Kamis, 17 September 2015

Teknologi Uber yang ”Diuber-uber”

Teknologi Uber yang ”Diuber-uber”

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 16 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Dalam teknologi, apa yang bisa dilakukan akan dilakukan”, tulis Andrew S Grove, mantan CEO Intel Corp dalam bukunya, Only the Paranoid Survive (1996). Yang tidak diprediksi pria Hongaria yang terlahir bernama András István Gróf dan sukses memimpin produsen semikonduktor terbesar di dunia ini adalah teknologi mengubah keseluruhan lanskap geo-ekonomi di mana pun di dunia, termasuk di Indonesia.

Yang menarik dari kemajuan teknologi komunikasi informasi (ICT), keseluruhan lanskap geo-ekonomi juga mengubah tata kelola ekonomi dan bisnis tradisional. Ini yang terjadi di dunia transportasi di seluruh dunia, termasuk di kawasan Asia, melalui perkembangan apa yang disebut sebagai ridesharing atau berbagi kendaraan untuk bergerak dari satu titik ke titik lain.

Kota dunia saat ini dilanda fenomena yang tidak terpikirkan oleh Groove, berupa kehadiran aplikasi teknologi perangkat lunak terintegrasi. Integrasi tak hanya dengan pengguna, tetapi juga dengan berbagai lingkungan ekonomi, bisnis, bahkan pada tingkat tertentu lingkungan politik yang mampu mengubah tatanan geopolitik secara nasional, regional, ataupun global.

Aplikasi di perangkat telepon cerdas, seperti GoJek, Uber, Lyft, GrabTaxi, Didi Kuadi (China), GrabBike, dan aplikasi ridesharing lainnya, menjadi fenomena yang meluluhlantakkan batas-batas geografi, tatanan ekonomi, dan bisnis. Bahkan mengancam pertumbuhan industri otomotif yang masih menjadi primadona pertumbuhan di banyak negara Asia.

Kehadiran aplikasi perangkat lunak menjadi teknologi disruptif, mengacaukan rumusan ekonomi dan bisnis tradisional, menjadi bentuk baru yang tidak mudah dimengerti secara awam. Dari London, Berlin, New York, Singapura, Taipei, Jakarta, dan lainnya, aplikasi Uber, misalnya, dikejar-kejar dan dihujat tidak hanya oleh para sopir taksi. Penguasa yang menjadi regulator mengatur tata kelola transportasi nasional di tiap wilayah geografi politiknya juga kerepotan.

Di banyak kota dunia, khususnya negara-negara Eropa dan Amerika Utara, sopir taksi telah lama dipandang sebagai operasi berbentuk kartel yang paling mengagumkan. Mereka dengan galak membela hak bersejarah menyediakan taksi berlisensi kepada publik. Dan hak sejarah ini direbut oleh aplikasi yang menciptakan fenomena baru permintaan dan pasokan yang menghadirkan rumusan ekonomi yang terbarukan.

Kita melihat fenomena teknologi disruptif, khususnya terhadap industri transportasi, setidaknya memiliki beberapa faktor. Pertama, tersedianya telepon cerdas secara murah di berbagai pelosok kawasan, khususnya di Asia. Berbagai strata masyarakat di mana pun sekarang menganggap telepon cerdas berbasis teknologi apa pun mudah didapat dan menjadi perangkat penting dalam menyokong perbaikan status ekonomi, ke luar dari tradisi lama yang mampu menghadirkan sebuah model penghasilan yang sama sekali baru.

Kedua, pertumbuhan internet, terutama mobile internet, di kawasan Asia dengan populasi sekitar 600 juta orang memungkinkan perusahaan-perusahaan di bidang ridesharing menerobos industri-industri yang terfragmentasi secara tajam seperti perusahaan taksi. Bahkan, di kota dengan kemajuan teknologi canggih seperti Singapura, misalnya, pra-pesan kendaraan taksi hanya mencatat 6 persen. Di wilayah lainnya menjadi lebih rendah, termasuk Jakarta, dibanding dengan kota seperti Shanghai (24 persen) atau Tokyo (28 persen).

John Zimmer, pendiri usaha ridesharing Lyft, memperkirakan pasar usaha melalui teknologi disruptif ini akan mencapai 1 triliun dollar AS. Uber sebagai pelopor bisnis ridesharing sekarang memiliki valuasi sekitar 18 miliar dollar AS. Apa yang dilakukan Uber, Lyft, GrabTaxi, dan lainnya sama dengan apa yang dilakukan Amazon dan eBay terhadap penjualan buku ataupun bisnis lelang pada umumnya.

Keunggulannya adalah teknologi yang berkali-kali membuktikan menjadi disruptif terhadap industri tradisional, termasuk surat kabar. Dan, industri taksi tampaknya harus mengubah regulasinya untuk kepentingan penumpang, bukan pengemudi.

Penguasa pun harus cermat menghadapi perubahan drastis yang bisa menggoyang keseimbangan geopolitik masa depan. Sekarang industri taksi, dan sebentar lagi industri otomotif, ketika memiliki kendaraan sudah tidak lagi menjadi kebutuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar