Kamis, 17 September 2015

Stok Beras Bulog dan El Nino

Stok Beras Bulog dan El Nino

M Husein Sawit  ;  Senior Advisor Perum Bulog 2003-2010;
Tim Ahli Kepala Bulog 1996-2002
                                                     KOMPAS, 16 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada Juni lalu, pemerintah mengangkat Direktur Utama dan Direktur Pengadaan Bulog yang baru, dengan harapan terwujudnya pengadaan beras 4 juta ton. Targetnya tinggi dengan ”asumsi kuat” keberhasilan peningkatan produksi beras.

Pertumbuhan produksi padi (ARAM I) pada tahun 2015 mencapai 6,65 persen atau tertinggi kedua dalam 20 tahun terakhir. Namun, risiko pertumbuhan produksi padi tetap tinggi karena ancaman El Nino hingga akhir tahun akan berdampak tidak saja pada produksi padi pada musim gadu tahun ini, tetapi juga produksi musim panen raya tahun depan.

Pemerintah sekarang menginginkan peran Bulog ”serba besar”: stok awal harus tinggi, pengadaan gabah/beras harus besar tanpa impor, harus mampu bersaing dengan pedagang swasta, pengadaan gabah harus dominan dan langsung dari petani, kualitas pelayanan publik juga harus prima dengan beras berkualitas.

Pada minggu ketiga Agustus ini, Bulog baru mampu memperoleh pengadaan beras/gabah 1,78 juta ton setara beras, komersial hanya 233.000 ton. Kalau Bulog tetap mempertahankan kualitas gabah/beras standar harga pembelian pemerintah (HPP) dan tidak ada ”paksaan” terhadap petani/penggilingan padi dengan mengerahkan TNI/Polri (Kompas, 27/8), hampir tidak mungkin Bulog mampu menambah pengadaan beras PSO (public service obligation) lebih dari 300.000 ton hingga akhir tahun ini.

Harga gabah/beras di pasar telah jauh di atas HPP, cenderung naik dengan laju yang lebih cepat dalam periode puncak paceklik November-Januari.

Kuatkah Bulog/pemerintah untuk mengelola instabilitas harga beras? Stok beras Bulog kurang, hanya 1,5 juta ton dengan ketahanan stok enam bulan mendatang. Kalau tambahan pengadaan tercapai 300.000 ton, stok akhir tahun menjadi sekitar 800.000 ton (padahal seharusnya minimal 1,5 juta ton), atau terendah dalam 10 tahun terakhir.

Pada saat sekarang, posisi stok cadangan beras pemerintah (CBP) negatif, telah menguras stok operasional Bulog. Kalaupun pemerintah segera memperkuat volume CBP, posisi stok akhir tidak berubah, hanya memindahkan stok operasional Bulog ke CBP, tanpa perubahan volume dan kualitas beras CBP.

Intervensi Bulog

Awalnya, Bulog dibangun sebagai lembaga parastatal untuk mengoreksi kegagalan pasar (market failure), terutama pada musim panen raya. Dalam posisi petani yang jumlahnya banyak, daya tawar lemah. Petani cenderung segera menjual gabah hasil panen raya dengan berbagai alasan: membiayai tanaman berikutnya, bayar utang, dan biaya sekolah anak.

Di pihak lain, posisi pembeli gabah yaitu penggilingan padi (PP) ”relatif kuat”. Bulog berperan mengoreksi keadaan itu. Bulog membeli gabah/beras melalui Koperasi Unit Desa, bukan langsung dari individu petani. Koperasi dibangun untuk tujuan pemerataan dan menggerakkan ekonomi pedesaan.

Apabila pasar gabah telah berfungsi normal, harga gabah/beras telah terangkat di atas HPP, maka selesailah tugas Bulog. Bulog tidak dirancang untuk bersaing dengan PP/pedagang swasta dalam merebut gabah/beras di pasar. Kalau itu dilakukanBulog sebagai perusahaan besar dan pada musim panen gadu yang umumnya pasar gabah telah normal, harga gabah/beras pasti naik dengan laju yang lebih cepat. Maka, kegagalan pasar berpindah ke kegagalan pemerintah (government failure).

Kekeliruan respons pemerintah

Bulog kembali berperan mengoreksi pasar konsumen, khususnya pada musim puncak paceklik (November-Januari) melalui instrumen operasi pasar.Kalau Bulog menguasai jumlah CBP yang cukup dengan beras berkualitas, pasti pelaku usaha enggan berspekulasi. Hal itulah yangbelum ditata pemerintah.

Pemerintah meyakini,instabilitas harga beras sebagai ulah para spekulan. Pada saat yang sama, presiden mendeklarasikan ”tanpa impor” beras, membuang sebuah instrumen penting pengendali harga.

Oleh pelaku pasar, hal tersebut dijadikannya sebagai peluang mencari tambahan keuntungan karena ekspektasi kenaikan harga tinggi pada bulan-bulan mendatang melebihi cost of holding stock termasuk risiko lain seperti pendistribusian stok, ”mengamankannya” apabila diperiksa aparat hukum.Pada saat yang sama, mereka paham tentang situasi produksi, kekuatan stok beras Bulog/pemerintah rendah.

Oleh karena itu, masalah jangka pendek ini perlu diatasi segera oleh pemerintah. Pertama, sebelum ada perubahan kebijakan beras, pemerintah jangan ”memaksa” Bulog melakukan pengadaan besar atau menaikkan HPP pada musim gadu, seperti pernah dilakukan pemerintah pada puncak paceklik akhir 2006 atau awal 2007, diulangi pada periode April-Oktober 2011 tidak berpengaruh signifikan pada jumlah pengadaan.

Menaikkan HPP atau pengadaan di luar jumlah yang wajar pada musim gadu,atau menargetkan pengadaan beras 1,4 juta ton dalam sebulan mendatang (Kompas, 27/8) akan membuat eskalasi kenaikan harga lebih tinggi, memunculkan destabilisasi harga beras.Opsi pengerahan TNI/Polri untuk pengadaan beras perlu ditinjau ulang baik buruknya.

Kedua, segera putuskan plan B, buka pengadaan beras luar negeri untuk memperkuat jumlah dan kualitas stok Bulog dan CBP sehingga ”lebih ampuh” dalam meredam spekulasi harga. Instrumen ini paling ditakuti oleh para spekulan. Mereka hanya takut rugi.

Ketiga, intensifkan program aksi untuk menyelamatkan tanaman padi gadu ini dan program adaptasi untuk musim tanam mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar