Perihal Mencerdaskan Bangsa
Mohammad Abduhzen ; Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina, Jakarta;
Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
24 Oktober 2015
“Ketidakadilan sudah
berjalan terlalu lama; akal budi orang sudah tumbuh sesuai dengan itu, tumbuh
kerut merut. Akal pikiran sudah menjadi bengkok dan kerdil, kemauan lemah
terkulai.”
(Bung Karno, 1956.
"Indonesia Menggugat": 129)
Kalimat di atas dipetik Soekarno dari buku Natuur en Menschen in Indie karya Augusta de Wit dan disampaikan
dalam pleidoinya di depan hakim kolonial.
Soekarno menegaskan, dampak buruk imperialisme bukan hanya pada
ekonomi, melainkan lebih parah, yaitu pada inferioritas mental yang selalu
berharap pada kolonialis. Dekadensi akal pikiran seperti itu, lanjut
Soekarno, merupakan bencana batin paling besar bagi bangsa.
Pentingnya pikiran jembar dalam mengelola Indonesia merdeka
sangat disadari para pendiri bangsa sehingga ”mencerdaskan kehidupan bangsa”
dijadikan satu tujuan negara. Bapak pendiri bangsa bahkan tak memilih,
misalnya, ”meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia” atau
”membangun karakter” sebagai misi pembangunan manusia Indonesia di alam
merdeka. Mereka kiranya paham bahwa pencerahan akal budi merupakan inti bagi
pembentukan watak, kemajuan, dan marwah bangsa di kemudian hari.
Pendidikan merupakan episentrum. Oleh sebab itu, Pasal 31 UUD
1945 (sebelum amandemen) memberikan hak kepada setiap warga negara
mendapatkan pengajaran dan pemerintah (wajib) menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional. Namun, setelah 70 tahun merdeka, bangsa ini sepertinya
tak menjadi lebih cerdas sehingga beragam fakta menunjukkan kita sebagai
bangsa belum menghampiri cita-citanya.
Rasa aman berkat perlindungan negara masih jauh panggang dari
api. Perlindungan terhadap kekayaan alam dan wilayah juga jauh dari memadai.
Langit, bumi, dan laut tak sepenuhnya dalam kuasa kita untuk dipergunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Gebrakan Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti makin menjelaskan begitu besar kekayaan laut
dicuri dan betapa lemah sistem perlindungannya. Bukan peralatan saja yang tak
memadai, jumlah dan mentalitas personel pun kurang dan lemah. Tak jarang
aparaturmenjadi bagian dari konspirasi yang merongrong rasa aman dan kekayaan
negara.
Jumlah orang miskin juga masih banyak. Menurut data Badan Pusat
Statistik per September 2014, ada 27.727.780 orang miskin atau 10,96 persen.
Meski miskin, sebagian besar rakyat Indonesia merasa bahagia dan demokratis.
Indeks Kebahagiaan Indonesia 2014 di angka 68,28 pada skala 0-100, sementara
Indeks Demokrasi Indonesia rata-rata nasional 73,04. Fakta ini pada satu sisi
menunjukkan kebahagiaan orang Indonesia tak bergantung pada kekayaan. Namun,
di sisi lain, data ini seperti membenarkan kutipan Soekarno di atas: karena
terlalu lama dizalimi atau diperlakukan tak adil, akal pikiran jadi bengkok,
bahkan mati rasa, sehingga tak tahu jika salah atau sengsara.
Pesona konservatisme
Pendidikan kita sejak dulu hingga kini didesain tak sungguh-sungguhmengutamakan
pengembangan akal sehat sebagai basis kecerdasan dalam segala ragamnya.
Perumusan tujuan/kebijakan pendidikan senantiasa terpesona oleh
konservatisme, selain kepentingan politik penguasa.
Konservatisme tampak pada rumusan UUD 1945 (amandemen) Pasal 31
Ayat (3): ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa....” Juga fungsi pendidikan
dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3: ”Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa....”
Struktur dan alur logika kedua rumusan tersebut terasa tidak
”natural”, bahkan terbalik, sehingga sukar dipahami sebagai dasar operasi
pendidikan. Keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, serta terbentuknya watak,
merupakan efek kumulatif yang ditumbuhkan dari kecerdasan. Maka, utamanya
pendidikan adalah upaya pencerdasan dalam rangka membentuk sifat dan watak
terpuji dimaksud.
Masalahnya bukan karena keimanan dan ketakwaan, akhlak mulia dan
watak itu tidak penting dalam pendidikan. Namun, implikasi metodologisnya
sering kali berupa indoktrinasinilai-nilai dan habituasi pekerti ala
behavioristik yang mereduksi penjembaran akal. Kenyataan ini diperparah
ketika belakangan secara serampangan pendidikan kita lebih tertarik pada
kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional, yang seolah jalan pintas mencapai
kesalehan dan keparipurnaan pribadi. Alhasil, penalaran jadi lemah.
Rendahnya kemampuan menalar, selain tampak dari pilihan dan cara
bangsa ini mengelola kehidupan, juga dapat dilihat dari hasil Programme for
International Student Assessment (PISA) dan Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS). Hasil PISA 2012, murid Indonesia
mendominasi skor tinggi (75,7) untuk kemampuan kognisi tingkat rendah
(Singapura dan Korea ”hanya” memperoleh skor 8,3 dan 9,1). Sementara
kemampuan kognisi tingkat tinggi siswa kita jauh di bawah (0,3), Singapura
dan Korea masing-masing 55,4 dan 30,9. Tes TIMSS juga menunjukkan hasil tak
jauh berbeda. Dengan sampel siswa kelas VIII, ketika diuji dengan soal untuk
kognisi rendah (pengetahuan), 70 persen siswa menjawab benar, sedikit di
bawah rata-rata internasional (83 persen). Begitu diberikan soal untuk
mengukur kognisi tingkat tinggi, hanya 45 persen siswa menjawab benar (Das Salirawati dalam Muljani A Nurhadi,
2013).
Desain Kurikulum 2013 dan ide pendidikan karakter tampaknya tak
lepas dari pesona konservatisme. Kompetensi Inti dalam Kurikulum 2013 telah
mengarusutamakan spiritualisme proses pembelajaran (Doni Koesoema, 8/12/2014)
untuk semua mata pelajaran pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Pembelajaran
diarahkan pada praksis penghayatan dan pengamalan agama dan sikap/perilaku
tertentu yang sifatnya sangat terbatas.
Gejala konservatisme dan salah kaprah terhadap pencerdasan makin
tampak ketika pemerintah satu kabupaten—dengan didukung pakar pendidikan dan
psikologi—menghapuskan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung murid SD
kelas I dan II. Alasannya, anak usia itu belum waktunya diisi kecerdasan
karena bermacam pelajaran itu justru tidak menambah kecerdasannya. Sebagai
penggantinya mereka diberi pelajaran imtak (iman dan takwa) Indonesia yang
bertujuan mengembangkan keimanan dan ketakwaan.
Perkuat pengajaran
Seyogianya, pendidikan kita didesain untuk memperkuat pengajaran
berpikir, bukan sekadar mengisi pikiran dan atau melatih pekerti. Pembelajaran
yang mengisi pikiran mengasumsikan otak hanya sebagai tempat menyimpan data
pengetahuan yang suatu saat dikeluarkan melalui ujian. Sementara mengajarkan
berpikir menjadikan otak sebagai instrumen dan media memproses informasi
untuk menemukan dan memecahkan masalah kehidupan. Pembelajaran di sekolah
kita baru sukses mengisi pikiran seperti tergambar dalam hasil PISA dan
TIMSS.
Mengajarkan berpikir ialah dengan melibatkan murid secara aktif
berpikir. Murid tidak hanya mendengarkan pikiran guru, tetapi turut
melahirkan ide-idenya. Peran guru dan dukungan lingkungan belajar yang
kondusif merupakan inti pengajaran berpikir. Filosofi ini sebenarnya telah
tercakup dalam definisi pendidikan di Pasal 1 Ayat (1) UU No 20/2003, yaitu:
”...mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya...”
Pembenahan terkait prinsip ”mencerdaskan” utamanya melalui
pendekatan dan metode, bukan lewat kurikulum. Perubahan kurikulum, faktanya,
tidaklah mencerdaskan. Juga tak serta-merta mengubah metode pembelajaran.
Metode melekat pada pribadi guru sehingga perbaikan metode meniscayakan
pengembangan kapabilitas guru.
Sayangnya, visi pemerintah dalam pengelolaan guru (dalam
jabatan) dewasa ini lebih pada evaluasi, bukan intervensi. Maka bermunculan
kegiatan uji kompetensi, penilaian kinerja, dan pengawasan. Alhasil, cetak
biru intervensinya kedodoran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar