Quo Vadis Paket Kebijakan Besar?
Effnu Subiyanto ; Advisor CikalAFA-umbrella; Direktur Koridor;
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB
Unair, Surabaya
|
JAWA
POS, 03 September 2015
MERESPONS
pelemahan nilai tukar mata uang rupiah, menurunnya ekspor karena pukulan
devaluasi yuan Tiongkok, merosotnya investasi, persoalan dwelling time, dan
akumulasi pertumbuhan ekonomi 4,7 persen pada semester pertama tahun ini,
pemerintah merancang sebuah peraturan pemungkas yang disebut dengan paket
kebijakan besar (PKB).
Beberapa waktu
lalu pemerintah juga sudah memberikan insentif fiskal dalam PMK 159/2015
terhadap investasi yang termasuk kategori industri pionir. Besarnya cukup
signifikan karena dapat pengurangan PPh badan seluruhnya dan paling sedikit
10 persen untuk kurun waktu paling lama 15 tahun.
Sebelumnya,
pemerintah juga meluncurkan PP 18/2015 yang merupakan revisi PP 52/2011
juncto PP 62/2008 juncto PP 1/2007 tentang fasilitas tax holiday.
Rezim Insentif
Rezim
sweetener atau insentif untuk menarik sektor riil berinvestasi dan
berproduksi di Indonesia sebetulnya tidak baru. Pada 2008, rezim itu kali
pertama dikenal dalam APBN dengan nama bea masuk ditanggung pemerintah
(BMDTP) yang dihasilkan dari PP 1/2007. Kejadian paling ironis dirasakan pada
2012, ketika anggaran pajak rakyat yang dicadangkan Rp 600 miliar dan pada
akhir tahun kembali ke kas negara sebesar Rp 172 miliar. Pemerintah berkelit
bahwa para investor terlambat untuk memenuhi persyaratan mendapatkan insentif
investasi tersebut, sementara investor menyalahkan pemerintah soal beratnya
persyaratan administratif yang harus dipenuhi.
Subsidi untuk
insentif investasi itu mengikuti tren dan selalu tidak bisa dimanfaatkan
setiap tahun. Karena itu, pagu anggarannya rutin diturunkan. Pada 2010
besarnya anggaran BMDTP Rp 1,5 triliun; kemudian menurun Rp 1,14 triliun pada
2011 dan Rp 600 miliar pada 2012.
Belajar dari
persoalan itu, besarnya pagu anggaran insentif 2015 tidak jelas betul.
Sepanjang rezim itu dibuka pada 2008, penyerapannya tidak menggembirakan.
Kinerja
penyerapan terburuk terjadi pada 2008, yakni hanya 8 persen atau Rp 161
miliar. Pada 2011 realisasi penyerapannya bahkan hanya 3 persen atau Rp 36,4
miliar dari total pagu.
Persoalannya
terletak pada tataran teknis di lapangan. Investor tidak tahu bagaimana
mengurusnya, sementara petugas pemerintah di lapangan, yakni lintas
kementerian, masih terpaku dengan pola bisnis as usual. Para investor yang
berpacu dengan keterbatasan waktu dan anggaran itu dilayani oleh pejabat
pemerintah dengan model administratif biasa.
Misalnya,
investor menunggu kedatangan mesin impor karena sudah memasuki jadwal
instalasi, tapi beberapa dokumen untuk bea cukai belum selesai dari pejabat
Kementerian Keuangan. Pejabat Kementerian Keuangan mempunyai SOP penyelesaian
dokumen maksimal lima hari kerja. Artinya, hari libur tidak dihitung.
Akhirnya, yang
terjadi, dokumen lebih lama didapatkan, sementara barang impor itu sudah
berpindah ke lokasi lain dan membutuhkan dokumen baru lagi. Investor memang
mendapatkan tax holiday, tapi tidak bisa lepas dari biaya penggudangan,
detention fee, dan biaya handling yang seharusnya tidak perlu.
Praktik itu
memunculkan pemeo bahwa tidak ada yang gratis di Indonesia.
Investor boleh
mendapatkan insentif secara administratif, tapi akan menghadapi tantangan
berat dari sisi teknis riil.
Itulah aroma
kongkalikong dan transaksional yang patut diwaspadai pemerintah meskipun baju
insentif diubah dengan nama paket kebijakan besar (PKB). Secara teknis,
kongkalikong itu adalah proses yang penuh intrik untuk mendapatkannya dan
harus menggunakan konsultan tertentu dengan tarif tertentu.
Pertimbangan Investasi
Ada empat
pertimbangan klasik investordalampandangan Keynesian untuk menanamkan modal.
Yaitu, ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, teknologi, dan manajemen.
Investor sebetulnya sama sekali tidak akan mempertimbangkan besarnya insentif
atau fasilitas investasi jika dibandingkan dengan transparansi, kepastian
hukum, tidak berbelitnya birokrasi, keamanan, dan kestabilan sosial-politik.
Posisi Indonesia
sebetulnya bukan surga investasi jika melihat besarnya realisasi investasi.
Dengan negara jiran Malaysia pun, Indonesia kalah telak dari sisi nilai total
penanaman modal.
Pada 2013
Malaysian Investment Development Authority (MIDA atau BKPM Malaysia) membukukan
rekor realisasi investasi RM 219,4 miliar (Rp 742,01 triliun), kemudian naik
7,52 persen tahun berikutnya (2014) sehingga menjadi RM 235,9 miliar (Rp
797,81 triliun). Pada saat yang sama Indonesia –yang luasnya 23,94 kali luas
Malaysia– hanya membukukan nilai total investasi Rp 398,6 triliun dan Rp
463,1 triliun.
Tahun ini
lagi-lagi kerja keras seluruh pemerintah dan birokrasi Malaysia mengalahkan
realisasi investasi Indonesia. Pada semester pertama tahun ini BKPM melaporkan
bahwa realisasi investasi Rp 124,6 triliun atau kenaikan 14 persen bila
dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Namun,
lihatlah Malaysia. Hanya pada kuartal pertama, mereka sudah membukukan total
investasi RM 57,4 miliar (Rp 191,03 triliun) atau kenaikan 18,8 persen jika dibandingkan
dengan periode yang sama sebelumnya. Intinya, dalam kondisi chaos dan konflik
politik seperti saat ini, ketertarikan investor ke Malaysia belum goyah.
Anggapan bahwa
semakin besarnya jumlah insentif akan mendorong jumlah investasi, tampaknya,
lemah. Pemberian insentif justru mengurangi potensi pajak, sementara di sisi
lain membuat produk-produk dalam negeri menjadi tidak kompetitif.
Akhiri Rezim Insentif
Rezim insentif
pemerintah sebenarnya adalah lipstik agar APBN tampak bersahabat dengan rakyat.
Namun, dalam praktiknya, cara mendapatkannya sungguh sangat luar biasa sulit.
Kendati bertujuan baik, yakni membantu mendorong kegiatan manufaktur dengan
berinvestasi barang modal, perizinannya bahkan menyedot anggaran yang tidak
murah.
Para investor
sebenarnya sangat mengharapkan insentif lain dalam berinvestasi di Indonesia,
yakni keamanan, kepastian hukum, politik yang kondusif, infrastruktur yang
memadai, birokrasi yang kooperatif, dan buruh yang tenang.
Nilai enam insentif nonfiskal
itu bahkan melebihi nilai insentif apa pun yang ditawarkan pemerintah. PKB
adalah hal yang sia-sia jika tidak diiringi dengan revolusi mental seluruh
komponen bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar