Demokrasi Konsosiasional
Sebagai Solusi di Timur Tengah?
Ibnu Burdah ; Koordinator Program Kajian Timur Tengah,
Sekolah Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 19 September 2015
Popularitas gagasan
"demokrasi" menguat secara drastis di masyarakat Timur Tengah sejak
akhir 2010. Berkobarnya gerakan rakyat untuk menjatuhkan diktator di Tunisia,
Mesir, Yaman, dan lain-lain adalah manifestasi yang jelas dari gerakan
demokratisasi yang melibatkan aktivisme masyarakat dalam skala luas.
Namun ekses yang
benar-benar tak terduga dari gerakan rakyat itu selama sekitar lima tahun ini
telah menumbuhkan frustrasi mendalam akan terbangunnya demokrasi di
masyarakat Timur Tengah. "Musim Semi" (baca gerakan demokratisasi
rakyat melalui protest movement) telah berubah menjadi konflik antarkelompok
baik sekte-sekte agama maupun suku-suku, bahkan antarkelompok lintas negara.
Pada tingkat tertentu, konflik itu bahkan sudah menjadi konflik antarkelompok
kekuatan di kawasan yang membawa bencana kemanusiaan dalam skala luas dan
lama. Suasana itu sekaligus telah menjadi lahan subur bertumbuhnya
kelompok-kelompok ekstremis radikal.
Kenyataan ini jelas
mengancam masa depan demokrasi di kawasan itu. Pandangan mengenai
inkompatibilitas gagasan demokrasi dengan masyarakat Timur Tengah yang
berbasis suku dan sekte agama kini memperoleh argumen baru yang sulit
dibantah. Masa depan demokratisasi di Timur Tengah semakin mencemaskan.
Padahal kecemasan semacam ini sudah banyak sekali dikemukakan para pemikir
Arab jauh sebelum menjalarnya "Musim Semi Arab" seperti Muhammad
Abid al-Jabiri, Mustofa al-Fiqi, dan Halim Barakat. Mereka umumnya
memperkirakan persoalan sekte dan suku akan menjadi penghalang besar bagi
proses demokratisasi di Timur Tengah.
Dan, itu ternyata
benar-benar terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Rezim-rezim yang sedang
berkuasa memahami kelemahan masyarakatnya. Karena itu, mereka seoptimal
mungkin mengeksploitasi masalah suku dan sekte agama untuk membendung gerakan
demokratisasi dari rakyat di satu sisi, dan menggunakannya untuk
menghancurkan kekuatan musuh di sisi lain.
Di tengah situasi
semacam ini, jika jalan demokrasi ditempuh di sebagian negara-negara itu,
model demokrasi yang mungkin menguat di dalam praktek adalah demokrasi
konsosiasional. Inti konsep itu adalah power sharing, pembagian kekuasaan
didasarkan pada porsi kelompok etnis atau sekte keagamaan yang ada dalam
masyarakat negara bersangkutan secara proporsional. Demokrasi ini sangatlah
elitis, karena ia biasanya adalah hasil dari "pemufakatan" para
elite yang kemudian dilegalkan menjadi ketentuan formal seperti di Lebanon.
Praktek demokrasi
konsosiasional yang menonjol adalah di Lebanon, yang membagi kekuasaan kepada
tiga golongan utama negeri itu, yakni Sunni, Kristen Maronit, dan Syiah.
Menurut konstitusi Lebanon, perdana menteri dijabat oleh mereka yang berasal
dari kaum Sunni, sedangkan presiden dijabat dari kaum Kristen Maronit, dan
ketua parlemen dari kaum Syiah. Praktek ini masih berlaku hingga sekarang
kendati saat ini mengalami ujian yang begitu berat.
Kendati tak
"sevulgar" di Lebanon, praktek berdemokrasi di Irak dalam beberapa
waktu belakangan ini juga demikian. Presiden, jabatan "simbolis",
biasa diserahkan kepada kelompok Kurdi yang sebelum ini menjadi kelompok paling
tertindas dan terpinggirkan. Sedangkan jabatan perdana menteri, pemegang
kekuasaan eksekutif tertinggi, biasanya dimenangi oleh kelompok Syiah.
Sedangkan wakil presiden kecenderungannya diserahkan kepada kaum Sunni.
Konflik Sunni-Syiah di
Yaman berpotensi menjadikan gagasan demokrasi konsosiasional sebagai solusi
di negara itu. Gagasan ini sebenarnya cukup kuat di lapangan sebelum ofensif
besar-besaran koalisi pimpinan Saudi ke negeri itu. Namun ofensif Saudi yang
berimbas pada konflik horizontal berskala luas di Yaman sepertinya semakin
menjauhkan semangat "demokrasi" yang telah dipilih rakyat Yaman,
terutama melalui gerakan rakyat menjatuhkan Presiden Saleh dan Dialog
Nasional.
Demokrasi
konsosiasional tentu bukan demokrasi yang ideal. Demokrasi itu biasanya di
dalam praktek justru mempertegas sekat-sekat sosial yang telah ada di
masyarakat. Contoh, kehidupan sosial di Lebanon dan Irak yang saat ini
semakin tersekat-sekat ke dalam sekte atau kelompok etnis yang ada. Sistem
politik itu cenderung tidak menyatukan, tapi justru menegaskan keterpisahan.
Ketegangan di level masyarakat tentu juga berpengaruh pada kesatuan
negara-bangsa tempat mereka hidup bersama.
Demokrasi
konsosiasional juga cenderung bersifat jangka pendek. Dalam kurun 20-30 tahun
saja, perubahan demografis anggota kelompok-kelompok di masyarakat bisa
berubah secara signifikan. Hal inilah yang terjadi di Lebanon. Sistem
konsosiasional terus saja digugat. Sebab, kelompok Syiah yang dulu di urutan
nomor tiga dalam jumlah penduduk, kini merasa memiliki konstituen yang lebih
besar daripada kelompok lain. Karena itu, demokrasi konsosiasional bisa
menjadi solusi jangka pendek, tapi justru bisa menjadi bumerang jika
dipraktekkan dalam jangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar