Paradigma Baru Uji Kelayakan
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
19 September 2015
Tahap akhir penentuan
anggota Komisi Yudisial dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi segera
berlangsung di Senayan. Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat, tahap ini akan dilaksanakan oleh Komisi III, yaitu komisi yang
menangani soal hukum, hak asasi manusia, dan keamanan.
Sebagai tahapan paling
menentukan, sebelum Komisi III melaksanakan proses ini, beberapa catatan
perlu dikemukakan. Tidak hanya disebabkan alasan memperbaiki kualitas
pengisian di internal DPR, tetapi sekaligus menutup kemungkinan adanya sisi
lemah proses yang dilakukan panitia seleksi. Apalagi, model paket dalam
pemilihan atau penentuan nama final telah sejak lama mengundang kritik.
Panel ahli
Meskipun penentuan
anggota Komisi Yudisial (KY) dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sama-sama berada dalam wilayah Komisi III, sesuai dengan ketentuan yang ada,
prosesnya akan memiliki perbedaan sangat mendasar. Sebagai lembaga yang
diatur dalam UUD 1945, wewenang DPR dalam penentuan akhir calon anggota KY
sangat terbatas. Secara konstitusional, batasan tersebut disebabkan adanya
pengaturan Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPR hanya
memberikan persetujuan terhadap calon anggota KY.
Bilamana diletakkan
pada hasil proses seleksi, persetujuan dimaksud tentu saja terhadap nama-nama
yang dihasilkan panitia seleksi. Karena itu, panitia seleksi hanya
menyampaikan nama sesuai jumlah anggota KY. Meskipun demikian, Komisi III
dapat saja menolak memberikan persetujuan sebagian atau keseluruhan nama yang
dihasilkan. Artinya, sekalipun terdapat pembatasan, wewenang berupa
"persetujuan" yang diberikan Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945, Komisi
III bisa saja tak menyetujui hasil panitia seleksi.
Berbeda dengan KY,
dalam pengisian pimpinan KPK, Komisi III disediakan calon dua kali dari
kebutuhan sesungguhnya. Karena itu, anggota Komisi III harus menentukan
pilihan. Dalam posisi seperti itu, Komisi III sangat mungkin keluar dari
model pembatasan yang didesain panitia seleksi. Panitia Seleksi 2011,
misalnya, berupaya mempersempit pilihan anggota Komisi III dengan cara
memberi peringkat, tetapi disebabkan adanya wewenang "memilih",
Komisi III mengabaikan peringkat tersebut. Artinya, amat mungkin model pengelompokan
calon yang dilakukan Panitia Seleksi 2015 akan mengalami nasib serupa dengan
model peringkat Panitia Seleksi 2011.
Berkaca dari
pengalaman proses internal di DPR, demi alasan mengedepankan obyektivitas,
menjadi jauh lebih baik jika Komisi III meneguhkan model seleksi dengan cara
melibatkan panel ahli. Secara hukum, pelibatan panel ahli dimungkinkan karena
Peraturan Tata Tertib DPR menyerahkan tata cara pelaksanaan seleksi dan
pembahasan kepada setiap komisi. Hal itu dimungkinkan sepanjang tidak menafikan
penelitian administrasi, penyampaian visi dan misi, uji kelayakan (fit and proper test), dan tetap
membuka partisipasi publik.
Dalam persetujuan
anggota KY, misalnya, panel ahli penting dihadirkan Komisi III guna mendalami
pemahaman dan penguasaan calon terkait wewenang "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim" sebagaimana termaktub
dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945. Merujuk bentangan empirik yang ada,
pemahaman di sekitar wewenang ini sangat penting karena kegaduhan hubungan KY
dan Mahkamah Agung (MA) selama ini sebagian dipicu perbedaan persepsi kedua
lembaga ini ihwal wewenang tersebut.
Selain itu, yang tidak
kalah penting panel ahli diperlukan untuk menelusuri gagasan calon anggota KY
terkait dengan reformasi MA dan lingkungan peradilan di bawahnya.
Bagaimanapun, jika ditelusuri kembali semangat dan perdebatan di sekitar
reformasi kekuasaan kehakiman selama perubahan UUD 1945, kehadiran KY adalah
bagian dari strategi mereformasi MA. Karena itu, selain memahami wewenang
seperti dimaksudkan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, calon anggota KY harus
memiliki gagasan yang masuk akal ihwal pembaruan MA.
Begitu pula dengan
calon pimpinan KPK, panel ahli berguna untuk membantu Komisi III dalam menelusuri
dan mendalami pemahaman calon dengan posisi sentral KPK sebagai lembaga yang
diberi wewenang khusus dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selain soal
tindak pidana korupsi yang kian kompleks dan rumit, panel ahli juga dapat
menelusuri bagaimana calon menempatkan KPK dalam relasi dengan lembaga
penegak hukum lain, terutama kepolisian dan kejaksaan. Banyak pihak
berpandangan, pemahaman secara benar wewenang KPK dan model hubungan dengan
lembaga penegak hukum yang lain akan sangat menentukan masa depan KPK.
Namun, perlu dicatat,
sekalipun panel ahli menjadi kebutuhan yang mendesak, kehadirannya tidak
boleh mereduksi wewenang Komisi III dalam menyetujui calon anggota KY dan
memilih calon pimpinan KPK. Dalam posisi seperti itu, kehadiran panel ahli lebih
banyak dimaksudkan untuk menaikkan bobot proses internal DPR. Oleh karena
itu, mereka yang tergabung dalam panel ahli hanya sebatas memberi catatan
tambahan kepada anggota Komisi III. Merujuk pengalaman seleksi calon hakim
konstitusi di Komisi III tahun 2014, kehadiran panel ahli sama sekali tak
mereduksi wewenang DPR dalam pengajuan hakim konstitusi.
Paket calon
Selain dorongan
membentuk panel ahli, masalah lain yang selama ini menjadi sorotan adalah
pemilihan calon dengan sistem paket atau anggota Komisi III memilih sesuai
dengan jumlah anggota lembaga atau komisi yang diisi. Dengan pola pemilihan
sistem paket, semua kekuatan politik di setiap komisi akan lebih banyak
bergerak dalam kepentingan pragmatis, yaitu menjadi bagian dari paket
sehingga menjadi kekuatan mayoritas. Dengan sistem paket, kelompok yang
menguasai suara mayoritas akan menguasai semua calon yang ada dalam paket
mereka.
Dalam pemilihan
pimpinan KPK, bilamana fraksi bergabung dan menghimpun kekuatan mayoritas di
Komisi III, lima calon unsur pimpinan KPK akan dikuasai oleh satu kelompok. Selain tidak sejalan dengan prinsip satu anggota memiliki
satu suara (one man one vote principle),
model paket penentuan calon jelas memelihara tirani mayoritas dalam
pengambilan keputusan. Dari komposisi anggota DPR saat ini, misalnya, bilamana PDI-P,
Golkar, Gerindra, dan Demokrat bergabung dalam satu paket, dapat dipastikan
nama-nama yang disepakati paket empat fraksi ini akan menjadi pimpinan KPK.
Agar tidak terjadi penguasaan oleh satu paket kelompok,
semua fraksi harus membangun kesepakatan meninggalkan model pemilihan satu
anggota memilih lima calon dan kembali ke model satu orang anggota Komisi III
memilih satu calon. Oleh karena itu, kekuatan politik di Komisi III seharusnya
memulai proses akhir persetujuan anggota KY dan pemilihan pimpinan KPK dengan
membongkar kembali model pemilihan paket. Bahkan, dalam batas penalaran yang
wajar, kemungkinan mewujudkan panel ahli akan kehilangan makna pentingnya
bilamana pemilihan tetap dengan sistem paket.
Di tengah berbagai
tudingan miring yang mengarah ke DPR, lembaga ini memiliki kesempatan sejarah
untuk menjawab berbagai kritik. Salah satu kesempatan tersebut dapat dilihat
dari ada tidaknya keinginan untuk melakukan pembaruan (reformasi) pengisian
lembaga negara atau komisi negara. Seandainya mau berubah, mengakomodasi
paradigma baru dalam uji kelayakan tersebut dapat dipastikan akan mampu
mengubah dan menggeser cara pandang masyarakat dengan sendirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar