Egois Dua Tahun untuk Mendung Tebal
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 14 September 2015
Selama seminggu
kemarin, tiga kali saya diminta berceramah oleh perusahaan besar yang sedang
mengumpulkan manajer mereka. Tema besarnya: Apa yang harus dilakukan di saat
yang sulit seperti ini?
Saya bilang, saya
bukanlah ahli di bidang itu. Tapi, tiga kali berhasil melewati krisis (1988,
1998, dan 2008) membuat saya belajar banyak. Pada 1988, kebijakan uang ketat
sangat memukul ekonomi. Pada 1998, krisis moneter menghancurkan banyak hal,
termasuk kekuasaan negara. Pada 2008, ekonomi negara sebesar AS kelimpungan.
Yang sudah pasti:
Semua itu tidak bisa diatasi dengan hanya ngomong doang. Karena itu, jangan
mengeluh terus, jangan marah-marah, jangan menyalahkan siapa pun, dan jangan
pula punya mental denial. Cukuplah itu diwakilkan kepada politisi.
Misalnya, ada manajer
perusahaan yang mengajukan persoalan begini: Kok harga BBM nonsubsidi kita 50
persen lebih mahal daripada Singapura? Rupanya, perusahaan itu memerlukan
bahan bakar minyak (BBM) yang sangat besar. Tiap hari. Itu, katanya,
memberatkan perusahaannya.
Apalagi dalam situasi
sulit seperti ini. Kok pemerintah membiarkan hal itu terjadi. Kebijakan
tersebut membuat dia tidak bisa bersaing. Terutama dengan perusahaan luar
negeri.
Karena itu, saya
sarankan tidak perlu memperpanjang keluhan. Berjuang ke pemerintah pun belum
tentu bisa berhasil. Tiwas kehabisan tenaga dan waktu. Saya lebih menyarankan
begini: cari beberapa teman yang juga memerlukan banyak BBM.
Imporlah sendiri!
Kalau selisih harganya benar-benar 50 persen, untuk apa tidak memberontak?
Saya lihat, perusahaan itu mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Bahkan,
keluhan tersebut mungkin justru bisa jadi bisnis barunya.
Mungkin memang harus
membangun tangki atau menyewanya. Tapi, bukankah saat ini lagi
rendah-rendahnya harga baja? Bagi perusahaan yang masih punya uang, membangun
bisnis baru saat ini adalah yang terbaik. Mumpung semuanya lagi tertekan. Dua
tahun lagi, ketika ekonomi mulai baik, perusahaan barunya mulai berjalan.
Yang sulit adalah
mereka yang membangun bisnis baru dua tahun lalu. Saat investasi dulu,
semuanya lagi mahal. Ketika pabriknya selesai dibangun sekarang ini, ekonomi
lagi susah.
Kesulitannya berlipat-lipat:
harus menjalankan perusahaan baru, harus mengembalikan modal, dan harus
membayar utang. Sedang perusahaan baru itu belum mendapat pasar.
Pada saat sulit
seperti ini, orang-orang di lapangan biasanya lebih tepat untuk diajak
bicara: untuk menemukan jalan keluar, mencari terobosan, melahirkan ide, dan
mencari cara menghemat.
Inilah waktunya
direksi sebuah perusahaan harus lebih banyak mendengar para manajer mereka di
garis depan. Inilah saatnya direksi sebuah perusahaan berhenti berpidato.
Tidak ada gunanya
berpidato. Hasilnya nol. Juga harus berhenti memberikan petunjuk. Berhenti
marah. Berhenti mengandalkan gengsi dan tinggi hati. Inilah waktunya untuk
lebih banyak mendengarkan.
Dengan sikap rendah
hati dan pikiran terbuka. Untuk menerima usulan-usulan cerdas dari ujung
tombak. Terutama ujung tombak yang muda-muda. Yang umurnya 27-35 tahun.
Inilah saatnya semua
perusahaan hanya memikirkan nasibnya sendiri-sendiri. Tidak ada gunanya
memikirkan orang lain. Ini kelihatannya egois. Tapi, hanya sikap egois yang
bisa menyelamatkan perusahaan masing-masing. Berhentilah bersandar pada orang
lain. Termasuk bersandar pada pemerintah.
Saya membayangkan,
kalau sebagian besar perusahaan di Indonesia ngotot menyelamatkan perusahaan
masing-masing, akan banyak perusahaan yang selamat. Bahkan maju. Kalau
sebagian besar perusahaan selamat, berarti ekonomi kita selamat.
Jangan ada pikiran
kalau A bersaing dengan B, maka salah satunya akan kalah. Tidak begitu.
Bisa-bisa dua-duanya menang. Yang kalah mungkin C. Kalau C pun melawan, yang
kalah mungkin D.
Kalau semua perusahaan
di dalam negeri mulai A sampai Z saling melawan, bisa jadi ekonomi nasional
yang menang.
Kita menghadapi
setidaknya dua tahun yang sangat berat. Tapi, percayalah, mendung tebal tidak
akan menggelayut di satu tempat terus-menerus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar