Selasa, 08 September 2015

Lindungilah Keindahan!

Lindungilah Keindahan!

Jean Couteau  ;  Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 06 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Bak mutu manikam yang membujur di sepanjang khatulistiwa”. Sewaktu sekolah dasar dahulu kala, ketika mendengar bapak atau ibu guru berbicara tentang Indonesia dengan metafora indah seperti di atas, Anda saya yakin terharu, bahkan bangga tentang negeri kelahiran Anda ini. Apalagi apabila disusul dengan kalimat yang berbicara tentang ”hamparan sawah permai yang membentang sejauh mata memandang”. Enak didengar, maka Anda bangga! Seakan-akan pernyataan di atas adalah identik dengan kenyataan!

Maaf! Terpaksa saya segera memotong dengan berseru: ”Omong kosong!” Bualan tentang keindahan Indonesia dijadikan tameng untuk menutupi kenyataan bahwa keindahan itu (hampir) tidak pernah diperhatikan, atau, paling sedikit, tidak pernah menjadi pertimbangan kebijakan, bahkan di dalam hal pariwisata sekali pun. Dengan terlalu sedikit perkecualian, keindahan yang kini tersisa di Indonesia hanyalah keindahan alam—yaitu alam yang belum tersentuh manusia modern.

Keseimbangan antara alam dan manusia yang sedemikian dikagumi ”tempo doeloe” tinggal kenangan dan foto lama. Peraturan tentang ”heritage”, arsitektur tradisional dan perlindungan lingkungan selalu dilanggar. Kalaupun dipatuhi, penuh dengan kepura-puraan, dan hanya ”sebentar”, untuk kemudian dibelokkan dengan jeli. ”Duit/fulus” yang unggul, bukan hasrat mencari keindahan.

Kenapa saya berbicara sekasar ini? Karena diminta! Diminta oleh rakyat Ubud, baru-baru ini, tanggal 30 Agustus lalu, di dalam suatu diskusi terbuka, bahkan diimbau juga oleh anggota kaum puri (istana) Ubud. Apabila tidak ”berteriak” sekarang, apa yang tengah terjadi di Ubud pasti akan menimpa semua daerah wisata lainnya. Keburukrupaan lingkungan bakal merajalela. Sudah telat untuk Kuta, kini ia sudah mulai menjangkiti Sanur, Labuhan Bajo, Senggigi, Pangandaran, dan lain-lainnya.

”Tolong, Pak Jean, jangan segan-segan berbicara gamblang,” kata Tjokorde ”K” yang saya temui pada waktu kami sama-sama mengantar seorang tokoh tua di-aben beberapa hari yang lalu, ”Tidak ada satu pun di antara kami yang setuju dengan ”city hotel” yang bermunculan di Ubud… tetapi tahu-tahu sudah ada izin prinsip, dan sebentar lagi sudah berdiri.”

Ya, Anda mendengar istilah sang Tjokorde yang kesal itu: ”city hotel!” Di sebuah kota kecil yang konon dibanggakan sebagai pusat kebudayaan Bali.

”City hotel” dengan standar internasional, lengkap dengan brosur gombal tentang Bali asli yang langgeng. Dan memang, sudah telat: ”city hotel” sudah ada di Ubud, berbentuk kotak dan buruk sekali…. Lebih memprihatinkan lagi sudah bertebaran pula pilar-pilar beton yang menjanjikan akan ada lagi ”city hotel” di sana, lalu di sini. Habis ”city hotel”, gedung buruk apa lagi yang akan muncul? Tanah mana yang akan direbut pengusaha properti asing?

Jadi Ubud, kota mungil nan tradisional yang berkat promosi dari mulut ke mulut telah berhasil tampil sebagai ”pusat kebudayaan Bali”, kini terancam kehilangan daya tariknya akibat serangan pengusaha-pengusaha properti yang semuanya memuji-muji keindahan Bali dan Indonesia sembari mengkhianatinya. Penduduknya resah, dan saya pun resah melihat bahwa kelanggengan pariwisata berikut kesejahteraan terkait terancam dikorbankan demi pertimbangan ekonomi jangka pendek yang hanya menguntungkan segelintir investor predatoris.

Gugatan saya ini jangan disalahpahami. Jangan dianggap harus dibatasi pada Ubud saja. Saya dan 90% masyarakat Ubud serta semua pencinta budaya Indonesia tidak meminta agar pembangunan pariwisata dihentikan. Kami meminta ia dikekang oleh peraturan yang tegas dan jelas: jangan membiarkan daerah yang masih memiliki arsitektur tradisional dirusak; buatlah, dengan bantuan drone, inventarisasi dari semua daerah, terutama arsitektur, yang memiliki kekhasan dan, apabila diberikan izin, berjagalah agar arsitektur itu mengikuti kaidah-kaidah lokal.

Apabila tidak mungkin dilakukan, bangunlah daerah pariwisata baru, dengan tata kota dan arsitektur yang padu homogen, seperti pernah dilakukan di Nusa Dua. Agar sesuai dengan selera rakyat setempat, bersama mereka lakukan kontrol terhadap spekulasi tanah, lindungilah lahan produktif dan permudahlah kucuran dana bagi pengusaha lokal, dan perketatlah kredit bank bagi pengusaha raksasa.

Apakah yang saya tuliskan di atas penting? Apakah memang perlu melindungi keindahan? Ya, agar Anda sekalian membanggakan sesuatu yang nyata, bukan mitosnya. Agar yang membujur di sepanjang khatulistiwa tetap mutu manikam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar