Selasa, 13 Oktober 2015

Birokrasi Kampus Harus Direformasi

Birokrasi Kampus Harus Direformasi

Nanang Martono ;   Dosen Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed);
Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan, Universite de Lyon 2, Prancis
                                                  KORAN SINDO, 08 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu lalu dunia pendidikan tinggi (PT) kembali ”dikejutkan” dengan aksi pemecatan salah satu dosen UIN Sunan Kalijaga oleh Kemenag.
Pemecatan tersebut hanya disebabkan faktor ”sepele”, kelengkapan administrasi. Ini berkaitan dengan masalah surat-surat serta status dosen yang bersangkutan ketika melaksanakan studi lanjut S-3 di Australia. Ribut masalah administrasi sebenarnya bukan hanya dialami oleh Achmad Uzair Fauzan (AUF), dosen UIN yang dipecat Kemenag tersebut.

Saya sebagai dosen bukan hendak membela yang bersangkutan, namun dalam tulisan ini saya hendak membeberkan bagaimana ”keribetan ” menjadi dosen di Indonesia. Kasus yang menimpa AUF salah satu kasus yang mencuat ke media. Entah disengaja diangkat ke media oleh yang bersangkutan atau karena hal lain. Ini (masalah administrasi) sebenarnya masalah klasik.

Dari segi yuridis, dosen memiliki tiga fungsi utama yang disebut Tridharma Pendidikan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat. Di luar tiga tugas tersebut, dosenmasihmemilikikewajiban melaksanakan aktivitas penunjang Tridharma PT. Tiga tugas tersebut sebenarnya sangat simpel.

Dalam kondisi normal, semua dosen pasti dapat memenuhi kewajiban melaksanakan tugas sebanyak (minimal) 12 SKS yang terdiri atas empat komponen tersebut. Bila 12 SKS telah terpenuhi, dosen berhak mendapatkan tunjangan sertifikasi. Sangat simpel.

Namun, masalah besar yang menimpa dunia perdosenan adalah pemerintah, melalui Dikti dan Kemenag, sangat mengagungkan keberadaan dokumen administrasi sebagai bukti bahwa seorang dosen telah melaksanakan tugas-tugasnya. Sebagai bukti telah mengajar, dosen harus memfotokopi semua daftar hadir perkuliahan, baik daftar hadir dosen maupun mahasiswa, serta dokumen SK mengajar dari atasan.

Untuk bukti penelitian, dosen harus menunjukkan bukti berupa SK atau surat kontrak penelitian dengan pihak penyedia dana. Dalam hal ini, dosen yang melakukan penelitian dengan dana mandiri akan menghadapi masalah besar karena seringkali penelitian dengan biaya mandiri dianggap tidak berkualitas. Sebagai bukti pelaksanaan program pengabdian masyarakat, dosen juga harus menunjukkan SK dan dokumen pelengkap lainnya.

Memang, segala bentuk pelaksanaan tugas harus ada bukti hitam di atas putih. Namun, ini sangat menyesatkan ketika dokumen tersebut justru menjadi dewa penolong bagi dosen. Maka yang terjadi adalah, dosen memiliki lima tugas pokok. Selain Tridharma PT dan pendukungnya, dosen juga memiliki tugas pokok sebagai kolektor SK dan dokumen lain.

Alhasil, ketika dosen mengajukan kenaikan pangkat, ia harus mengumpulkan banyak dokumen, dan seringkali tebal dokumen bisa mencapai 30 sampai 50 cm, dan semuanya berbentuk kertas. Semua berkas dikirim ke Dikti untuk dievaluasi.

Dosen yang beruntung akan cepat mendapatkan keputusan hasil penilaian dan dosen yang kurang beruntung ada kemungkinan dokumen-dokumen tersebut akan hilang di Dikti. Kembali, dosen yang seharusnya telah berhak mendapatkan kenaikan tunjangan harus kehilangan hak-haknya hanya karena Dikti terlambat mengevaluasi dokumen.

Tugas dosen akhirnya tidak beda dengan tenaga administrasi. Asal ada dokumen penunjang, dosen telah layak disebut dosen profesional dan berhak mendapat tunjangan sertifikasi. Untuk itu, menjadi dosen di Indonesia memang tergolong mudah dan simpel, yang penting mereka memiliki suratsurat lengkap. Dikti tidak ingin berpusing ria dengan menilai kualitas dosen dari sisi ”de facto”.

Masalah seorang dosen mengajar dengan baik atau tidak, dosen kreatif dalam pembelajaran atau tidak, termasuk aspek kedisiplinan juga, bukan urusan Dikti. Mereka hanya memerlukan bukti hitam di atas putih. Sama halnya ketika dosen menyusun publikasi di jurnal ilmiah, banyak dosen hanya ”numpang nama”.

Sebuah artikel ditulis ”keroyokan”, namun dalam kenyataannya artikel tersebut hanya ditulis satu atau dua orang saja, yang lain ”hanya nunut”. Dosen-dosen modal nunut itu pun mudah mengajukan kenaikan pangkat PNS. Sebenarnya berita horor kasus AUF juga dialami banyak dosen yang mendapatkan tugas belajar ke luar negeri.

Beberapa dosen gagal atau mengalami hambatan ketika akan berangkat ke luar negeri karena terganjal masalah birokrasi kampus maupun birokrasi di Dikti. Ini juga menyangkut masalah administrasi berkaitan dengan status kepegawaian dan masalah dokumen perbeasiswaan.

Kita semua tahu ada dua kata sakti ketika mengurus dokumen di Indonesia: lama dan berbelit-belit. Ini juga yang menjadi penghambat sebagian besar dosen yang ingin menempuh studi. Banyak di antaranya yang harus terlambat mengikuti proses perkuliahan.

Ditambah lagi, pengurusan dokumen harus dilakukan secara manual, bukan online, kemudian dokumen yang dibutuhkan cukup dikirim lewat e-mail atau pos. Semua dosen yang berurusan dengan Dikti harus datang ke Jakarta meski hanya untuk mengambil selembar surat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana dengan dosen yang tinggal di luar Pulau Jawa, berapa banyak rupiah yang mereka keluarkan hanya demi mendapatkan selembar ”surat sakti”.

Saya membayangkan ketika dosen bisa fokus pada tugas pokoknya tanpa sibuk mengurus masalah administrasi. Kasus AUF sebenarnya dapat diatasi dengan mudah ketika para birokrat tidak mempersoalkan masalah administrasi sebagai pertimbangan utama. Bila perlu, pemerintah harus mengubah aturan tertulisnya.

Satu hal yang harus diingat, mendapatkan beasiswa bukanlah perkara mudah. Ratusan ribu dosen harus bersaing untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Kesempatan mendapatkan beasiswa tidak akan datang dua kali. Untuk itu, dalam kasus ini, AUF telah mengambil keputusan tepat: menempuh studi lanjut meski tanpa berbekal surat tugas rektor (atau dokumen lain).

Ia melaksanakan studi lanjut untuk kemajuan lembaganya, bukan untuk kepentingan pribadi. Ketika secara de facto seorang dosen telah ”telanjur” berada di luar negeri untuk menempuh studi, pengurusan dokumen sebenarnya bisa dilakukan oleh staf administrasi. Dokumen bisa diurus ”belakangan”.

Bila perlu, permohonan izin belajar cukup dilakukan secara online melalui e-mail atau perangkat lain ke dekan atau rektor, dan bukti e-mail tersebut dianggap sah. Masalahnya, apakah birokrat UIN memiliki itikad baik atau tidak, atau mereka kemudian tetap mengambil langkah ”kolot” dengan berpegang teguh pada aturan secara kaku dan tunduk pada aturan Kemenag?

Secara logika, ketika dosen berhasil menempuh studi di usia muda, berarti ia akan memiliki masa pengabdian yang lebih panjang dengan ilmu yang diperolehnya. Dosen yang berhasil menyelesaikan pendidikan doktor di usia 30 tahun misalnya, ia dapat mengaplikasikan ilmunya selama 30 tahun (asumsi ia pensiun di usia 60 tahun).

Lalu, bila seorang dosen dihambat ketika ingin menempuh studi dan baru selesai S-3 di usia 40 tahun, ia hanya memiliki waktu 20 tahun untuk mengaplikasikan ilmunya. Sangat disayangkan, pemerintah membuang waktu 10 tahun. Sudah saatnya pemerintah melakukan reformasi birokrasi yang berkaitan dengan masalah tata administrasi.

Era serbaonline seharusnya menjadi faktor yang memudahkan masalah ini. Era online, tapi birokrasi masih manual hanyalah omong kosong. Pemerintah harus fokus pada masalah substansi, bukan administrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar