Menenun Kebaikan
Iwan Pranoto ;
Guru Besar Matematika ITB
|
KOMPAS,
29 September 2015
Memang tak adil
menimpakan segala permasalahan sosial di masyarakat pada sistem pendidikan. Meski
demikian, sudahkah sistem pendidikan mendesain atau mereka cipta pembelajaran
bagi anak untuk mengembangkan kebaikan? Juga sebaliknya, apakah masih ada
bahan serta cara ajar yang justru menyemai kejahatan seperti kebencian
terhadap kelompok lain atau merendahkan insan yang berbeda? Negara dan rakyat
perlu yakin bahwa setiap anak belajar menenun kebaikan di dalam ruang
kelasnya agar dapat serasi bermasyarakat.
Kejuangan semu
Pendidikan pada
hakikatnya mengemban tugas mengembangkan nilai luhur kemanusiaan. Keserasian
sosial,kedamaian, serta peduli kepada sesama diasumsikan menjiwa dalam
hakikat pendidikan dan diri pelakunya. Walau mungkin bukan satu-satunya,
sistem pendidikan berperan sebagai salah satu sumber kebaikan dan pembangun
keteraturan sosial.
Pada praktiknya di
beberapa negara, dalam pengajaran sejarah nasional, misalnya, bangsa sendiri
selalu dituliskan sebagai pihak yang benar. Sebaliknya, bangsa lain
ditempatkan sebagai pihak yang salah. Kami benar mutlak, liyan salah mutlak.
Bangsa kami baik, bangsa asing jahat. Secara sistematis dan formal, ”kebencian”
terhadap kelompok asing disemai dari dalam kelas. Yang bertumbuh pada anak
akhirnya patriotisme semu, kejuangan hasil indoktrinasi, bukan hasil proses
bernalar.
Bagaimana pula mata
pelajaran Agama? Apakah kedamaian dan keserasian antarumat manusia senantiasa
dijuarakan dalam bahan ajarnya? Betapa bahaya dan ironis jika secara
terprogram pendidikan nasional justru menyokong penyebaran kebencian terhadap
liyan melalui mata pelajaran yang umumnya diasumsikan agung dan
digadang-gadang sebagai sumber moral.
Melalui buku Education and Social Order (1932, pp
92-101), matematikawan cum filsuf Bertrand Russell sudah tegas menyatakan
kritiknya pada pendidikan kepatriotan oleh sekolah Inggris di era kolonial.
Russell menyatakan, kepatriotan yang diajarkan sesungguhnya bagian dari upaya
Britania Raya melindungi atau mengajekkan kepentingan ekonomi dan politik di
sejumlah wilayah jajahan. Patriotisme atau kejuangan yang diajarkan di
sekolah tak lain upaya pembenaran untuk menjajah wilayah lain. Kejuangan jadi
identik dengan melindungi kepentingan negara walau dengan ongkos mencederai
nilai kemanusiaan. Kebaikan pun tak dijuarakan lagi, tetapi sekadar menjadi
bahan transaksional. Kebaikan bukan hal utama dan penting lagi.
Dengan
mengindoktrinasikan pengertian kejuangan semu yang diyakini banyak orang
sebagai suatu kenormalan ini, bahkan lalu dianggap norma, tindakan dan
pemikiran tak baik lambat laun jadi ”kebenaran”. Keadaan ini akan menyokong
kepandiran gerombolan. Merusak milik orang lain sampai menyakiti kelompok berkeyakinan
lain jadi bukan saja ”masuk akal” dan wajar, melainkan juga baik, bahkan
dipuji.
Jika anggapan
”kebenaran” ini dibiarkan berlanjut, benih keprimitifan, seperti kesamaan
fisik, agama, dan geografis, akan saling menguatkan. Ini akan jadi pemicu pengganggu
keteraturan sosial. Kini saatnya pendidikan dengan sengaja dan strategis
mengikis kejahatan sekaligus menyediakan lahan subur bagi kebaikan bertumbuh
di dalam kelas.
Sudah semestinya
mencintai bangsa sendiri tidak ekuivalen dengan membenci bangsa lain.
Menjunjung keyakinan sendiri tak ekuivalen dengan membenci kelompok
berkeyakinan lain. Perkembangan nilai kejuangan dalam diri pelajar amat
penting. Ini dapat dimulai dengan hal sederhana, seperti membangun hasrat
mengerjakan tugas belajar sebaik-baiknya.
Dua unsur penting
Guna memungkinkan
persekolahan memfasilitasi anak menenun kebaikan, perlu setidaknya membenahi
dua unsur, yakni bahan ajar dan cara ajar.
Untuk unsur pertama,
dapat dimulai dengan menyisipkan lebih banyak kebaikan ke dalam bahan ajar
Sejarah Nasional. Misalnya, mengangkat topik bagaimana para pemuda angkatan
1920-an menggagas Indonesia dengan bernalar. Taraf kejuangan para pelajar
kita bernalar tak kalah dibandingkan kegagahan mengangkat senjata. Mengulas
sisi kemanusiaan atau kehidupan para pelakunya juga akan membuat pelajaran
Sejarah Nasional lebih hidup, menarik, universal, dan sarat kebijaksanaan.
Kemudian, juga perlu
diangkat sisi kehidupan manusia awam, seperti bagaimana dari waktu ke waktu
masyarakat kita berpakaian, apa yang dimakan, bagaimana memasaknya, atau
bagaimana transportasinya. Ini akan mengimbangi bahan-bahan ajar yang melulu
sekitar perebutan kekuasaan, kekerasan, dan peperangan. Juga, anak akan
merasa dirinya turut menulis sejarah. Sejarah sejatinya menyangkut semua
kalangan manusia, tak identik dengan penguasa atau perang.
Unsur kedua, cara
ajar, perlu diperkaya dengan peluang anak belajar bernalar utuh. Lebih khusus
lagi, anak perlu berkesempatan belajar memahami topik dari berbagai
perspektif atau sudut pandang. Anak menerampilkan diri dalam sekali-kali
menggeser perspektif atau berganti sudut pandang dalam mengkaji topik,
kejadian, dan pengetahuan (McTighe and Wiggins, 1998).
Cara pengajaran
bermakna seperti ini tentunya mensyaratkan guru yang memahami bahan ajar
dengan mendalam, bergairah belajar dan membelajarkannya, serta menghargai
tiap anak. Dalam hal ini Kemdikbud perlu membangun berbagai forum sehingga
para guru dapat berlatih, belajar, dan berbagi. Guru tidak dilatih atau
diceramahi, tapi guru berlatih dan belajar. Jika diinginkan anak aktif
belajar dan berlatih, demikian pula guru perlu aktif belajar dan berlatih.
Jika diinginkan anak percaya diri, guru pun perlu pula percaya diri.
Dalam daftar
kompetensi mata pelajaran Sejarah Nasional, indikator pemahaman anak perlu
menambahkan komponen perspektif tadi. Ke depan, dengan indikator perspektif
ini pula, evaluasi pendidikan sejarah akan mengukur pemahaman pelajar secara
lebih utuh dan andal.
Dengan pembenahan dua
hal di atas, anak akan membangun kecakapan bernalar. Pada akhirnya kecakapan
bernalar ini akan menjadi perkakas utama anak untuk mengenali dan mengikis
kejuangan semu serta yang utama terlibat menenun kebaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar