Memperkuat Rekonsiliasi Kultural
Singgih Nugroho ; Peneliti dari Percik Salatiga; Penulis
buku Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca Peristiwa
1965 di Pedesaan Jawa
|
SUARA
MERDEKA, 02 Oktober 2015
PERINGATAN 50 tahun peristiwa G30S
masih menyisakan PR besar bagi negara untuk menguak sisi gelap bangsa ini.
Banyak pihak berupaya mendorong negara membuat pengakuan dan permintaan maaf
secara resmi kepada lebih dari 0,5 juta warganya. Mereka adalah korban
pembunuhan massal di Jateng, Jatim, Bali, Sumatera, dan NTT tanpa proses
hukum karena mereka dianggap anggota dan simpatisan PKI.
Tapi perjuangan menyelesaikan
lewat kebijakan politik di tingkat nasional butuh waktu lebih lama. Kita
sedang menguji komitmen janji politik Jokowi- JK dalam kampanye Pilpres 2014.
Polemik penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia terus bergulir. Wacana
antikomunis masih kuat di sebagian kalangan. Pemerintah saat ini menggodok
kebijakan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tahun 1965-1966 antara lain
dengan pendekatan rekonsiliasi melalui pembentukan Komite Kebenaran
Penyelesaian Masalah HAM Masa Lalu, di bawah koordinasi Kemenpolhukam. Di
luar polemik rekonsiliasi nasional di bidang yudisial dan politik, sebenarnya
ada beberapa perkembangan baik di tingkat daerah. Di sejumlah daerah mulai
muncul komunitas pemerhati masalah ini di luar kelompok pembela HAM
mainstream. Mereka berasal dari generasi muda. Setiap ada diskusi tentang
pembantaian 1965- 1966, mereka yang hadir bukan hanya bekas tapol yang
berusia lanjut melainkan juga kaum muda.
Penemuan dan pemberian tanda nisan
bagi makam 24 orang eks korban 1965 di Dusun Plumbon, Kelurahan Wonosari,
Kota Semarang, merupakan salah satunya. Contoh lain, sekelompok mahasiswa
pegiat jurnalis di salah satu kampus di Salatiga, mencoba menelusuri dampak
peristiwa ini di institusi politik, militer kampus dan lingkungan masyarakat
Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Sebelum 1965, PKI memiliki posisi
politik kuat di dua daerah ini. Arbi Sanit (2000) dalam buku Badai Revolusi,
Sketsa Kekuatan PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mencatat PKI di Kabupaten
Semarang memenangi Pemilu 1955 dengan suara terbesar, 144.773, disusul
gabungan tiga partai Islam (Masyumi, NU, dan PSII) dengan 88.836 suara, dan
PNI 24.783 suara. Di Salatiga, MM Billah (2003), mantan komisioner Komnas
HAM, menyebut 17 dari 21 anggota DPRD berasal dari PKI. Selain itu, Bakri
Wahab, wali kota periode 1961-19665, secara politik didukung PKI Salatiga.
Kedatangan RPKAD (kini Kopassus)
minggu ketiga Oktober 1965 membuat operasi penangkapan pimpinan dan anggota
PKI di dua daerah ini mulai terorganisasi. Kesatuan elit ini membentuk
kelompok paramiliter dari unsur ormas agama, mahasiswa dan kepemudaan,
dinamai Pasukan Garuda Pancasila. Tidak Diakui Sejauh teramati, konstelasi
politik ini tak banyak diketahui generasi muda Salatiga sekarang. Dalam kurun
panjang, Bakri Wahab, tidak diakui secara politik, antara lain fotonya tidak
dipajang di balai kota, periodenya langsung dilompati oleh Letkol S Soegiman (wali
kota 1966-1976). Di Jateng, sejumlah kepala daerah mulai terbuka
mendiskusikan peristiwa G30S dan dampaknya di tiap daerahnya. Tapi belum ada
yang menyampaikan permintaan maaf secara resmi.
Baru Wali Kota Palu Sulteng, H
Rusdy Mastura, yang tanpa menunggu putusan pengadilan, menyampaikan
permintaan maaf kepada publik. Ia bahkan memberi akses bagi korban/penyintas
pada program sosial dan layanan publik Pemkot Palu. Belakangan, namanya
dikenal di pentas global setelah wartawan New York Times, Jeremy Kutnerjuly
menulis kisahnya di laman media itu (13/7/15) berjudul ”A City Turns to Face
Indonesia’s Murderous Past”. Baskara T Wardaya (2014) mendorong kita supaya
terus menyalakan dan menjaga api rekonsiliasi. Kita bisa belajar rekonsiliasi
dari Afsel bagaimana melibatkan masyarakat mencari kebenaran pelanggaran HAM.
Termasuk belajar pada Jerman, bagaimana pemerintahnya bekerja sama dengan
semua pihak memimpin usaha mengolah pengalaman kekerasan masa lalu. Khususnya
semasa Nazi dan pemerintah German Democratic Republik (GDR) sehingga ia
berhasil menjadi negara yang kuat dan dihormati baik di Eropa Barat dan
dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar