Sains dan Masa Depan Indonesia
Beben Benyamin ; Peneliti Indonesia di Universitas
Queensland, Brisbane, Australia
|
KOMPAS,
10 September 2015
Di tengah meriahnya
perayaan 70 tahun kemerdekaan RI dan gaduhnya berita pelemahan rupiah,
ilmuwan muda Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia meluncurkan buku Sains45: Agenda Ilmu Pengetahuan Indonesia
Menyongsong Satu Abad Kemerdekaan.
Momentum penting bagi
perkembangan sains di Indonesia ini seolah hilang ditelan bumi. Saya sendiri
mengetahui tentang peluncuran buku ini dari artikel pengantar yang ditulis
ketua tim penulis, Prof Jamaluddin Jompa, di laman The Conversation. Sebagai seorang ilmuwan Indonesia yang berkarya
di luar negeri, buku ini telah membuka mata saya tentang gigihnya semangat
kolega muda Indonesia untuk berkontribusi dalam membangun negeri melalui
sains.
Buku setebal 235
halaman ini ditulis 17 ilmuwan yang merumuskan 45 pertanyaan ilmiah yang
fundamental. Ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami khalayak, buku ini
tepat sasaran untuk konsumsi publik, termasuk pemegang kebijakan. Proses
pencarian jawaban dari 45 pertanyaan tersebut diusulkan menjadi agenda
pembangunan sains Indonesia untuk 30 tahun ke depan, dalam upaya mewujudkan
Indonesia sebagai bangsa yang adil, makmur dan beradab, sesuai dengan
cita-cita kemerdekaan.
Pertanyaan dimulai
dengan pencarian asal usul dan jati diri sebagai manusia Indonesia. Siapa
sebenarnya penghuni negara kepulauan ini? Dari mana asalnya? Sudah berapa
lama mereka tinggal di ribuan pulau yang membentang bak zamrud di
Khatulistiwa ini? Bagaimana keragaman biologis, budaya, suku, dan kepercayaan
membentuk Indonesia?
Pencarian asal usul danjati
diri merupakan agenda sains sangat penting. Selain manifestasi dari rasa
keingintahuan, pertanyaan ini juga penting secara praktis. Sebagai contoh,
keragaman genetik manusia Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke
punya implikasi terhadap perbedaan efektivitas pengobatan.
Ke-45 pertanyaan yang
dirangkum rapi dalam delapan bab tersebut mencakup semua bidang keilmuan.
Dari budaya sampai bencana. Dari kesehatan sampai kelautan. Dari ekonomi
sampai energi. Agenda ini penting untuk memetakan pertanyaan-pertanyaan
ilmiah yang diharapkan menjadi prioritas pengembangan sains untuk menyambut
100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Minimnya dukungan
pemerintah dan rendahnya budaya ilmiah saat ini ternyata tidak mengendurkan
semangat kolega muda untuk menelurkan agenda besar sains Indonesia ini. Akan
tetapi, agenda ini hanya akan terhenti di tataran ide jika tidak dibarengi
kesungguhan pemerintah untuk membuat kebijakan yang bisa menciptakan kondisi
ideal tempat ilmuwan mewujudkan agendanya.
Sederhananya, kondisi
ideal yang diharapkan ilmuwan adalah kondisi agar mereka bisa fokus melakukan
penelitian dengan jaminan kebebasan akademik dalam lingkungan ilmiah yang
kondusif, didukung sarana dan prasarana, serta tingkat kesejahteraan yang
memadai. Kondisi yang (mendekati) ideal seperti itulah yang sekarang
didapatkan ilmuwan negara-negara maju sehingga dapat menghasilkan karya sains
yang inovatif.
Rendahnya dukungan
pemerintah terhadap sains sudah banyak dikeluhkan. Alokasi dana untuk sains
di Indonesia termasuk terendah di Asia Tenggara, yaitu 0,09 persen dari total
produk domestik bruto (PDB). Jika dibandingkan Malaysia (1 persen) dan
Singapura (2,5 persen), kita sangat jauh ketinggalan. Dengan jumlah penduduk,
wilayah, dan PDB paling besar, seharusnya Indonesia bisa jadi pemimpin di
bidang sains di Asia Tenggara. Namun, karena komitmen pemerintah yang sangat
rendah, output sains pun menjadi korban.
Indikator keberhasilan
sains, seperti jumlah dan kualitas publikasi ilmiah di basis data tepercaya,
seperti Scopus yang dirangkum The
SCImage Journal and Country Rank, menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal
dari Thailand, Malaysia, dan Singapura. Ini menunjukkan ada ketaksepadanan
antara kekayaan sumber daya dan keberhasilan sains di Indonesia.
Belajar dari negara lain
Untuk mempercepat
pembangunan, tiap negara belajar satu sama lain. Tak terkecuali di bidang
sains. Tentu saja tidak dengan menjiplak secara utuh, tetapi formula-formula
sukses mereka yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik Indonesia
bisa dijadikan acuan. Negara yang maju secara sains setidaknya memiliki
ciri-ciri berikut.
Pertama, mereka
memiliki akademi ilmu pengetahuan nasional yang terdiri atas ilmuwan-ilmuwan
terbaik yang mampu menyediakan informasi sains terkini, mempromosikan
kemajuan ilmu pengetahuan ke masyarakat, serta memberikan masukan independen
ke pemerintah.
Indonesia sudah
mempunyai AIPI, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sudah banyak yang
dilakukan AIPI untuk mempromosikan sains, termasuk publikasi buku Sains45.
Sejauh mana pemerintah mendengar masukan AIPI perlu dikaji lebih lanjut.
Namun, tidak hadirnya Presiden ke acara ulang tahun ke-25 AIPI (Kompas,
24/05/2015) mengindikasikan bahwa pemerintah tidak menempatkan sains sebagai
prioritas.
Kedua, mereka punya
penasihat sains yang bisa memberi masukan sains langsung kepada presiden (di
tingkat negara) atau kepada gubernur (di tingkat provinsi). Dengan adanya
penasihat sains, kasus yang memalukan seorang presiden, seperti kasus blue
energy (air sebagai sumber bahan bakar), tak akan terjadi. Tak adanya ilmuwan
di Dewan Pertimbangan Presiden saat ini lagi-lagi menunjukkan rendahnya
kepedulian pemerintah terhadap sains.
Ketiga, mereka
memiliki lembaga riset nasional dengan anggaran besar yang mengatur pembagian
dana riset ke seluruh ilmuwan di seluruh lembaga riset dan universitas.
Pembagian terpusat ini disesuaikan dengan prioritas nasional dan dibagikan
secara kompetitif, yang penilaiannya dilakukan oleh sesama ilmuwan. Hanya
aplikasi penelitian yang mengusung ide baru dengan kualitas sains yang unggul
serta diajukan oleh ilmuwan yang punya potensi dan rekam jejak hebatlah yang
dibiayai. Jumlah dananya cukup besar (sekitar Rp 5 miliar per aplikasi) dan
berjangka waktu 3-5 tahun. Di Indonesia, terbatasnya dana dan sempitnya jangka
waktu penelitian menjadi salah satu alasan rendahnya kualitas hasil
penelitian.
Keempat, mereka
memiliki banyak universitas dengan fokus pada riset yang bukan sekadar
jargon. Riset dapat porsi besar di dalam kampus. Staf akademik bisa memilih
untuk fokus pada perkuliahan, riset, atau gabungan keduanya. Di Indonesia,
beratnya tugas perkuliahan yang harus ditanggung seorang dosen banyak
dikeluhkan sebagai salah satu alasan minimnya output sains.
Kelima, universitas
memberikan kepastian karier dan insentif kepada ilmuwan untuk tetap fokus dan
berkarya supaya menghasilkan sains yang berkualitas. Sistem kenaikan pangkat
yang menekankan pada produktivitas dan kualitas karya ilmiahnya berdasarkan
penilaian sesama ilmuwan (bukan birokrat atau petugas administrasi) juga
memastikan ilmuwan untuk fokus pada penelitian. Karena maju mundurnya karier
seorang ilmuan bergantung pada output sainsnya. Universitas juga tak
memberikan insentif berlebihan bagi jabatan struktural kampus sehingga
jabatan struktural bukan menjadi tujuan utama karier seorang ilmuwan.
Keenam, mereka
memiliki mahasiswa-mahasiswa PhD (S-3) dengan usia muda (25-30 tahun). Usia
yang sering disebut ideal untuk menghasilkan penemuan baru. Gelar PhD
dianggap sebagai modal awal karier seorang dosen atau peneliti, bukan akhir
karier seorang dosen. Di Indonesia banyak yang memulai PhD-nya ketika usia
sudah menginjak 30 tahun sehingga masa produktif pasca PhD pun menjadi
pendek.
Tentu saja keenam hal
di atas hanya sebagian dari karakteristik negara yang maju sainsnya.
Pendidikan dasar dan menengah yang merangsang siswa tertarik pada sains,
literasi sains masyarakat yang tinggi sehingga bisa membedakan antara sains
dan pseudo-sains, dukungan media dengan pemberitaan sainsnya, dukungan swasta
dalam adopsi teknologi serta peran filantropi dalam pendanaan merupakan
bagian yang integral dari karakteristik negara dengan sains yang maju.
Apa yang bisa dilakukan?
Setidaknya ada dua hal
yang bisa dilakukan untuk membangun sains Indonesia seperti yang
dicita-citakan. Ini bukan usulan baru, melainkan harus terus dikampanyekan
sampai terjadi perbaikan.
Pertama, pemerintah
mau tidak mau harus meningkatkan investasinya di bidang sains. Peningkatan
investasi yang cukup besar sehingga dalam jangka panjang bisa mendekati rata-rata
dunia (sekitar 2 persen). Peningkatan anggaran ini bisa ditujukan untuk,
tetapi tidak terbatas pada, peningkatan dana proyek penelitian yang diiringi
pembenahan sistem alokasi supaya penelitian yang dilakukan berkualitas,
penguatan lembaga yang sudah ada dan pembentukan lembaga penelitian atau
universitas baru yang berbasis riset dengan segala fasilitasnya, dan
peningkatan jumlah peneliti dibarengi dengan peningkatan kesejahteraannya.
Kerja sama antara AIPI
dan Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP Kementerian Keuangan) untuk
membentuk Indonesian Science Fund (ISF) bagi pendanaan riset dasar merupakan
langkah awal maju yang perlu diapresiasi. Namun, langkah ini perlu
dilanjutkan dengan dukungan pemerintah yang lebih besar lewat Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pedidikan Tinggi dengan memperbaiki atau membuat sistem
pendanaan riset yang kondusif bagi pengembangan sains.
Kedua, komunitas sains
harus berupaya terus meningkatkan budaya ilmiah serta output sains yang
berkualitas. Langkah ini sama pentingnya dengan peningkatan investasi sains.
Banyak pihak yang mengeluhkan tentang rendahnya budaya ilmiah ini. Tanpa
budaya ilmiah yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, anggaran besar hanya
akan menghasilkan tumpukan laporan yang tidak ada nilainya secara sains.
Tujuan mulia tercapainya kemajuan sains pun hanya tinggal mimpi.
Salah satu cara
peningkatan budaya ilmiah dan kualitas sains bisa dilakukan secara sistematik
dengan cara mengkaji ulang sistem insentif, penggajian, dan kenaikan pangkat
seorang peneliti atau dosen. Peneliti yang produktif dan menghasilkan
karya-karya sains yang berkualitaslah yang dapat maju dalam karier ilmiahnya.
Dengan demikian, kegiatan sains jadi fokus pekerjaan. Penilaiannya pun harus
dilakukan oleh ilmuwan, bukan oleh birokrat. Sebab, ilmuwanlah yang tahu
secara obyektif kualitas ilmuwan lain.
Akhirnya, sudah tidak
perlu lagi dibahas bagaimana kemajuan sains menentukan kemajuan sebuah
bangsa. Hubungan kemajuan sains dan kemajuan bangsa bukan lagi sebuah
korelasi, melainkan hubungan sebab akibat. Ahli ekonomi sudah menghitung
bahwa kemajuan sainslah yang menjadi faktor terbesar pendorong pertumbuhan
ekonomi. Namun, mengapa sampai ulang tahun yang ke-70, pemerintah masih belum
memprioritaskan sains? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar