Menyoal Lemahnya Penyerapan Anggaran
Jazilul Fawaid ; Wakil Ketua Banggar DPR
|
JAWA
POS, 14 September 2015
SUDAH hampir genap setahun Presiden Jokowi
menjadi nakhoda republik ini. Namun, di masa kepemimpinannya, bangsa ini
masih menghadapi banyak persoalan. Yang sangat mencolok tentu saja soal lemah
dan lesunya sektor perekonomian nasional.
Berdasar laporan dan data Kementerian Keuangan
(Kemenkeu), penyerapan anggaran belanja pemerintah selama semester I 2015
hanya Rp 773,9 triliun. Angka itu sesungguhnya meningkat dibandingkan tahun
2014 yang hanya Rp 759,9 triliun. Tapi, diperkirakan signifikansi peningkatan
penyerapan belanja pemerintah tahun ini hanya 1,8 persen.
Jika melihat total alokasi APBNP 2015 yang
mencapai Rp 1.984,4 triliun, bisa dipastikan daya serap dan daya belanja
pemerintah sangat lemah. Daya serap pemerintah hanya berada di kisaran 39
persen.
Dalam sebuah kesempatan di hadapan para
pejabat daerah di seluruh Indonesia, Presiden Jokowi pernah mengatakan,
’’Kita ini ada duit, kementerian ada duit, BUMN ada duit, daerah ada duit.
Tinggal membelanjakan uang itu, tapi mengapa tidak bisa cepat?’’
Pertanyaan, atau lebih tepatnya gugatan, itu
sesungguhnya tamparan tajam kepada para birokrat. Bahwa lemahnya daya serap
anggaran ternyata menjadi problem utama mandeknya perekonomian bangsa.
Penyerapan anggaran sesungguhnya penting untuk
mendorong multiplier effect terhadap kerja birokrasi dan perekonomian. Di
sisi lain, oposisi biner dari keadaan ini adalah, jika pemerintah gagal
menyerap anggaran, perekonomian akan lesu. Logikanya, berarti ada dana dan
uang yang nganggur di sana.
Dalam bahasa yang lebih ringkas, gejala
tersebut biasa disebut sebagai inefisiensi anggaran. Itu berdampak langsung
pada lesunya nadi aktivitas perekonomian. Daya beli masyarakat melemah,
investasi domestik maupun asing juga menurun. Ujung-ujungnya tentu saja
perekonomian semakin lesu dan memburuk sebagaimana yang sedang kita alami
hari ini.
Empat Penyebab
Ihwal lemahnya daya serap anggaran ini, saya
mencatat sekurangkurangnya ada empat masalah klise yang menjadi penyebabnya.
Pertama, ketakutan yang berlebihan akan penggunaan anggaran.
Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Sebab, di
tengah semakin maraknya kasus pejabat pengguna anggaran yang tersangkut
korupsi, isu tersebut seolah menjadi momok bagi para pejabat pengguna kuasa
anggaran untuk tidak saja berhati-hati, tapi juga cenderung ’’menahan diri’’
untuk lebih baik tidak berbelanja daripada kelak berurusan dengan penegak
hukum.
Kedua, kurang sempurnanya konsep dan
perencanaan pembelanjaan anggaran. Akibatnya, para pengguna anggaran
menjalankan pelbagai program dengan cara sporadis dan serampangan tanpa road
map yang jelas. Biasanya, pada instansi yang memiliki problem seperti ini,
yang mereka jalankan sebatas rutinitas dan tradisi program yang berlangsung
sebelumnya.
Ketiga, kurangnya pemahaman tentang mekanisme
penggunaan anggaran. Ini
membuat para pengguna kuasa anggaran sering
tersangkut hal-hal teknis yang sifatnya berhubungan dengan tata laksana dan
regulasi anggaran.
Sebut saja tentang lemahnya pembuatan laporan.
Jika dikaji lebih jauh, hal itu sesungguhnya akan berdampak langsung pada
mata rantai lemahnya penyerapan anggaran.
Keempat, pendeknya tahun anggaran untuk
mengeksekusi sebuah proyek yang memiliki jangkau waktu lebih dari setahun.
Penyebab yang keempat ini sesungguhnya hanya terjadi pada proyek-proyek yang
berskala mega. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa tidak akuratnya pola ukuran
waktu tahun anggaran dengan kualitas proyek kerap kali mengakibatkan
mandeknya sebuah program.
Kita paham bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik
tidak terlepas dari topangan
banyak faktor. Di antaranya, APBN, APBD, BUMN,
serta investasi pihak swasta. Dengan kata lain, pergerakan belanja berbagai
unsur di atas, termasuk belanja investasi swasta di negeri ini, secara
langsung akan berdampak pada pergerakan ekonomi. Sebaliknya, mandeknya
belanja berbagai institusi di atas akan menjadi penyebab dominan mandeknya
perekonomian bangsa.
Pada posisi seperti ini, tidak ada langkah
yang lebih bijak dari pemerintah selain mengambil langkah-langkah konkret
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, pemerintah sudah
sepatutnya mengeluarkan kebijakan dalam rangka menggenjot pertumbuhan ekonomi
yang sedang lesu darah ini.
Karena itu, saya termasuk yang turut
berbahagia menyambut diputuskannya paket kebijakan ekonomi yang dibacakan
Presiden Jokowi (9/9). Setidaknya, itu merupakan ikhtiar pemerintah dalam
merespons kondisi perekonomian bangsa yang kian hari kian terpuruk saja.
Di luar itu, yang penting untuk diingat
sekaligus dijadikan pedoman pemerintah setiap kali mengambil kebijakan adalah
bahwa segala keputusan pemerintahan harus bermuara pada kemaslahatan rakyat.
Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan, tashorruful imam ala arroiyyah manuthun
bil maslahah, kebijakan seorang pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar