Bakarlah, Tambanglah, dan Bunuhlah
Suparto Wijoyo ; Dosen Hukum Lingkungan Universitas
Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 02 Oktober 2015
PEMBUNUHAN Salim Kancil, 52, warga Dusun Krajan II, Desa
Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Sabtu 26
September 2015, dan penyiksaan Tosan, 51, kawan seperjuangan Salim, sungguh
mengentak. Kejadian itu menyeruak melengkapi derita serta menyayat luka
komunitas bangsa.
Kematian Salim dan penderitaan Tosan adalah tamparan keras
kepada institusi negara secara fundamental yang menyembulkan tanya: di mana
arti sebuah negara, arti negara hukum (rechtsstaat)?
Mengapa negara sampai alpa dan memberikan ruang atas kenyataan seperti itu,
tanpa dapat dicegah? Di mana aparatur negara bertakhta dan bertitah untuk
mengamankan setiap jengkal tanah air kita?
Publik telah menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang
memanggungkan lakon, negara ini bagaikan tanah tidak bertuan. Laksana arena
pertunjukan tanpa panitia. Rakyat seolah jalan liar tanpa markah dan rambu
penanda, tidak ada rule of the game.
Hukum dan perangkatnya dikesankan seperti aksesori yang
indah dipandang dan rapuh diraba. Asap pekat masih terhelat di belantara
Sumatera dan Kalimantan dengan akibat yang dirasakan Singapura serta
Malaysia.
Tindakan pembakaran itu sudah berlangsung sejak 1971,
bahkan menurut data Kepolisian Negara Republik Indonesia, sejak era 1960an.
Derita kabut asap tersebut mendera hampir 26 juta penduduk yang tersebar: 24
juta di Sumatera dan 4 juta jiwa di Kalimantan.
Berapa ongkos pengobatan dan biaya kesehatan yang
dibutuhkan untuk mengatasi hal itu? Peristiwa yang acap berulang selama empat
dasawarsa adalah tindakan berkelanjutan menistakan rakyat.
Apa pun yang telah dilakukan instansi yang berwenang
nyaris tidak berguna karena faktanya pembakaran terus berlangsung. Tragedi
berubah menjadi tradisi dan asap menjadi azab yang menyengsarakan jutaan
penduduk.
Korban pembakaran itu jelas a mass of peoples, dan
jangkauan wilayah yang luas, serta penggerogotan terencana objek-objek vital
negara. Kualifikasi kejahatan terorisme atas peristiwa itu sudah terpenuhi se
bagaimana dirumuskan UU Terorisme.
Kejahatan lingkungan dengan korban manusia, primata,
maupun pepohonan sejatinya sudah diatur dalam UU Lingkungan Hidup, UU
Kehutanan, UU Perkebunan, UU Konservasi Tanah, dan berbagai regulasi lain.
Namun, apa yang dapat dilakukan negara selain menindak setengah hati dan
membiarkan separonya lagi?
Lingkungan hidup yang baik dan sehat, menurut UUD 1945,
adalah constitutional rights yang harus disediakan negara. Karena itu,
pencemaran udara dan penghancuran ekosistem kehutanan di wilayah Sumatera dan
Kalimantan merupakan wujud laku inkonstitusional.
Dan, setiap tindakan inkonstitusional pastilah memiliki
konsekuensi yang mesti ditanggung lembaga penyelenggara negara yang
menjalankan konstitusi. Tatkala pemegang amanat itu tidak sanggup mengemban
norma konstitusi, apa yang sebaiknya dilakukan? Kalaulah tidak ada jawabnya,
haruskah kita berteriak: bakarlah ladangnya, tambanglah isinya, dan bunuhlah
warganya?
Konstelasi pembakaran itu sejatinya melengkapi kerusakan
tambang yang terpotret di Kalimantan dalam semua sisinya dan Papua. Oh...
oh... di Jawa juga demikianlah adanya, juga di Sumatera dan Sulawesi.
Tengoklah, bagaimana areal bekas tambang dipelihara? Bagaimana reklamasi
dilakukan?
UU Minerba, UU Perindustrian, UU Perdagangan, dan berbagai
regulasi sekitarnya tentu baguslah adanya. Tapi, mengapa daerah tambang yang
kaya raya itu sejurus waktu dan setarikan napas yang sama dengan rakyatnya
juga miskin?
Pasal 33 UUD 1945 mengajarkan bahwa kekayaan alam yang
terkandung di dalam rahim ibu pertiwi hanya berperuntukan tunggal: kemakmuran
rakyat.
Belum mentas problematika itu dientas, kini muncul
pembunuhan di Lumajang yang bersandar pada masalah tambang. Tambang pasir
yang renik bijinya telah mengobarkan permusuhan dan memuntahkan darah yang
dikeramasi dengan lelehan air mata.
Sempurna sudah realitas yang dipertontonkan dan dilakonkan
di panggung Indonesia. Kesempurnaan yang menggoreskan siksa dan melantunkan
lagu-lagu kematian.
Nyanyian dan zikir yang menyesakkan bukan penghibur yang
penuh syukur tanpa jeda. Apa yang harus diperbuat negara? Apa yang harus
dilakukan pemerintah? Apa yang mesti diemban seluruh rakyat Indonesia? Pasti
banyak yang bisa diperbuat negara. Pasti jamak yang dapat dilakukan
pemerintah. Pasti beragam peran yang dapat dipikul rakyat.
Kita semua harus bersatu menjaga marwah dan martabat
republik ini. Negara ini harus bereputasi dan pemerintah harus berprestasi.
Berilah arti kepada hari esok bahwa NKRI ini memang ada untuk rakyat
Indonesia.
Pemerintah mesti memberikan jaminan dengan sumber dayanya
untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Itulah pesan konstitusi
kita. Kalaulah itu masih kurang, Alquran sejak abad ke-6 mendeskripsikan
kehidupan manusia yang diciptakan dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa, agar
li ta’aarofu (saling mengenal),
bukan saling merusak atau menghancurkan. Inna
Allaha la yukhibbul mufsyidien (sungguh Allah tidak menyukai siapa saja
yang berbuat kerusakan). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar