Senin, 14 September 2015

Membangun Orkestrasi

Membangun Orkestrasi

Eko Prasojo  ;  Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
                                                     KOMPAS, 12 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hiruk pikuk soal reshuffle Kabinet Kerja gelombang pertama telah usai. Saatnya Kabinet Kerja fokus untuk mencapai tujuan dan target kinerja pembangunan.
Rakyat pun harus memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menunjukkan kemampuan mengatasi berbagai persoalan pembangunan, termasuk nilai tukar rupiah yang terus anjlok.

Kita dapat mengatakan bahwa reshuffle kabinet adalah sebuah evaluasi tentang kualitas dan soliditas tim pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan; evaluasi tentang orkestrasi pemerintahan, apakah konduktor, alat musik, para pemain musik, lagu, dan juga para penyanyi telah benar berfungsi sehingga dapat menghibur penonton? Apakah para pemain musik memainkan alat sesuai partitur?

Orkestra simfoni

Pemerintahan dapat diibaratkan sebagai orkestra simfoni yang sangat besar (gigantic simphony). Bukan hanya melibatkan banyak sekali pemain musik, melainkan juga beragam jumlah alat musik dan penonton yang sangat banyak pula. Para penonton orkestra pemerintahan adalah rakyat yang memiliki tidak saja hak, tetapi juga harapan dan kebutuhan. Tentu saja penonton sangat beragam dan kritis, serta memiliki berbagai kepentingan.

Sebagai sebuah orkestra simfoni, konduktor memainkan peran sangat penting. Dalam hal ini, presiden merupakan konduktor pemerintahan secara nasional. Perannya sangat strategis dan kritikal, terutama untuk menentukan lagu apa yang akan dimainkan, kapan harus dimulai dan diakhiri, serta harmoni keseluruhan pemain dengan alat musik yang dimainkan. Para pemain alat musik dalam pemerintahan terdiri atas para menteri sebagai pembantu utama presiden, para pimpinan lembaga pemerintahan non-kementerian, para gubernur, bupati, wali kota, dan keseluruhan pejabat birokrasi, baik di pusat maupun daerah.

Problem orkestrasi pemerintahan pada tingkat dasar adalah apakah semua pemain musik telah memahami lagu yang dimainkan dalam pertunjukan orkestra? Dalam hal ini, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan susunan lagu-lagu pembangunan, pelayanan dan fungsi pemerintahan yang akan dipimpin oleh presiden sebagai konduktor di tingkat nasional. Kita dapat memastikan bahwa lagu-lagu pembangunan itu sudah disusun sesuai dengan program Nawacita yang dikampanyekan Presiden Joko Widodo dalam pilpres lalu. Di sini terbentang satu persoalan, apakah lagu-lagu pembangunan tersebut sudah ditulis dengan partitur yang benar dan bisa dipahami sehingga setiap pemain alat musik, yaitu menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, dan seluruh pejabat birokrasi dapat memainkannya dengan baik.

Dalam pemerintahan yang terdesentralisasi dan terfragmentasi seperti Indonesia, partitur lagu-lagu pembangunan sering bermasalah dalam keselarasan (alignment) program pembangunan antarkementerian, juga masalah dalam penjabaran (cascading) dari RPJM Nasional ke RPJM Daerah. Disharmoni lagu tersebut terjadi karena beberapa hal, (1) setiap kementerian/ lembaga memiliki cara pandang dan kepentingan masing masing, (2) program pembangunan yang ditetapkan oleh gubernur dan bupati/wali kota tidak memiliki irisan periode waktu pembangunan yang sama, dan (3) tidak bersambungnya program-program pembangunan nasional yang sudah ditetapkan oleh RPJM dengan program pembangunan daerah dalam RPJMD.

Kondisi perlu

Persoalan dasar kedua dalam orkestrasi pemerintahan di Indonesia adalah banyak sekali pemain alat musik yang bukan saja tidak bisa membaca partitur yang sudah ditulis dalam rencana pembangunan, melainkan juga banyak yang tidak bisa memainkan alat musik pembangunan. Persoalan ini menyangkut kompetensi, kapasitas, dan keahlian. Meskipun tidak semua, banyak pejabat politik dan pejabat karier pemerintahan yang tidak memahami rencana pembangunan dan bagaimana strategi serta cara untuk mencapai target kinerja dengan kewenangan yang dimilikinya. Sebagai penonton, dalam hal ini rakyat, bisa dibayangkan bagaimana sebuah pertunjukan orkestra pembangunan yang para pemain alat musiknya tidak bisa membaca partitur lagu-lagu pembangunan dan tidak bisa memainkan alat musik pembangunan. Sebagian pemain alat musik pembangunan di Indonesia sebenarnya saat ini hanya lip sync (alias tidak berperan apa pun).

Kondisi ini semakin buruk karena, di samping tidak memiliki kompetensi, kapasitas, dan keahlian, sebagian pemain alat musik pembangunan justru mengganggu para pemain alat musik lain dan mengganggu harmoni orkestrasi pemerintahan secara keseluruhan dengan perilaku korup, nepotis, dan kolutif. Dalam hal ini orkestra pemerintahan (atau negara) dirugikan dengan tiga hal sekaligus, yakni gaji dan tunjangan yang sudah dibayarkan tanpa hasil (free rider), kerugian keuangan negara yang sebagian hilang karena perilaku korup (rent seeking mentality), serta distorsi pemain musik yang membuat orkestrasi pemerintahan keseluruhan jadi sumbang (failed government).

Alat musik rusak

Masalah ketiga dalam orkestra pemerintahan di Indonesia adalah banyaknya alat musik yang tidak bisa dimainkan. Jika pun bisa, akan terdengar sumbang saat dimainkan. Alat musik orkestra pemerintahan dan pembangunan adalah berbagai kelengkapan birokrasi pemerintahan, seperti struktur, proses, serta nilai dan budaya. Struktur birokrasi yang gemuk menyebabkan pemain alat musik sulit menggerakkan dan memainkan alat musik secara benar menurut arahan konduktor dan sesuai dengan partitur yang dituliskan.

Struktur birokrasi yang ada saat ini tidak mencerminkan kebutuhan terhadap rencana dan tujuan pembangunan. Para pemain musik yang andal pun jika menggunakan alat musik birokrasi akan mengalami kesulitan luar biasa. Setiap upaya merestrukturisasi (menyetel) alat musik akan mendapat perlawanan dari dalam birokrasi (lock power of bureaucracy).

Demikian pula proses bisnis (tata laksana) pemerintahan dan pembangunan sebagai irama orkestrasi pemerintahan mengalami disharmoni serius. Banyak lagu pembangunan yang dimainkan dengan tempo dan irama yang tidak sama. Proses pengurusan izin usaha, misalnya, melibatkan banyak sekali kantor pemerintahan yang tidak saling terkait dengan tempo (lama waktu) dan irama (alur kerja) yang berbeda-beda.

Gedung pertunjukan

Masalah keempat dalam orkestra pemerintahan Indonesia adalah ruang dan lingkungan gedung pertunjukan tidak kondusif. Terlalu banyak gangguan (noice) selama pertunjukan karena para penonton, selain tidak memiliki nilai budaya menonton orkestra, tidak sabar dan tidak puas ingin segera menggantikan para pemain alat musik yang dianggapnya tidak mampu bermusik. Para penonton orkestra sebagian besar adalah pemilik kekuasaan, baik secara ekonomi maupun secara politik. Tentu saja niatnya bervariasi, baik untuk kepentingan nasional maupun kepentingan tertentu.

Kita berharap bahwa reshuffle kabinet yang baru saja dilakukan Presiden Jokowi merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki orkestrasi pemerintahan. Namun, harus disadari, masih banyak persoalan lain yang harus dibenahi dalam orkestra Pemerintah Indonesia, termasuk penulisan partitur lagu pembangunan yang benar, kemampuan pejabat politik dan birokrasi untuk membaca partitur lagu pembangunan dan memainkan alat musik (kewenangan) secara benar, serta alat musik birokrasi yang ramping, efisien, dan efektif supaya terdengar merdu. Pada akhirnya, keberhasilan orkestra pembangunan bukan hanya ditentukan oleh konduktor, melainkan juga oleh seluruh pemain dan alat musik yang dimainkan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar