Sabtu, 19 September 2015

Investor dan Pasar Politik DPR

Investor dan Pasar Politik DPR

Nyarwi Ahmad  ;  Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM Yogyakarta
                                                    JAWA POS, 17 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEHADIRAN Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam konferensi pers Donald Trump terus menuai kontroversi. Beda persepsi terhadap peristiwa tersebut sebenarnya bersumber pada dua hal yang saling terkait. Pertama, kesalahpahaman dalam menafsirkan peran dan fungsi parlemen dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua, ketidakakuratan dalam mendefinisikan dan merespons apa yang disebut sebagai ”pasar politik” parlemen.

Fungsi, Disfungsi, dan Malafungsi Parlemen

Dalam sistem demokrasi, parlemen merupakan lembaga yang menjadi representasi rakyat. Mereka menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat untuk kemudian bisa dijadikan landasan dalam perumusan dan pengimplementasian kebijakan publik. Tujuan akhirnya adalah memberikan manfaat nyata atas kebijakan tersebut (delivery) kepada rakyat.

Dalam sistem parlementer, parpol (partai politik) ataupun koalisi parpol yang mendapatkan kursi terbanyak di parlemen pada umumnya secara otomatis menjadi partai penguasa (the ruling party) dan berhak menjalankan roda pemerintahan. Dalam sistem yang seperti itu, parlemen, khusus yang berkuasa di pemerintahan, bisa bertindak sebagai network-extracted provider sekaligus service-delivery provider. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, parlemen hanyalah bertindak sebagai network-extracted provider, namun tidak sebagai service-delivery provider.

Dalam konteks Indonesia, peran, fungsi, dan tanggung jawab DPR telah diatur dalam pasal 22A amandemen UUD 1945. Kemudian, pasal 69–75 dan 79 UU No 17 Tahun 2014 secara normatif juga telah menjelaskan apa saja yang menjadi fungsi, wewenang, tugas pokok, dan hak yang dimiliki DPR sebagai lembaga negara.

Selanjutnya, pasal 80-81 menjelaskan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban anggota DPR. Sementara itu, pasal 86 mengatur tugas pimpinan DPR dan pasal 87-88 mengatur pemberhentian pimpinan DPR.

Secara spesifik, pasal 87 ayat 2 telah memuat dalam kondisi apa saja pimpinan DPR dapat diberhentikan. Termasuk ketika melakukan pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan dan kode etik (ayat 2b).

Meski memberikan acuan yang cukup jelas, konstitusi dan UU yang ada tampak belum sepenuhnya memberikan dasar pengaturan yang memadai atas kemungkinan penyalahgunaan fungsi, wewenang, tugas, dan hak yang dimiliki pimpinan dan anggota DPR.

Adanya jaminan hak imunitas semestinya dibarengi dengan regulasi yang bersifat mengikat atas hal tersebut. Di tengah celah regulasi itu, pendefinisian dan pengaturan atas apa saja dan siapa saja yang menjadi ”pasar politik” DPR dan seberapa jauh DPR harus atau dapat menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan haknya dalam berelasi dan mengelola ”pasar politik” tersebut juga belum sepenuhnya diatur dalam UU.

Investor sebagai Pasar Politik?

Dalam perspektif marketing politik, parlemen tidak hanya sebuah pasar politik bagi parpol dan anggota parpol yang terpilih dalam pemilu. Parlemen juga berhadapan dengan pasar politik eksternal, baik yang ada dalam lingkungan domestik maupun internasional.

Sejarah dari masing-masing parlemen di setiap negaralah yang kemudian menentukan seberapa jauh parlemen tumbuh menjadi sebuah pasar politik dan dapat dan/atau harus menjalankan peran dan fungsinya ketika berhadapan dengan pasar politik eksternal tersebut.

Di sebuah negara seperti Amerika Serikat, di mana isu-isu dan kondisi politik 
internasional menentukan dan berpengaruh terhadap proses politik nasional, sudah terdapat tradisi panjang untuk selalu memberikan perhatian besar pada pasar politik dunia. Di Indonesia, tradisi itu belum berkembang.

Dengan karakter politik inward-looking, mayoritas isu yang relevan, mengemuka, dan menjadi pembahasan di DPR RI –sebagaimana juga di lembaga eksekutif– adalah isu politik domestik, baik lokal maupun internasional. Karena itu, isu-isu strategis seperti nation-branding dan strategi menarik investasi global belum sepenuhnya menjadi pembahasan yang sangat penting di DPR.

Mengingat perkembangan kondisi dan struktur ekonomi-politik global saat ini, memang sudah saatnya DPR mulai memikirkan isu-isu tersebut. Namun, langkah Ketua DPR Setya Novanto dengan melakukan pertemuan dan lobi secara langsung kepada Trump, seorang calon presiden dari Partai Republik pada Pemilu 2016, yang diasumsikan sebagai sosok investor penting bagi Indonesia adalah sangat tidak tepat.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, akan lebih tepat jika upaya mendatangkan investor dan menarik investor tersebut dilakukan melalui peran dan fungsi legislasi, bujeting, dan pengawasan yang dimiliki DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar