Internet dan Lingkungan Hidup
Rainy MP Hutabarat ; Pekerja Media dan Cerpenis
|
KOMPAS,
04 September 2015
Internet dan lingkungan hidup, bagaimana keduanya berkelindan?
Yang satu disebut ruang maya, yang satunya lagi ruang nyata.
Satu hal pasti, selain perlu pulsa, mengakses internet butuh
energi listrik sebab semua jenis gawai pakai baterai. Inilah tautan
terpenting antara internet dan lingkungan hidup. Penemuan listrik adalah
fondasi perkembangan pesat teknologi. Soal ini tentu tidak krusial. Energi
listrik untuk mengisi baterai gawai terlalu kecil dibandingkan dengan yang
dikonsumsi papan iklan berhias lampu warna-warni dan film yang bergerak
sepanjang hari.
Yang menonjol justru manfaat internet sebagai ruang publik
virtual,khususnyamedia sosial, untuk membuka kesadaran publik lebih lebar
tentang urgensi perawatan lingkungan hidup. Ekologi media diharapkan
meningkatkan kesadaran dan pengetahuanpublik tentang pentingnya pemulihandan
atau perawatan lingkungan yang telah rusak parah.
Asumsinya, kiantinggi frekuensi media menyiarkan isu lingkungan
hidup, kian paham dan sadar publik pengguna media akan urgensi perawatan atau
pemulihannya. Kendati pengguna internet, khususnya media sosial, tak seragam
soal pemanfaatan internet, ekologi media diharapkan jadi instrumen penyadaran
sehingga mendorong aksi nyata.
Tentu ini harapan muluk. Kita tahu lingkungan hidup bukanlah isu
seksi dibandingkan korupsi, politik, atau skandal seks yang melibatkan tokoh
publik. Masalah ini baru mengemuka jika terjadi bencana besar lingkungan,
seperti tsunami, gempa bumi, tanah longsor, erupsi gunung berapi, kekeringan
dan kelangkaan air bersih,atau cuaca panas ekstrem yang makan korban manusia
dan harta benda dalam jumlah besar.
Sebatang pohon tua yang tumbang melintang di jalan umum tak jadi
berita media. Ketika pohon itu menimpa mobil yang tengah melintas kencang,
lalu dua orang di mobil tewas seketika, barulah itu berita. Apalagi jika
mobilitu milik menteri dan yang tewas sang menteri. Bad news is good news berlaku bagi peliputan bencana alam.
Di sisi lain, publik pengguna internet dan media sosial punya
kemauan masing-masing dalam berinternet, dan tak pula selalu positif. Karena
itu, internet,selainberpotensi menyadarkan publik tentang kerusakan
lingkungan hidup kemudian mendo- rong untuk bertindak,juga menjauhkan
kitadari masalah itu.
Data Aliansi Pengguna Jasa Internet Indonesia mencatat separuh
pengguna aktif internet di Indonesia 88,1 juta jiwa, sepertiga penduduk
Indonesia yang 255,5 juta. Sebanyak 55 persen sudah bekerja, disusul
mahasiswa (18 persen) dan ibu rumah tangga (16 persen).Waktu yang
dihabiskanberinternet 1-3 jam, bahkan ada yang sembilan jam per hari.
Saya yakin, mengingat internet kini mudah diakses melalui
ponsel, pengguna aktif menghabiskan waktu berinternet lebih dari tiga jam.
Nah, data ini bisa menunjuk pada isyarat lain: kian lama seseorang
berinternet kian kehilangan waktu untuk mengurus lingkungan.
Bukan
prioritas
Jika di dunia pers lingkungan hidup bukan isu seksi, dalam
kehidupan sehari-hari lingkungan hidup juga bukan prioritas. Ketika kesibukan
sehari-hari relatif padat, sementara gawai danmedia sosial jadi kebutuhan
sekaligus gayahidup, urusan merawat lingkungan adalah hal pertama yang
dikeluarkan dari daftar prioritas.
Memang merawat lingkungan hidup tak mesti berhubungan langsung
dengan alam. Mengubah pola hidup, khususnya konsumsi yang ramah lingkungan,
juga bentuk kepedulian. Konsumsi yangrakus, yang hanya mengejar pemuasan (want) ketimbang pemenuhan (need), adalah pangkal perusakan alam
secara masif. Dengan keugaharian, eksploitasi alam akan direm. Mereka yang
tinggal di flat, rumah susun, atau apartemen dengan luas ruangterbatas pasti
paham pentingnya membeli sesuatu berdasarkan kebutuhan.
Mereka yang punya uang berlebih memang bisa membayar pekerja
untuk mengurus lingkungan. Artinya, merawat lingkungan hidup dengan meminjam
tangan orang laindengan duit sendiri. Tentu ini tak salah. Namun, kita—apa
pun agama, suku, ras, kaya atau miskin, penguasa atau rakyat, intelektual atau
bukan—hidup di Planet Bumi yang satu yang kinirusak parah dan membutuhkan
kepedulian kita.
Gelombang panas pada puncak musim panas belakangan menewaskan
1.500 orang di India dan ratusan orang di Pakistan. Sebanyak 100.000
kelelawar jatuh dari angkasa dan mati di Australia, sementara Amerika Serikat
beku hingga minus 26 derajat celsius. Ini merupakan peringatan alam yang amat
keras bagi seluruh Bumi. Gelombang panas ini juga melanda Jepang dan Inggris
dengan korban manusia dan hewan. Di Indonesia, seiring kemarau, terjadi
bencana kekeringan, kebakaran hutan, dan kelangkaan air bersih di
banyakwilayah.
Di sinilah soalnya:kita yang tak terkena bencana lingkungan
cenderungmemelototi gawaisebagai hobi atau kerja ketimbang sejenak
menggerakkantangan- tangan kita menghijaukan teras dan pekarangan. Kita lebih
memilih membelanjakan uang untuk gawai dan aksesorinya, juga pulsa, ketimbang
membeli pupuk, pot, atau tanaman.
Dulu berkebun dan mengurus tanaman adalah kegemaran banyak orang
sebagai hobi dan pengisi waktu luang. Sekarang beli pulsa, aksesori gawai;
bergaul di media sosial atau menjelajahi internet; pilihan utama.
Di mana-mana kian umum orang berjalan sambil bertelepon atau
menggerakkan layar sentuh gawai. Sesama manusia yang duduk di samping atau di
depan kita tak dihiraukan. Media sosial jadi ”kitab suci” harian yang
tanpanya kita merasa tak mampu menjalani hidup.
Diskusi maya,
kerja nyata
Teknologi membuat manusia merasa sanggup hidup tanpa melihat
pepohonan dan hewan selama sebulan, setahun. Bukankah aneka tumbuhan, hewan,
dan pemandangan alam yang ajaib kini bisa dinikmati sepuasnya dari layar
laptop? Ini bukan realitas yang dikonstruksikan dalam film fiksi saintifik,
ini kisah nyata manusia netizen. Sehari tanpa gawai atau ponsel ibarat hidup
berasa neraka. Ponsel kini ibarat kekasih, suami/istri kedua.
Dalam tempo cepat dunia maya telah jadi bagian penting dalam
hidup kita. Sebagian aktivitas kerja, seperti transaksi bisnis dan
komunikasi, berlangsung di ruang virtual.
Memang sebagian aktivitas hidup bisa berlangsung di ruang
virtual, seperti kampanye, diskusi, obrolan, promosi, atau transaksi bisnis.
Namun, merawat atau memulihkan lingkungan hidup hanya dapat dilakukan di
dunia nyata. Sudah saatnya kita peduli terhadap dedaunan kering yang gugur
perlahan, tumpukan sampah plastik di tepi jalan, puntung rokok yang dibuang
lewat kaca jendela mobil, rerumputan yang meranggas di taman kota.
Jangan sampai kiamat ekologis merampas paksa waktu, tenaga, dan
uang kita untuk memulihkan yang harus dipulihkan demi kelangsungan hidup di
Bumi. Menyikapi Bumi yang kian rusak parah, internet, khususnya media sosial,
baru bersifat transformatif jika tak semata membuka kesadaran dan pemikiran,
tetapi sekaligus pendorong gerakan dan kerja nyata untuk merawat dan memulihkan
lingkungan. Prinsip hubungan internet dan lingkungan hidup adalah: maya
diskusinya, tetapi nyata gerakan dan tindakannya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar