Portugal
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 06 September 2015
Jelek-jelek saya ini orang Portugal. Maksud saya, lahir di
Purwokerto, besar di Tegal! Memang benar, walaupun saya dilahirkan di
Purwokerto, saya sudah masuk Kota Tegal, tentu saja ikut orang tua yang
dipindahtugaskan dari Purwokerto ke Tegal, sejak saya berumur 2,5 tahun,
yaitu pada tahun 1946.
Bersama saya ada dua adik saya yang masih imut-imut, yang bungsu
malah masih bayi merah, walaupun sekarang dia sudah punya empat orang adik
dan sudah jadi dokter SpOG (”spesialis obok-onok gituan”). Waktu keluarga
kami masuk Tegal, kota itu masih porak-poranda sesudah kerusuhan sosial yang
dikenal sebagai peristiwa Tiga Daerah (Tegal, Brebes, Pemalang), yang terjadi
di akhir tahun 1945.
Dalam kerusuhan itu rakyat jelata, yang diprovokasi raja preman
lokal bernama Kutil, menyerbu, menjarah, dan membunuhi para pejabat, ningrat,
dan bangsawan (termasuk para bupati), yang mereka anggap sebagai kolaborator
Jepang dalam menindas rakyat. Sekolah pun baru ada sekolah rakyat (sekarang
sekolah dasar) dan SMP.
Ketika saya lulus SMPN 1 Tegal, saya harus melanjutkan ke
Semarang (ibu kota Provinsi Jawa Tengah) atau ke Pekalongan (ibu kota
karesidenan, yaitu wilayah yang meliputi beberapa kabupaten). Malangnya, saya
tidak lulus tes masuk di kedua sma negeri itu. Maka saya terpaksa kembali ke
Tegal.
Kebetulan ibu saya yang pernah menjadi anggota DPRD dan wakil
wali kota Tegal sejak tahun 1950 sudah mempersiapkan berdirinya sebuah SMA
swasta, yang kemudian bersubsidi, dan akhirnya menjadi negeri, pada tahun
1958, yaitu saat saya harus lanjut ke SMA. Maka saya pun masuk ke SMA
rintisan ibu saya sendiri dan teman-temannya, para aktivis Kota Tegal. Yang
sekarang lebih dikenal dengan nama SMA Negeri 1 Tegal.
Tetapi bukan pendidikan di Kota Tegal yang ingin saya ceritakan
sekarang ini, melainkan bahasanya. Buat orang yang bukan dari Tegal, termasuk
orang Jawa non-Tegal, bahasa Tegal kedengarannya aneh, atau lucu. Sering
orang menyebutnya sebagai bahasa ngapak-ngapak, karena sepintas kedengarannya
seperti itu.
Karena kedengarannya aneh itu, maka bahasa Tegal sering
dijadikan bahan lawakan, seperti yang dilakukan oleh pelawak Cici Tegal.
Tetapi yang dituturkan oleh Cici dan pelawak lain pada umumnya adalah bahasa
Jawa, atau bahkan bahasa Indonesia dengan dialek atau bahkan hanya logatnya
saja yang ”ditegalkan”, sedangkan bahasanya tetap Jawa, atau bahkan
Indonesia.
Padahal, menurut beberapa ahli bahasa, bahasa Tegal adalah
bahasa tersendiri, bukan sekadar dialek, apalagi hanya logat bahasa Jawa.
Salah satu ciri eksklusivisme bahasa adalah kosakata yang khas, yang berbeda
dari bahasa-bahasa lain.
Misalnya, ”aku” atau ”saya” dalam bahasa Jawanya aku juga, kulo
atau dalem (tergantung peringkat bahasanya rendah/ngoko atau tinggi/kromo) ,
tetapi dalam bahasa Tegal menjadi inyong.
”Kamu” atau ”engkau” dalam bahasa Jawa sampeyan
atau panjenengan, dalam bahasa Tegal koen
atau rika. Beda banget, kan?
Ada lagi, stoples (tempat kue, terbuat dari kaca atau plastik
transparan) dalam bahasa Jawa disebut stoples juga, sedangkan dalam bahasa
Tegalnya pergelet. Tidak dalam bahasa Jawa ora atau mboten, bahasa Tegalnya belih.
Pacaran dalam bahasa Tegal gerelan.
Lampu sepeda disebut oleh orang Tegal (zaman sepeda masih pakai lampu)
sebagai berko. Tidak ada dibahasa tegalkan menjadi langka. Tentu saja masih banyak lagi.
Saya sendiri tidak tahu, seberapa jauh bahasa percakapan orang
Tegal layak diberi predikat sebagai bahasa, bukan sekadar dialek atau logat.
Mungkin yang juga penting sebagai persyaratan sebuah bahasa adalah berapa
persen dari kosakata bahasa itu berbeda dari kosakata bahasa lain. Itu para
ahli linguistk yang tahu.
Bahasa Inggris, misalnya, tentu saja bukan bahasa Jawa, karena
bukan saja kosakata yang sama sekali berbeda (hampir tidak ada satu pun
kosakata yang bermakna sama) di kedua bahasa itu, tetapi juga tata bahasa dan
intonasi pengucapannya.
Adapun bahasa Tegal masih banyak persamaan kosakata, dan yang
sudah pasti persamaan tata bahasanya sangat dekat dengan bahasa Jawa. Bahasa
Tegal juga punya tingkatan-tingkatan bahasa (ngoko, kromo).
Dalam ilmu psiko-linguistik (ilmu psikologi yang mempelajari
latar belakang kejiwaan dari setiap kata atau kalimat) perbedaan bahasa
adalah cerminan dari perbedaan budaya dan cara berpikir.
Jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Suroboyoan, maka mungkin
perbedaan kosakata antara bahasa Jawa (yang bahasa bakunya dituturkan oleh
orang-orang di Yogyakarta dan Solo) dan bahasa Surabaya, sama banyaknya
dengan perbedaan kosakata antara bahasa Tegal dan bahasa Jawa, apalagi antara
bahasa Tegal dan bahasa Surabaya.
Artinya, ketiga bahasa itu sebetulnya mencerminkan perbedaan
psikologi orang Tegal, Surabaya, dan Jawa. Terlebih kalau kita bergeser ke
arah barat (Sunda) atau ke Timur (Madura, Bali). Bahasa-bahasa itu banyak
persamaannya dengan bahasa Jawa, karena induknya sama, yaitu bahasa Jawa
kuno.
Tetapi saya, yang orang Tegal, mengerti hampir 100% bahasa Jawa,
mungkin 50% bahasa Madura, namun hanya 10% bahasa Bali. Adapun bahasa Sunda
saya mengerti sekitar 80% karena saya memang pernah bersekolah di Bogor, Jawa
Barat. Inilah perbedaan antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Di Indonesia, bahasa dan budaya lokal yang sangat bineka itu
berakar pada masyarakatnya dan tanah airnya masing-masing. Bahasa-bahasa dan
suku-suku bangsa ini dipersatukan menjadi satu nusa, satu bangsa dan satu
bahasa oleh Sumpah Pemuda.
Di AS, beraneka bangsa datang ke sebuah benua yang kosong
(kecuali yang dihuni oleh beberapa suku Indian), dan mereka meninggalkan adat
kebudayaannya di negara masing-masing untuk beradaptasi dengan adat
kebudayaan yang baru, yaitu Amerika dan bahasa yang baru yaitu bahasa
Inggris.
Di Amerika, tidak peduli orang berkulit hitam, merah, kuning,
putih atau cokelat (tidak ada kulit hijau atau pink) sama-sama lebih merasa
dirinya sebagai orang Amerika, ketimbang sebagai orang dari Italia, India,
Cina, atau Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar