Pandai Memetik Hikmah
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for Development of Economics and Finance
|
KOMPAS,
28 September 2015
Setiap kali terjadi
pelemahan nilai tukar rupiah, selalu muncul kekhawatiran dan kecemasan
kalangan dunia usaha ataupun masyarakat secara luas. Apalagi ketika
depresiasi rupiah terus berlanjut dan nilai tukarnya sudah di bawah nilai
tukar yang sebenarnya atau undervalue.
Mengapa pelemahan
nilai tukar memiliki pengaruh yang dominan dalam perekonomian Indonesia?
Sebaliknya, beberapa negara, seperti Tiongkok, Jepang, dan Vietnam, justru
menggunakan strategi sengaja memperlemah mata uang guna mengatasi pelambatan
ekonomi di dalam negeri. Artinya, pelemahan nilai tukar suatu negara
sebenarnya tidak selalu berarti menjadi lonceng kematian dunia usaha.
Namun, Indonesia tidak
mampu memetik pelajaran dari krisis ekonomi 1997/1998. Negara ini justru
kembali terantuk pada persoalan yang sama secara berulang. Meskipun
menghadapi kondisi dan tantangan yang berbeda, secara fundamental sumber
utama persoalan krisis nilai tukar ini tetap sama, yakni keseimbangan
permintaan dan pasokan dollar AS. Tekanan permintaan dollar AS terbesar tentu
karena ketergantungan impor. Yang lebih parah, ketergantungan impor terletak
pada urat nadi sistem produksi, yaitu impor bahan baku, bahan penolong, dan
barang modal. Bahkan, Indonesia mengimpor energi.
Akibatnya, tekanan
biaya produksi terjadi pada hampir semua industri pengolahan kendati bahan
baku tidak sepenuhnya impor. Persoalan tersebut yang akhirnya menyandera
momentum pelemahan nilai tukar, yang tidak menjadi sumber berkah ekspor.
Pelemahan rupiah justru memperlemah daya saing produk industri.
Adapun pasokan dollar
AS sangat tergantung dari kinerja ekspor. Pelajaran yang terabaikan adalah
Indonesia selalu terbuai kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan memiliki
kekuatan pasar yang besar. Harus diakui, sekalipun pada 1997 nilai tukar
rupiah anjlok menjadi Rp 17.000 per dollar AS, saat itu masih terjadi booming
harga komoditas. Maka, berkah ekspor masih bisa dinikmati.
Beberapa daerah di
luar Jawa yang mayoritas penghasil komoditas, seperti karet, minyak sawit,
rotan, dan kakao, justru meraup keuntungan berlipat. Demikian pula sektor
usaha mikro, kecil, dan menengah di Jawa tidak sedikit yang menikmati berkah
ekspor produk furnitur dan kerajinan lain. Kondisi ini mendongkrak daya beli
masyarakat di daerah, terutama di pedesaan, di tengah tekanan kenaikan harga
berbagai produk industri. Maka, banyak kalangan berseloroh, krisis ekonomi
1997/1998 lebih banyak dialami masyarakat perkotaan Pulau Jawa, bukan
Indonesia secara keseluruhan. Sebaliknya, dalam kondisi pelemahan rupiah pada
2015, yang langsung terkena dampaknya adalah daerah penghasil komoditas.
Dua uraian singkat
tersebut semestinya sudah dapat dijadikan peta jalan untuk memitigasi potensi
krisis yang bersumber dari nilai tukar. Untuk menghilangkan tekanan
permintaan dollar AS, kebijakan pemerintah dapat dikerucutkan untuk segera
fokus pada industri substitusi impor dan diversifikasi energi. Jika sudah
jelas dewa penolong pada krisis 1997 adalah harga komoditas, antisipasi
mitigasi risiko semestinya fokus pada langkah penyelamatan sang pahlawan ini.
Artinya, berbagai strategi harus disiapkan, terutama antisipasi ketika harga
komoditas tertekan. Idealnya program percepatan hilirisasi industri sudah
menjadi tekad bulat, bukan sekadar wacana.
Jika pemetaan masalah
sudah jelas, hal itu akan memudahkan arah dan konsistensi kebijakan.
Penyusunan skala prioritas dalam jangka pendek dan jangka panjang memiliki
arah yang jelas. Kebijakan yang diluncurkan pun bukan sekadar kebijakan ad
hoc yang hanya merespons persoalan jangka pendek, melainkan juga menjadi
kebijakan yang komprehensif berkesinambungan. Artinya, di samping
menyelesaikan persoalan jangka pendek, kebijakan itu sekaligus memperbaiki
struktur ekonomi dan menyelesaikan problem fundamental dalam jangka menengah
panjang.
Tentu yang dibutuhkan
adalah ketepatan, kecepatan, dan efektivitas kebijakan. Potensi untuk
terhindar dari jebakan krisis masih terbuka lebar. Dalam jangka pendek, tentu
cukup sulit untuk memobilisasi dana yang masuk sekalipun dengan iming-iming
pemberian pembebasan pajak (tax holiday) ataupun pengurangan pajak (tax
allowance). Harus ada implementasi kebijakan yang konkret untuk mengurangi
tekanan terhadap permintaan dollar AS. Pada akhir tahun lalu, pemerintah
sudah mewacanakan pemberian insentif bagi korporasi asing yang
menginvestasikan kembali keuntungan perusahaan. Langkah ini akan berdampak
signifikan terhadap tekanan kebutuhan repatriasi devisa. Demikian juga
penegakan hukum terhadap aturan penggunaan mata uang rupiah untuk seluruh
transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan perbaikan
jangka menengah juga tetap harus konsisten, terutama program yang konkret
memberikan insentif untuk mendorong industri substitusi impor, hilirisasi
industri, dan diversifikasi pasokan energi. Keseriusan pemerintah ini akan
memberikan optimisme dan keyakinan pasar bahwa ekonomi Indonesia akan kembali
tumbuh. Program ini tidak akan mampu diselesaikan dalam jangka pendek. Namun,
di masa yang akan datang, dapat dipastikan Indonesia akan terhindar dan berhenti
menghadapi potensi krisis nilai tukar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar