Haji dan Politik, Indonesia dan Arab Saudi
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
MUI (2015-2020)
|
KOMPAS,
29 September 2015
Ketika musibah datang
sepanjang pelaksanaan ibadah haji 1436 H/2015 M—robohnya mesin derek (crane) di Masjidil Haram, Mekkah, dan
tabrakan antaranggota jemaah (stampede)
di Mina yang menyebabkan lebih dari 1.100 anggota jemaah haji meninggal—ada
di antara anggota jemaah haji dan kalangan pemerintah serta ulama Arab Saudi
yang segera menyatakan: ”Kejadian ini adalah takdir. Mereka yang wafat adalah
syahid (martir)”.
Kaum beriman tentu
saja wajib percaya takdir. Namun, jika kejadian berujung maut yang terus
berulang sejak musibah Terowongan Mina pada 1990 yang menyebabkan 1.426 orang
meninggal, orang patut bertanya apakah kejadian mengenaskan itu lebih
disebabkan kelalaian dan salah urus tata kelola ibadah haji di Arab Saudi dan
di negara-negara lain tempat asal jemaah haji.
Jika sementara tidak
melibatkan soal takdir, sedikitnya ada tiga faktor utama penyebab musibah.
Pertama, ketiadaan atau kurangnya pengaturan yang jelas (prosedur tetap) arus
lalu lintas jutaan anggota jemaah haji di lokasi rawan tabrakan antaranggota
jemaah dari Mekkah menuju Arafah, Muzdalifah, Mina, dan kemudian kembali ke
Mekkah.
Untuk menghindari
tabrakan jemaah yang pergi-pulang dari melontar jumrah (jamak: jamarat)
khusus, Pemerintah Arab Saudi sepatutnya menetapkan alokasi waktu bagi jemaah
negara-negara. Kalaupun ada, ketentuan itu terlihat tidak ditegakkan tegas
sehingga jemaah calon haji berbondong-bondong pergi melempar jumrah di pagi
hari, waktu yang dianggap paling utama.
Kedua, dalam gelombang
jemaah yang sangat banyak, petugas lapangan Arab Saudi tampak tidak siap dan
tidak sigap memisahkan jemaah yang pergi dan yang pulang dari jamarat. Jumlah
mereka di lapangan tidak memadai untuk bisa mengendalikan jemaah dalam jumlah
demikian besar.
Ketiga, banyak anggota
jemaah tidak atau kurang disiplin. Jemaah berombongan cenderung tidak disiplin
dan lebih mendahulukan kepentingan sendiri daripada keamanan bersama dan
kekhusyukan beribadah.
Memandang berbagai
penyebab musibah, jelas perlu pembenahan tata kelola pelaksanaan prosesi
ibadah haji di Arab Saudi dan pengelolaan jemaah di setiap negara. Hanya
dengan perbaikan tata kelola, kemungkinan musibah pada musim haji selanjutnya
dapat dikurangi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Harus diakui,
Pemerintah Arab Saudi sangat sensitif dalam tata kelola penyelenggaraan
ibadah haji yang tidak hanya bermakna keagamaan, tetapi juga politis. Bagi
Pemerintah Arab Saudi, khususnya raja, pengelolaan ibadah haji adalah hak
istimewa yang tidak dapat dipersoalkan karena raja adalah ’al-khadim al-haramayn—pelayan dua
haram (Mekkah dan Madinah).
Bagi Arab Saudi,
penyelenggaraan ibadah haji di Mekkah—yang dilengkapi ziarah dan shalat 40
waktu (shalat Arbain) di Madinah—sepenuhnya tanggung jawabnya. Oleh karena
itu, Arab Saudi cenderung menutup diri dan tidak mau melibatkan negara-negara
lain pengirim jemaah haji ke Tanah Suci. Bagi Arab Saudi, keikutsertaan
negara lain adalah isu politik terkait posisinya vis-à-vis negara Islam atau
mayoritas Muslim lain.
Penyelenggaraan ibadah
haji tidak steril dari politik. Sejak akhir abad ke-19, misalnya, Mekkah dan
Madinah menjadi pusat pertukaran dan penyebaran gagasan Pan-Islamisme
menghadapi kolonialisme sejumlah negara Eropa terhadap banyak wilayah Muslim.
Karena itu, negara kolonialis Eropa, seperti Belanda yang menjajah Indonesia,
memiliki kantor konsulat di Jeddah untuk memantau jemaah calon haji dari
Hindia Belanda.
Bagi Arab Saudi,
ibadah haji memberikan posisi tawar penting dalam hubungan dengan dunia
Muslim. Sejak 1960-an, Raja Faisal menjadikan ibadah haji sebagai kunci
melobi negara-negara Muslim lain mewujudkan dan menguasai Organisasi
Konferensi Islam (kini Organisasi Kerja Sama Islam/OKI).
Melalui OKI dan
Rabitah ’Alam Islami, Arab Saudi mendapat dukungan negara-negara Muslim lain
dalam pengelolaan haji tanpa harus mengompromikan kedaulatan penuhnya atas
Haramayn. Negara-negara Muslim penganut Sunni umumnya tidak mempersoalkan
kedaulatan Arab Saudi atas Haramayn. Saat sama, mereka berusaha mendapat
perhatian khusus dari Pemerintah Arab Saudi atas jemaah masing-masing.
Seperti dicatat Robert
R Bianchi dalam bukunya, Guest of God:
Pilgrimage and Politics in the Islamic World (2004), Pemerintah Arab
Saudi akhirnya menemukan diri harus mendengar suara negara pengirim jemaah
calon haji dalam jumlah besar. Negara-negara ini—Indonesia, Turki, Malaysia,
Pakistan, dan Nigeria—yang mengembangkan tata kelola haji modern dengan
institusi pengelola profesional melalui lobi berhasil mendorong Pemerintah
Arab Saudi meningkatkan fasilitas dan pengelolaan ibadah haji.
Kepada pihak lain,
Iran (dan Libya pada masa Khadafy) sudah sejak lama menggaungkan ide tentang
”internasionalisasi” tata kelola ibadah haji di Haramayn; penyelenggaraan
dilaksanakan institusi khusus bentukan bersama negara-negara Muslim. Presiden
Iran Mohammad Khatami pada musim haji 1997 pernah mencoba menggalang
internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Usaha Khatami gagal karena
ditolak Arab Saudi yang didukung kebanyakan negara Muslim lain.
Namun, gagasan Iran
ini tak pernah padam. Untuk menangkis manuver Iran, Arab Saudi selalu
berhasil mendapat dukungan dari negara-negara yang kian penting dalam OKI dan
dunia internasional, yaitu Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria.
Musibah Mina (24/9)
kembali memberikan momentum bagi Iran untuk berargumen, Arab Saudi gagal
menyelenggarakan ibadah haji secara baik, aman, dan nyaman. Kini saatnya
Pemerintah Arab Saudi menerima internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan
Madinah. Sekali lagi, gagasan tersebut pasti ditolak Arab Saudi dan mayoritas
negara Muslim lain, termasuk Indonesia.
Indonesia dapat
memainkan peran lebih kontributif untuk perbaikan tata kelola prosesi ibadah
haji di Haramayn. Indonesia memiliki leverage untuk melakukan kemaslahatan
umat Islam secara keseluruhan. Penerimaan Presiden Joko Widodo dalam
kunjungan ke Arab Saudi (11/9) secara luar biasa oleh Raja Salman dapat
menjadi entri penting bagi Indonesia untuk meningkatkan diplomasi dan lobi
guna perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar