Menakar Deregulasi Pengupahan
M Hadi Shubhan ; Pengajar dan Pembimbing Bidang Hukum
Perburuhan
pada Program S-3 Fakultas Hukum
Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
20 Oktober 2015
Cukup menarik salah satu isi paket kebijakan ekonomi jilid IV adalah
melakukan deregulasi (pengaturan kembali) sistem pengupahan buruh/pekerja (Kompas, 16/10/2015). Deregulasi
pengupahan pekerja harus dilakukan secara cermat agar kebijakan itu efektif
dan efisien. Jika tidak, yang terjadi justru sebaliknya: akan menimbulkan
kegaduhan baru, khususnya di bidang hubungan industrial, yang berarti
kontraproduktif bagi perekonomian nasional.
Berbeda dengan isi paket kebijakan lain, yang obyeknya adalah
sistem tata kelola dan sejenisnya, deregulasi pengupahan akan menyangkut
manusia, khususnya kalangan buruh/pekerja yang notabene memiliki resonansi
sosial yang besar. Oleh karena itu, penetapan kebijakan di bidang pengupahan
harus benar-benar cermat dan sistematis.
Jika tidak, alih-alih meredam kegaduhan tahunan dalam penetapan upah
minimum, deregulasi pengupahan yang tidak cermat bisa jadi malah menambah
persoalan baru.
Aspek keseimbangan
Ada beberapa butir penting yang patut dipertimbangkan oleh
pemerintah dalam menuangkan regulasi sistem pengupahan buruh. Pertama, perlu menyeimbangkan dua aspek yang kadang kala
sering bertentangan, yaitu aspek kesejahteraan pekerja dan aspek kemampuan
perusahaan.
Jika pemerintah hanya menitikberatkan aspek kepentingan
perusahaan dan mengabaikan aspek kesejahteraan buruh, tujuan regulasi
pengupahan untuk mencari jalan keluar kegaduhan setiap penetapan upah minimum
tidak akan tercapai. Kegaduhan itu senantiasa akan tetap terjadi dan bahkan
bisa bertambah. Pengabaian kesejahteraan buruh akan tecermin pada penetapan
upah yang paling "banter" kenaikan hanya sebesar inflasi ditambah
sedikit angka pertumbuhan ekonomi.
Sementara jika pemerintah tak memedulikan kemampuan perusahaan,
yang terjadi adalah meningkatnya eskalasi pemutusan hubungan kerja karena
perusahaan tidak kuat menanggung labour
cost yang di atas kewajaran dan kemampuan perusahaan. Sebenarnya,
ketakmampuan perusahaan tidak disebabkan kenaikan upah buruh, tetapi
terbebaninya perusahaan oleh ongkos-ongkos lain, seperti buruknya
infrastruktur yang menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan ongkos tambahan,
mahalnya biaya listrik, mahalnya biaya dwelling
time yang lama, atau pengeluaran biaya-biaya siluman.
Kedua, pemerintah perlu mengkaji lebih mendalam lagi instrumen
yang digunakan untuk menetapkan besaran angka kebutuhan hidup layak (KHL),
yaitu komponen KHL. Pada saat ini, komponen dan jenis kebutuhan untuk
menghitung KHL sebanyak 60 komponen. Ke-60 komponen KHL tersebut telah ditentukan dalam
Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Setelah komponen tersebut layak, baru angka
upah minimum ditetapkan sebagai baseline. Pemerintah tidak bisa serta-merta
menetapkan upah minimum tahun ini sebagai acuan angka untuk penetapan upah
tahun berikutnya, ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan,
pemerintah berencana menentukan perubahan komponen KHL paling singkat untuk
lima tahun. Jika ketentuan ini diberlakukan, sementara komponen KHL tetap
yang ada seperti sekarang, yakni 60 komponen sebagaimana diatur dalam
Permenakertrans No 13/2012, akan keluar angka upah minimum yang bahkan bisa
lebih rendah daripada yang saat ini berlaku. Jika ini terjadi, kegaduhan
penetapan upah minimum akan tetap terjadi dan ini berarti paket kebijakan
tersebut tidak efektif dan efisien.
Ketiga, harus ada
pengaturan struktur dan skala upah yang tegas, tidak semata-mata diserahkan
kepada kebijakan internal perusahaan. Adalah suatu ketakadilan jika upah
tahun ini ditetapkan sebagai acuan untuk upah tahun depan dengan ditambah
inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi, sementara pemerintah tidak menetapkan
besaran upah untuk pekerja/buruh yang punya masa kerja yang lebih lama.
Penetapan kebijakan struktur dan skala upah seyogianya, misalnya, dengan
menambah angka atau persentase
tertentu untuk setiap penambahan masa kerja.
Jelas dan tegas
Keempat, sistem pengawasan terhadap implementasi upah minimum
harus diatur secara lebih sistematis, termasuk di dalamnya sistem penangguhan
upah minimum. Selama ini, masalah lanjutan dari penetapan upah minimum adalah
banyaknya perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan upah minimum, yang
berarti perusahaan membayar upah kepada pekerja/buruh di bawah standar upah
minimum. Fenomena ini menjadi lazim ketika pengawasan terhadap perusahaan
yang demikian sangat lemah.
Demikian pula sistem
pengajuan penangguhan pelaksanaan upah harus diperketat dan tidak hanya
dijadikan komoditas oleh oknum tertentu, baik dari pihak pengusaha, serikat
buruh, maupun pihak pemerintah daerah. Beberapa penetapan penangguhan
pelaksanaan upah minimum telah dibatalkan oleh PTUN, seperti di Jawa Barat
dan di DKI Jakarta. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi tentang sistem
penundaan pelaksanaan upah yang belum sesuai dengan yang diharapkan.
Kelima, mekanisme sanksi
dalam regulasi pengupahan harus jelas dan tegas. Banyaknya pelanggaran
terhadap ketentuan pengupahan minimum buruh karena sanksi yang ada dalam
peraturan perundang-undangan masih bisa ditafsir: ambigu! Misalnya, penerapan
sanksi pidana terhadap pengusaha, apakah harus ditempuh upaya hukum
perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial
ataukah tidak. Banyak pengusaha yang dilegitimasi oleh akademisi tertentu
selalu berlindung di balik perselisihan hubungan industrial jika akan dikenai
sanksi pidana.
Di samping sanksi pidana, perlu dipikirkan sanksi administrasi
yang berupa tidak dilayaninya pengusaha terkait pelayanan publik oleh
pemerintah. Sanksi ini juga dapat
menjadi alternatif pemaksa bagi pengusaha yang senang melanggar ketentuan
pengupahan. Jika diterapkan, sanksi administrasi akan mendidik semua pihak,
baik pengusaha, pekerja, maupun pemerintah, untuk patuh dan taat asas
terhadap regulasi yang ada.
Keenam, bentuk regulasi yang ideal untuk sistem pengupahan
adalah dalam bentuk UU. Selama ini,
belum pernah ada UU yang secara khusus mengatur pengupahan, padahal telah ada
UU yang telah mengatur hal lain di bidang perburuhan, seperti UU Jamsostek
yang diganti dengan UU BPJS, UU Keselamatan Kerja, dan UU Penempatan TKI di
Luar Negeri.
Dengan adanya pengaturan dalam bentuk UU, keterlibatan pemangku
kepentingan akan menjadi luas karena tentu akan melibatkan DPR sebagai wakil
rakyat serta melibatkan pengusaha dan serikat pekerja. Di samping itu pula,
muatan yang bisa diatur dalam suatu UU tentu akan lebih komprehensif jika
dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar