Membangun Orkestrasi
Eko Prasojo ; Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
12 September 2015
Hiruk pikuk soal
reshuffle Kabinet Kerja gelombang pertama telah usai. Saatnya Kabinet Kerja
fokus untuk mencapai tujuan dan target kinerja pembangunan.
Rakyat pun harus
memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menunjukkan kemampuan mengatasi
berbagai persoalan pembangunan, termasuk nilai tukar rupiah yang terus
anjlok.
Kita dapat mengatakan
bahwa reshuffle kabinet adalah sebuah evaluasi tentang kualitas dan soliditas
tim pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan; evaluasi tentang
orkestrasi pemerintahan, apakah konduktor, alat musik, para pemain musik,
lagu, dan juga para penyanyi telah benar berfungsi sehingga dapat menghibur
penonton? Apakah para pemain
musik memainkan alat sesuai partitur?
Orkestra simfoni
Pemerintahan dapat
diibaratkan sebagai orkestra simfoni yang sangat besar (gigantic simphony). Bukan hanya melibatkan banyak sekali pemain
musik, melainkan juga beragam jumlah alat musik dan penonton yang sangat
banyak pula. Para penonton orkestra pemerintahan adalah rakyat yang memiliki
tidak saja hak, tetapi juga harapan dan kebutuhan. Tentu saja penonton sangat
beragam dan kritis, serta memiliki berbagai kepentingan.
Sebagai sebuah
orkestra simfoni, konduktor memainkan peran sangat penting. Dalam hal ini,
presiden merupakan konduktor pemerintahan secara nasional. Perannya sangat
strategis dan kritikal, terutama untuk menentukan lagu apa yang akan
dimainkan, kapan harus dimulai dan diakhiri, serta harmoni keseluruhan pemain
dengan alat musik yang dimainkan. Para pemain alat musik dalam pemerintahan
terdiri atas para menteri sebagai pembantu utama presiden, para pimpinan
lembaga pemerintahan non-kementerian, para gubernur, bupati, wali kota, dan
keseluruhan pejabat birokrasi, baik di pusat maupun daerah.
Problem orkestrasi
pemerintahan pada tingkat dasar adalah apakah semua pemain musik telah
memahami lagu yang dimainkan dalam pertunjukan orkestra? Dalam hal ini,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan susunan lagu-lagu
pembangunan, pelayanan dan fungsi pemerintahan yang akan dipimpin oleh
presiden sebagai konduktor di tingkat nasional. Kita dapat memastikan bahwa
lagu-lagu pembangunan itu sudah disusun sesuai dengan program Nawacita yang
dikampanyekan Presiden Joko Widodo dalam pilpres lalu. Di sini terbentang
satu persoalan, apakah lagu-lagu pembangunan tersebut sudah ditulis dengan
partitur yang benar dan bisa dipahami sehingga setiap pemain alat musik, yaitu
menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, dan seluruh pejabat
birokrasi dapat memainkannya dengan baik.
Dalam pemerintahan
yang terdesentralisasi dan terfragmentasi seperti Indonesia, partitur
lagu-lagu pembangunan sering bermasalah dalam keselarasan (alignment) program pembangunan
antarkementerian, juga masalah dalam penjabaran (cascading) dari RPJM Nasional ke RPJM Daerah. Disharmoni lagu
tersebut terjadi karena beberapa hal, (1) setiap kementerian/ lembaga
memiliki cara pandang dan kepentingan masing masing, (2) program pembangunan
yang ditetapkan oleh gubernur dan bupati/wali kota tidak memiliki irisan
periode waktu pembangunan yang sama, dan (3) tidak bersambungnya
program-program pembangunan nasional yang sudah ditetapkan oleh RPJM dengan
program pembangunan daerah dalam RPJMD.
Kondisi perlu
Persoalan dasar kedua
dalam orkestrasi pemerintahan di Indonesia adalah banyak sekali pemain alat
musik yang bukan saja tidak bisa membaca partitur yang sudah ditulis dalam
rencana pembangunan, melainkan juga banyak yang tidak bisa memainkan alat
musik pembangunan. Persoalan ini menyangkut kompetensi, kapasitas, dan
keahlian. Meskipun tidak semua, banyak pejabat politik dan pejabat karier
pemerintahan yang tidak memahami rencana pembangunan dan bagaimana strategi
serta cara untuk mencapai target kinerja dengan kewenangan yang dimilikinya.
Sebagai penonton, dalam hal ini rakyat, bisa dibayangkan bagaimana sebuah
pertunjukan orkestra pembangunan yang para pemain alat musiknya tidak bisa
membaca partitur lagu-lagu pembangunan dan tidak bisa memainkan alat musik
pembangunan. Sebagian pemain alat musik pembangunan di Indonesia sebenarnya
saat ini hanya lip sync (alias
tidak berperan apa pun).
Kondisi ini semakin
buruk karena, di samping tidak memiliki kompetensi, kapasitas, dan keahlian,
sebagian pemain alat musik pembangunan justru mengganggu para pemain alat
musik lain dan mengganggu harmoni orkestrasi pemerintahan secara keseluruhan
dengan perilaku korup, nepotis, dan kolutif. Dalam hal ini orkestra pemerintahan
(atau negara) dirugikan dengan tiga hal sekaligus, yakni gaji dan tunjangan
yang sudah dibayarkan tanpa hasil (free
rider), kerugian keuangan negara yang sebagian hilang karena perilaku
korup (rent seeking mentality),
serta distorsi pemain musik yang membuat orkestrasi pemerintahan keseluruhan
jadi sumbang (failed government).
Alat musik rusak
Masalah ketiga dalam
orkestra pemerintahan di Indonesia adalah banyaknya alat musik yang tidak
bisa dimainkan. Jika pun bisa, akan terdengar sumbang saat dimainkan. Alat
musik orkestra pemerintahan dan pembangunan adalah berbagai kelengkapan
birokrasi pemerintahan, seperti struktur, proses, serta nilai dan budaya.
Struktur birokrasi yang gemuk menyebabkan pemain alat musik sulit
menggerakkan dan memainkan alat musik secara benar menurut arahan konduktor
dan sesuai dengan partitur yang dituliskan.
Struktur birokrasi
yang ada saat ini tidak mencerminkan kebutuhan terhadap rencana dan tujuan
pembangunan. Para pemain musik yang andal pun jika menggunakan alat musik
birokrasi akan mengalami kesulitan luar biasa. Setiap upaya merestrukturisasi
(menyetel) alat musik akan mendapat perlawanan dari dalam birokrasi (lock power of bureaucracy).
Demikian pula proses
bisnis (tata laksana) pemerintahan dan pembangunan sebagai irama orkestrasi
pemerintahan mengalami disharmoni serius. Banyak lagu pembangunan yang
dimainkan dengan tempo dan irama yang tidak sama. Proses pengurusan izin
usaha, misalnya, melibatkan banyak sekali kantor pemerintahan yang tidak
saling terkait dengan tempo (lama waktu) dan irama (alur kerja) yang
berbeda-beda.
Gedung pertunjukan
Masalah keempat dalam
orkestra pemerintahan Indonesia adalah ruang dan lingkungan gedung
pertunjukan tidak kondusif. Terlalu banyak gangguan (noice) selama
pertunjukan karena para penonton, selain tidak memiliki nilai budaya menonton
orkestra, tidak sabar dan tidak puas ingin segera menggantikan para pemain
alat musik yang dianggapnya tidak mampu bermusik. Para penonton orkestra
sebagian besar adalah pemilik kekuasaan, baik secara ekonomi maupun secara
politik. Tentu saja niatnya bervariasi, baik untuk kepentingan nasional
maupun kepentingan tertentu.
Kita berharap bahwa
reshuffle kabinet yang baru saja dilakukan Presiden Jokowi merupakan salah
satu upaya untuk memperbaiki orkestrasi pemerintahan. Namun, harus disadari,
masih banyak persoalan lain yang harus dibenahi dalam orkestra Pemerintah
Indonesia, termasuk penulisan partitur lagu pembangunan yang benar, kemampuan
pejabat politik dan birokrasi untuk membaca partitur lagu pembangunan dan
memainkan alat musik (kewenangan) secara benar, serta alat musik birokrasi
yang ramping, efisien, dan efektif supaya terdengar merdu. Pada akhirnya,
keberhasilan orkestra pembangunan bukan hanya ditentukan oleh konduktor, melainkan
juga oleh seluruh pemain dan alat musik yang dimainkan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar