Meneropong Paket Kebijakan Fiskal
Irwan Wisanggeni ;
Dosen Trisakti School of Management
|
KOMPAS,
28 September 2015
Respons cepat Presiden
Joko Widodo dalam menanggapi kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk dengan
membuat paket kebijakan ekonomi patut diacungi jempol. Diluncurkannya paket
kebijakan ekonomi pada bulan September (Paket September I) lalu menjelaskan
kepada rakyat bahwa pemerintah sekarang tidak berpangku tangan dalam
memperbaiki perekonomian nasional yang sedang merosot.
Ada tiga langkah yang
dibuat oleh pemerintah pada paket ini. Langkah pertama, mendorong industri
nasional melalui deregulasi dan debirokratisasi serta penegakan hukum dan
kepastian usaha. Ada 89 peraturan yang dirombak dari 154 peraturan yang masuk
ke dalam tim.
Perombakan itu bisa
menghilangkan duplikasi dan memangkas peraturan yang tidak relevan yang
ujung-ujungnya menghambat daya saing. Selain itu, pemerintah juga melakukan
penyederhanaan izin dan meningkatkan sinergi serta menggunakan pelayanan
berbasis elektronik.
Langkah kedua, ada
proyek strategis nasional dengan percepatan pengadaan barang dan jasa,
penyederhanaan izin, dan tata ruang. Pemerintah pun akan memperkuat peran
kepala daerah untuk mendorong proyek strategis nasional.
Langkah ketiga, meningkatkan
investasi di sektor properti. Pemerintah mendorong masyarakat berpenghasilan
rendah dengan meningkatkan investasi di bidang properti.
Nilai tukar dan regulasi
Kelesuhan ekonomi saat
ini terjadi karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat (terakhir mencapai level Rp 14.000 lebih per dollar AS) yang
mengundang efek domino ke berbagai sendi perekonomian.
Beberapa perusahaan
yang membeli bahan baku dari luar negeri dan memiliki utangdalam bentuk
dollar AS terancam mengalami kebangkrutan. Bersanding lurus dengan hal ini
adanya penurunan ekonomi secara global.
Namun, persoalan
melemahnya nilai tukar bukan hal satu-satunya yang menyebabkan perekonomian
Indonesia melambat. Beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah juga
ikut mendorong terjadinya kelesuan ekonomi. Misalnya, pada bulan Juli 2015
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang membatasi penggunaan mata uang rupiah
hanya untuk transaksi bisnis di dalam negeri.
Peraturan ini
dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015.
Diberlakukannya peraturan ini membuat pelaku bisnis tidak nyaman karena
mereka menggunakan modalnya untuk membeli barang dalam mata uang asing,
sedangkan pada saat yang sama mereka menjual produknya dalam mata uang rupiah
yang nilainya saat ini tidak stabil. Hal ini memberikan risiko rugi pada
pelaku usaha. Situasi tersebut menjadi salah satu pemicu melemahnya
perdagangan secara nasional.
Kebijakan perpajakan
juga memperlemah perekonomian secara makro. Misalnya, Peraturan Direktur Jenderal
Pajak (PER) Nomor 19/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 (PPh 22) atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang
dikenai tarif 5 persen dari harga dasar. Dalam Pasal 2 PER Nomor 19/PJ/2015
tersebutpenentuan harga dasar untuk perhitungan pajak adalah berdasarkan
harga tunai atau cash keras, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Bedanya dengan
peraturan yang sebelumnya berlaku adalah pada peraturan sebelumnya harga
dasarnya adalah jumlah yang dibayarkan pembeli kepada penjual tidak termasuk
PPN dan PPnBM. Bukankah PER 19/PJ/2015 menjadikan nilai yang tinggi terhadap
dasar perhitungan pajak barang sangat mewah?
Peraturan ini bisa
saja akan memperlesu perekonomian, khususnya pada sektor bisnis properti,
seperti rumah, apartemen, kondominium yang harga jualnya di atas Rp 5 miliar
atau luas bangunannya lebih dari 150 meter persegi. Fakta di lapangan,
penjualan properti saat ini mengalami penurunan sebesar 26 persen pada
semester pertama 2015 dibandingkan dengan semester pertama tahun lalu.
Padahal, jika sektor
properti berjalan bagus, pemerintah mendapatkan PPh Final atas penjualan
tanah dan bangunan sebesar 5 persendari harga jual (ditanggung penjual),
selain juga memperoleh pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah Bangunan(BPHTB)
sebesar 5 persen dari harga jual (ditanggung pembeli). Dua pajak tersebut
merupakan pemasukan negara yang sangat signifikan.
Jadi, dari analisis di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa selain melemahnya nilai tukar rupiah dan
melemahnya perekonomian global, faktor kebijakan pemerintah juga ikut
berkontribusi. Pemerintah perlu meninjau ulang semua kebijakan yang
memperlambat dunia usaha dan menggantinya dengan kebijakan yang pro dunia
usaha, mencabut semua aturan yang tak mendukung dunia usaha.
Investasi dalam negeri
Beberapa paket
kebijakan fiskal September 2015 ini tampaknya ingin menggantang investasi
asing. Namun, sebenarnya investasi dari dalam negeri di sektor riil juga
harus diberi perhatian, dengan memberikan kredit serta modal kerja dan
mempermudah pengusaha UKM mengakses bank untuk mendapatkan kredit. Sebab,
pada tahun 1997-1998 yang menyelamatkan perekonomian Indonesia saat itu
adalah para pelaku UKM, bukan para konglomerat yang pada saat itu dimanja
dengan berbagai kebijakan oleh pemerintahan Orde Baru.
Semoga paket kebijakan
ini bisa berjalan efektif walaupun jurus-jurus yang digunakan tetap
menggunakan cara-cara yang tidak mengandung kebaruan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar