
Dengan begitu,
ketika calon presiden yang didukungnya menang, mereka layak dijadikan
political appointee untuk memastikan pencapaian tujuan program yang telah
dirumuskan. Terlebih, posisi-posisi yang diisi oleh para political appointee ini adalah jelas, banyak, dan dijamin oleh
peraturan perundangan.
Pada era
Jokowi, tidak semua relawan yang diangkat untuk mengisi jabatan politis-strategis
(political appointee) terlibat,
mengerti, dan memahami Nawacita sebagai janji politik Jokowi dan jabatan yang
mereka terima adalah sesuai keahlian yang diperlukan untuk mencapai tujuan
Nawacita yaitu redistribusi keadilan yang ditandai oleh Rasio Gini 0.30 pada
akhir 2019.
Maka adalah
wajar untuk menanyakan: Apakah mereka yang telah diangkat di dalam
posisi-posisi politisstrategis tersebut mampu menjadi pembantu Jokowi dalam
memenuhi janji Nawacita? Maka itu, adalah kebutuhan yang mendesak untuk
melakukan adaptasi proses dan aturan tentang political appointee Amerika
Serikat di Indonesia, apalagi untuk antisipasi pemilu serentak.
Ini langkah
besar dan revolusioner yang bisa dimulai dengan melakukan perubahan aturan
perundangan tentang kepemiluan secara komprehensif dan berjangka panjang melalui
penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pemilu. Kelompok masyarakat sipil
seperti Kemitraan sudah mengadvokasikan ini sehingga bisa menjadi pintu masuk
strategis bagi perubahan mendasar penguatan sistem presidensialisme yang
efektif di Indonesia.
Meskipun tidak ada makan siang yang gratis, paling tidak makan
siang tersebut dibayar karena memang layak dibayar dan sesuai aturan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar