Pendidikan Olahraga
Mohammad Abduhzen ; Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina; Ketua
Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
09 September 2015
Juli 2013, di Gelora
Bung Karno, tim Indonesia All-Star kalah telak 1-8 dari Chelsea dalam laga
uji coba. Media Inggris berkomentar tak enak. The Mirror menulis, ”Para
pemain Chelsea lebih kesulitan menghadapi nyamuk ketimbang pemain Indonesia
All-Star.” Media lain, Daily Mail,
menyindir lewat judul ”Chelsea 8
Indonesia All-Star 1: Or should that be NO-Stars?” (Atau sebenarnya tidak ada bintang?).
Apa hendak dikata,
seperti banyak hal di negeri ini, sepak bola memang belum membanggakan. Meski
penduduk kita banyak dan berpotensi besar, bangsa ini baru mampu bermimpi,
belum punya visi dan strategi keolahragaan yang memajukan persepakbolaan
secara sistemik.
Nasib persepakbolaan
makin tak keruan setelah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi membekukan
PSSI dan membentuk Tim Transisi PSSI beranggotakan 17 orang. Sebelumnya,
Menpora juga membentuk Tim Sembilan dengan tujuan sama: membenahi dan
memajukan persepakbolaan kita.
Meskipun penyelesaian
kemelut PSSI adalah utama dan urgen, seyogianya ”Tim 17” yang anggotanya
berasal dari berbagai latar belakang profesi tak hanya berkutat pada kegaduhan
PSSI, tetapi juga merumuskan strategi keolahragaan nasional dengan
mengelaborasi arah dan strategi keolahragaan dalam RPJMN 2015-2019.
Arah kebijakan dan
strategi keolahragaan dalam RPJMN 2015-2019, ”Menumbuhkan budaya olahraga dan
prestasi”. Di antaranya melalui kebijakan dan pengembangan olahraga secara
terpadu dan berkelanjutan, peningkatan akses dan partisipasi masyarakat,
peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan upaya pembibitan dan
pengembangan prestasi.
Membangun budaya,
termasuk olahraga, tentunya terkait dengan peran pendidikan sebagai jalan
utama kebudayaan. Melalui pendidikan, suatu komunitas mentransmisikan dan
mentransformasi kebudayaan yang diinginkan.
Disebut ”yang
diinginkan” karena kebudayaan bukan sekadar koleksi artefak dan atau
mengulang tradisi agar lestari. Kebudayaan—dalam perspektif dinamis—adalah
sesuatu yang ”akan” dan ”dapat” dibentuk karena tidak sepenuhnya
deterministik. Maka, diskusi kebudayaan adalah berwacana tentang rencana,
kata Van Peursen (Strategi Kebudayaan,
1988).
Pembudayaan olahraga
dan prestasi merupakan pembasisan yang penting, bukan hanya bagi kemajuan
keolahragaan, melainkan juga bagi pembangunan mentalitas bangsa, sejalan
dengan ide revolusi mental yang sepertinya kini makin pudar.
Jaringan sekolah
Tulisan Arifin
Panigoro (Kompas, 1/7/2015) sejalan dengan pemikiran strategi pembudayaan
olahraga dan prestasi di atas. Arifin menekankan pentingnya sekolah sebagai
unsur utama pendukung strategi menuju puncak prestasi olahraga. Ia
mengharapkan Kemdikbud mendirikan direktorat khusus olahraga, meningkatkan
jam olahraga di sekolah, memberikan pelatihan guru olahraga, dan menambah
fasilitas olahraga di sekolah. Ini mengingat masa pembinaan atlet-atlet
nasional kita bersamaan saat mereka bersekolah.
Di banyak negara maju,
pengembangan olahraga senantiasa berbasis pada sekolah atau kampus. Para
pemain profesional sepak bola dan basket diAmerika Serikat, misalnya, berasal
dari klub-klub olahraga di perguruan tinggi. Perguruan tinggi (PT) merekrut
para pemain dari sekolah.
Pelatih dan tim
olahraga PT sering blusukan mencari bibit pemain ke sekolah-sekolah. Pemain
muda potensial ditawari masuk ke PT-nya dengan beasiswa dan sejumlah
fasilitas, seperti asrama. Disediakan jugajalur seleksi khusus masuk PT bagipemain
berbakat. Para pemain yang direkrut dilatih dan dibina layaknya pemain
profesional.
Kurikulum olahraga di
kebanyakan sekolah Amerika Serikat tidak sebagaipengembangan bakat dan minat,
tetapi lebih untuk kebugaran fisik murid. Pengembangan bakat dan minat
olahraga difasilitasi dalamkegiatan ekstrakurikuler (wajib) dengan berbagai
klub di bawah naungan sekolah/PT.
Penggunaan
persekolahan sebagai basis pembibitan, perekrutan, dan pengembangan olahraga
dapat memperluas akses dan kesempatan partisipasi anak-anak muda dari
berbagai daerah dan lapisan. Di Indonesia, penggunaan jaringan pendidikan
hingga sekarang belum tertata. Olahraga di lembaga pendidikan kita terbatas
sebagai mata pelajaran yang harus diikuti murid agar naik kelas. Akibatnya,
banyak anak berbakat di negeri ini yang tidak terjaring dan terbina.
Kurikulum olahraga
Di Indonesia,
pelajaran olahraga, gerak badan, atau pendidikan jasmani ada dalam kurikulum
pendidikan nasional sejak 1947. Namun, tujuannya tidak begitu jelas, apakah
untuk kebugaran dan hidup sehat, menguasai teori berbagai cabang agar jadi
pengamat, atau untuk menjadi atlet.
Dalam Kurikulum 2013
(K-13), pelajaran olahraga untuk SD 4 jam, SMP dan SMA 3 jam pelajaran
seminggu dengan nama Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Dalam empat
kompetensi inti dan kompetensi dasar yang banyak jumlahnya pada K-13, sukar
ditarik kesimpulan tentang untuk apamata pelajaran olahraga. Namun, dalam UU
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan untuk berkembangnya potensi
peserta didik dan menjadi manusia yang sehat.
Pada praktiknya,
pelajaran olahraga di sekolah bersifat klasikal dan cenderung teoretis.
Sesekali murid menghabiskan jam pelajaran dengan berolahraga seadanya di luar
kelas dengan permainan yang sama. Ketiadaan fasilitas dan keterbatasan
kreativitas guru menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar menjadikan
pembelajaran lebih banyak ceramah, mencatat, dan menghafal definisi, seperti
arti jalan berjinjit, gaya berenang, ukuran lapangan sepak bola tanpa
mempraktikkannya. Pengetahuan yang dihafal itu diujikan tertulis plus ujian
praktik untuk nilai rapor.
Dengan model
pendidikan olahraga seperti sekarang, tak mungkinlembaga pendidikan kita
dapat diandalkan sebagai basis pendukung perekrutan, pelatihan, dan
pengembangan olahraga. Maka, penyelenggaraan pendidikan olahraga di lembaga
pendidikan perlu ditata ulang.
Pertama, pelajaran
olahraga—sebenarnya juga kesenian dan keterampilan/prakarya—dikeluarkan dari
kurikulum dan ditempatkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib. Murid
diwajibkan memilih dan mengikuti minimal satu cabang olahraga sesuai bakat
dan minatnya. Dengan demikian, pembelajaran seragam secara klasikal dapat
dihindari sehingga mata pelajaran ini tidak perlu diujikan sebagai syarat
kenaikan kelas atau kelulusan.
Kedua, orientasi
pelajaran/kegiatan olahraga di sekolah difungsikan memfasilitasi murid agar
bugar melalui kegiatan harian, seperti senam. Selebihnya sekolah
memfasilitasi kegiatan dan program olahraga sebagai upaya pengembangan bakat
dan minat menuju prestasi sesuai denganstrategi keolahragaan nasional yang
melibatkan unsur kemenpora, kemdikbud, pemerintah daerah, serta otoritas
olahraga lainnya.
Ketiga, guru olahraga
berfungsi lebih sebagai koordinator danfasilitator—dapat juga sebagai pelatih
jika menguasai cabang tertentu—baik bagi kegiatan olahraga harian di sekolah
untuk kebugaran maupun kegiatan pembinaan prestasi yang fasilitasnya mungkin
berada di luar lingkungan sekolah dan mungkin melibatkan pelatih
”profesional.” Guru olahraga juga membentuk, mengelola, dan menghidupkan
klub-klub olahraga di sekolah dan bersama otoritas keolahragaan lain
mengelola kompetisi berkala.
Keempat, pemerintah
melalui kementerian terkait dan pemerintah daerah membangunberbagai prasarana
dan sarana olahraga terstandar secaramerata dan khusus—dengan
mempertimbangkan situasi, potensi, dan kunggulan lokal—di setiap gugus
sekolah tertentu yang dapat digunakan bersama. Pemerintah juga harus
mendirikan sentra-sentra pelatihan atau sekolah pelatih yang tersertifikasi.
Begitu lama pendidikan
olahraga di persekolahan terbengkalai, tak termanfaatkan sebagai dasar
pembangunan keolahragaan, sehingga ribuan benih di seantero negeri tak sempat
bertunas. Mari jadikan Hari Olahraga Nasional 9 September ini untuk
membenahinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar